JAKARTA - Kehadiran pandemi virus corona atau COVID-19 menggemparkan dunia. Wuhan pun didaulat sebagai pusat penyebaran virus. Angka kematian meningkat. Masalah itu kian rumit kala dunia gagal mengantisipasi virus yang menyerang sistem pernafasan.
Virus dari Wuhan diremehkan. Bahkan, ada yang memandang COVID-19 bak azab ke China. Agama tertentu dianggap takkan tertular. Semuanya pun dibungkam. COVID-19 nyatanya tak mengenal agama. Indonesia sebagai negara Muslim pun diobrak-abrik COVID-19.
Li Wenliang adalah sosok penting yang mendeteksi virus corona di Wuhan. Dokter spesialis mata itu terkejut dengan hasil lab dari seorang pasiennya yang terinfeksi virus. Narasi itu membuat Li segera menyebarkan info terkait virus aneh yang dianggapnya tipe baru dari virus sindrom pernapasan akut (SARS).
Media sosial WeChat pun jadi mediumnya menyebar informasi pada 30 Desember 2019. Informasi itu kemudian menyebar ke mana-mana. Seisi Wuhan dilanda kepanikan. Sebab, China pernah punya pengalaman buruk terkait virus yang menyerang sistem pernapasan akut, SARS.
Alih-alih pesan Li langsung dianggap masukan oleh pemerintah China, empunya kuasa menegur Li dan rekannya yang ikut menyebarkan berita virus. Li dan kawan-kawan dianggap mengganggu ketertiban umum. Sekalipun berita terkait virus baru itu sudah kandung menyebar ke mana-mana.
Website resmi Komisi Kesehatan Wuhan mulai melampirkan informasi terkait virus berbahaya tersebut. Perjuangan Li dan kawan-kawan mendapatkan hasil. Kantor cabang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di China mulai mencium kehadiran kasus virus pernapasan akut di Wuhan pada 31 Desember 2019.
Kala itu lebih dari 100 penduduk Wuhan dianggap telah terkena virus. Pemerintah China dan WHO pun disebut kurang tanggap. Tiada upaya jitu yang membuat angka penularan berkurang. Tindakan besar baru diambil saat angka penularan mulai meninggi di Wuhan.
Empunya kuasa kemudian berinsiatif menutup kota Wuhan pada 23 Januari 2020. Akibatnya dunia gagal mengantisipasi penyebaran virus. Bahkan, virus dari China cenderung diremehkan. Banyak kaum Muslim yang menganggap kehadiran corona sebagai azab kepada China karena menindas Muslim Uighur.
Pendapat lainnya yang menghubungkan antara agama dan virus corona terus bergulir. Kondisi itu terus terjadi hingga WHO pun memiliki sebutan resmi virus dari Wuhan: Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), atau kemudian dikenal sebagai COVID-19 pada Februari 2020.
“Masalahnya, virus corona tidak pandang agama. Warga Wuhan tidak hanya penganut Tao atau ateis-komunis, ada catatan resmi tentang Muslim Hui Wuhan yang wafat terkena wabah corona. Populasi Muslim Hui Wuhan saja hampir dua persen dari total penduduk 11 juta, mereka memiliki empat masjid utama di Wuhan.”
“Ketika virus corona menyebar secara global terlihat jelas virus corona tidak memedulikan agama. Banyak warga negara berpenduduk Muslim seperti Iran, Indonesia, Malaysia, Mesir, Turki dan seterusnya juga terkena. Sebelumnya, beberapa media online berorientasi Islam menyebarkan fake news (berita bohong) Turki sebagai negara bebas virus Corona,” terang Azumardi Azra dalam buku Ragam Perspektif Dampak COVID-19 (2021).
Masuk Indonesia
Abainya pemerintah China menutup wilayah Wuhan harus dibayar mahal. Penularan virus corona kian masif. Bahkan, menyebar ke seantero dunia. Semuanya karena jejak perjalanan orang yang berpergian dari dan ke Wuhan sebelum wilayah itu ditutup.
Anggapan COVID-19 hanya menyerang agama, iklim, atau kalangan tertentu mulai terpatahkan dengan sendirinya. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim juga ikut pusing diterjang badai COVID-19.
Pemerintah Indonesia pun secara resmi mengumumkan bahwa virus corona masuki Indonesia pada Maret 2020. Penularan COVID-19 dimulai dari Depok, Jawa Barat. Semuanya karena pasien 01 (Sita Tyasutami), pasien 02 (Maria Darmaningsih), dan pasien 03 (Ratri Anidyajati) berasal dari Depok.
Penularan itu dianggap bermuara dari aktivitas Sita yang berdansa dengan seorang warga Jepang (kemudian tertular COVID-19) pada Februari 2020. Pertemuan itu membuat sita batuk berkepanjangan, hingga akhirnya dinyatakan positif. Namun, banyak ahli yang meragukan bahwa COVID-19 masuk pada Maret 2020.
COVID-19 dianggap telah masuk dari awal tahun. Asumsi itu mengingat pemerintah Indonesia tak menutup pintu penerbangan internasional. Kondisi itu nyatanya membawa petaka. Saban hari angka penuluran COVID-19 kian meningkat.
Kepanikan muncul di seantero Indonesia. COVID-19 tak hanya membuat angka kematian meningkat, tapi segala macam sektor kena dampaknya. Sektor itu antara lain transportasi hingga bisnis. Banyak usaha gulung tikar. Pengangguran muncul di mana-mana.
BACA JUGA:
Pemerintah Indonesia pun terus berupaya untuk melanggengkan solusi. Antara lain imbauan jaga jarak, bekerja dari rumah, dan mendorong vaksinasi massal. Kebijakan terkait membantu korban COVID-19 macam bansos diberikan. Sekalipun semua langkah yang diambil jauh dari kata maksimal.
“Presiden Jokowi mengumumkan dua warga negara Indonesia terjangkit COVID-19. Keduanya adalah ibu dan anak yang tinggal di Depok, Jawa Barat. Mereka sempat berkontak dengan seorang warga negara Jepang yang positif terpapar virus corona baru itu pada 27 Februari 2020 di Malaysia. Lebih dari sepekan kemudian, pada 11 Maret, Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global.”
“Tiga bulan setelah kasus pertamanya muncul di Wuhan, China, pada akhir 2019, COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 126 ribu orang di 123 negara. Pada 31 Maret, Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan COVID-19,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Kilas Balik Maret 2020: Presiden Jokowi Umumkan Kasus COVID-19 Pertama (2020).