JAKARTA - Kabar penolakan polisi oleh warga Desa Wadas, Purworejo, menjadi perbincangan di ruang publik. Mereka menolak kedatangan polisi yang berpatroli hampir setiap hari. Anehnya, alih-alih merasa aman, patroli polisi ini justru membuat warga Wadas terintimidasi.
Di media sosial Twitter, akun @Wadas_Melawan mengabarkan beberapa penduduk Desa Wadas menghampiri beberapa orang polisi yang berkeliaran di desanya. Saat ditanyai warga, para aparat mengaku tengah berpatroli.
Alih-alih disambut dengan baik, warga sekitar malah skeptis. Pasalnya, ketika ditanyai warga perihal surat tugasnya, aparat itu tak bisa menunjukkannya. "Alasan patroli menjadi tak logis lagi, karena dilakukan hampir setiap hari dan di tempat yang sama," tulis akun @Wadas_Melawan.
Perihal patroli aparat memang tak bisa sembarangan. Menurut Peraturan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Patroli Pasal 17 ayat (1), setiap akan melaksanakan Patroli, Petugas Patroli melakukan kegiatan persiapan yang meliputi berbagai persiapan, di antaranya administrasi Patroli. Penyiapan administrasi patroli yang dimaksud di antaranya adalah rencana kegiatan, jadwal patroli, dan surat perintah.
Skeptisme warga pada patroli aparat bukan tanpa alasan. Mungkin masih terngiang di ingatan mereka bagaimana peristiwa traumatis 23 April lalu. Saat itu sekitar 11 orang ditangkap tanpa alasan oleh pihak berwajib saat aksi solidaritas untuk menolak rencana pengukuran dan pematokan lahan untuk penambangan. Sembilan di antaranya adalah warga Wadas dan dua orang lainnya adalah pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
Penangkapan dilakukan saat warga melakukan aksi damai dengan memblokir area jalan menggunakan batang pohon. Aksi juga dilakukan sambil duduk dan bersalawat. Kericuhan terjadi setelah aparat gabungan dari kepolisian dan satuan TNI memaksa masuk, kemudian menangkap beberapa orang secara paksa.
Aparat kepolisian juga dilaporkan menembakkan gas air mata ke arah massa. Mengutip Tempo, salah satu kuasa hukum warga dari LBH Yogyakarta bernama Julian, dikepung polisi dan ditarik paksa. Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zulfadli, mengatakan bahwa Julian ditangkap dengan cara-cara yang kasar.
Lagi dan lagi aparat kepolisian mendatangi desa Wadas. Ketika ditanyai mereka berdalih patroli, tapi ketika dimintai surat tugas patroli mereka tidak bisa menunjukkannya.
Alasan patroli menjadi tak logis lagi, karena dilakukan hampir tiap hari dan ditempat yang sama. pic.twitter.com/oaIMpUpaTK
— Wadas Melawan (@Wadas_Melawan) November 3, 2021
Masalah tambang batu
Warga Desa Wadas menolak diadakannya penambangan batu andesit yang nantinya digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener. Warga yang tidak setuju mengatakan bahwa penambangan akan merusak alam.
Selain itu, pekerjaan penambangan juga merenggut mata pencaharian warga Desa Wadas yang berprofesi sebagai petani. Banyak lahan pertanian milik warga yang terimbas akan penambangan batuan andesit.
"Kita sudah turun temurun tinggal di situ, lahir dan dibesarkan di situ, mengolah tanah, terus seandainya ada perampasan tanah di Desa Wadas itu gimana kita nantinya hidup? Tolong pemerintah perhatikan kami," kata seorang warga Desa Wadas bernama Yatimah, mengutip CNN Indonesia.
Namun alih-alih mendengarkan suara masyarakat, justru masyarakat mendapat tekanan dari aparat keamanan. Patroli yang tidak wajar terjadi sejak peristiwa 23 April di Desa Wadas. Hingga puncaknya warga Desa Wadas menolak kehadiran kepolisian karena sudah terlalu meresahkan.
Ditakuti
Rasa was-was dan ketakutan warga Wadas terhadap polisi ini sungguh disayangkan. Seperti kita tahu, sejatinya aparat penegak hukum seperti polisi sejatinya bisa memberi perlindungan dan mengayomi masyarakat. Namun alih-alih merasa terlindungi, masyarakat justru merasa takut terhadap polisi. Lantas benarkah rasa takut kepada polisi lebih besar daripada rasa hormat kepadanya?
Bila dilihat secara umum, sejatinya masyarakat begitu mementingkan perihal kesopanan dan rasa hormat selama mereka kontak dengan polisi. Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, maka bukan rasa hormat yang masyarakat berikan melainkan hanya merasa ketakutan.
Hal tersebut diafirmasi oleh Doktor Madeleine Novich dan Geoffrey Hunt dalam penelitiannya yang bertajuk Get Off Me”: Perceptions of Disrespectful Police Behavior among Ethnic Minority Youth Gang. Menurut mereka, seseorang cenderung merasa terputus koneksinya atau takut terhadap otoritas ketika memiliki diperlakukan dengan kasar dan acuh tak acuh. Hasil penelitian mereka kepada sejumlah sampel menunjukkan bahwa kebanyakan orang merasa khawatir tentang rasa hormat dan kualitas perlakuan dari seorang polisi.
Kekhawatiran tentang perlakuan tidak menyenangkan diidentifikasi sebagai penggunaan kekuatan yang tidak proporsional atau tidak tepat selama polisi melakukan tugasnya. Memang, penggunaan kekuatan yang tidak proporsional yang sering menyebabkan cedera tubuh atau trauma, juga bisa menjadi tanda kurangnya rasa hormat di kalangan masyarakat atau dalam penelitian ini remaja terhadap polisi. Meski demikian, hal tersebut membuat kekhawatiran terhadap sikap polisi tidak bisa terelakkan.
Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional yang dimaksud jurnal ini termasuk mengalami, menyaksikan atau mengetahui polisi yang menghentikan atau menangkap seseorang dengan melempar, membanting, mendorong, atau memukul individu. Penelitian jurnal ini mencatat, martabat dan rasa hormat adalah aspek penting dalam menegakkan prosedural keadilan karena individu menghargai perlakuan interpersonal yang positif dari aparat hukum.
Sementara untuk konteks kasus Desa Wadas, Sosiolog Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman, menjelaskan bahwa kita harus melihat bagaimana peran aparat hukum yang ada di desa tersebut. Karena menurutnya, setiap desa memiliki aparat keamanan dan telah memiliki perannya masing-masing. Dengan kata lain, jika masyarakat masih merasa takut dan tidak aman, pergerakan aparat keamanan itu patut dipertanyakan.
"Seperti kepala desa, pamong desa, atau Babinsa atau misal di tingkat kecamatan ada tri tunggal yaitu camat, komandan koramil, dan polsek. Seharusnya tiga komponen itu bergerak untuk memberi keamanan," ujar Sunyoto ketika dihubungi VOI.
Setiap perlakuan aparat keamanan pada masyarakat berasal dari tata kelola pemerintahan tiga komponen tersebut. Ketiga komponen keamanan itu harus ada kerja sama, komunikasi dan koordinasi yang jelas.
Jika masyarakat masih takut terhadap kepolisian, bukan lagi masalah individual masyarakat namun lebih ke lembaganya. Jika demikian, dari sisi kelembagaan yang harus diperbaiki. Karena lagi-lagi masyarakat hanya bisa menerima dan menjadi pihak yang harus dilindungi.
*Baca Informasi lain tentang POLISI atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
BACA JUGA: