Bagikan:

NUNUKAN - Penganiayaan anggota polisi, Brigadir SL oleh Kapolres Nunukan AKBP Syaiful Anwar berujung penonaktifan pelaku. Masalah ini memicu pertanyaan soal seberapa cakap polisi, termasuk di Kalimantan Utara (Kaltara) menguasai teknologi? Jangan-jangan ada kegagapan?

Kami membahas persoalan ini dengan Kabid Humas Polda Kaltara Budi Rachmat. Ia menjelaskan kepolisian di wilayah Kaltara sejatinya terfasilitasi dari sisi teknologi.

Meski begitu, diakuinya ada kelemahan sumber daya manusia (SDM) dalam penguasaan teknologi itu. Beberapa hal jadi penyebab. Yang paling utama soal terpencilnya wilayah Kaltara.

"Kita mendapatkan sarana dan prasarana. Dari sisi teknologi itu luar biasa kan. Tapi dari sisi SDM kita masih jauh sekali kan ... Jadi walaupun teknologi bagus tapi dari sisi sumber daya belum, itu kan bermasalah juga," tutur Budi Rachmat kepada VOI.

Beberapa langkah sejatinya coba disiasati. Misalnya dengan merekrut lulusan SMK yang memiliki fokus studi di bidang IT. Hal ini dilakukan untuk mengisi kekosongan SDM di bidang IT.

"Kita merekrut brigadir bukan dari bintara tapi dari SMK memang yang di bidang IT. Kita kendala di sisi sumber daya."

Polda Kaltara (Sumber: Tribrata-Polri.go.id)

Menarik ke konteks SDM lebih luas. Budi Rachmat cerita Kaltara bukan cuma kekurangan polisi-polisi dengan penguasaan teknologi yang baik tapi pada dasarnya memang kekurangan polisi.

Hal yang dilakukan untuk menyiasati ini adalah memberdayakan masyarakat lokal. Selain itu mereka juga mengoptimalkan rekrutmen anggota dengan menetapkan kuota penerimaan lebih besar di wilayah Kaltara.

"Kan kita menyesuaikan kultur budaya wilayah setempat. Itulah gambaran polisi Kaltara sama dengan gambaran masyarakat seperti itu."

Kembali ke persoalan teknologi, Budi Rachmat turut menyinggung desentralisasi yang tak berjalan baik di Kaltara. Meski dibekali sarana dan prasarana penunjang teknologi kepolisian, nyatanya aspek-aspek dasar pendukung, seperti jaringan komunikasi masih jadi masalah.

"Karena selama ini milik Jakarta saja juga kan. Kalimantan Utara itu kan di daerah paling utara. Orang bilang Kutub Utara. Dari transportasi kita bermasalah."

"Sisi jaringan komunikasi pun bermasalah. Banyak jaringan blackspot di Kalimantan Utara. Dari sisi jumlah penduduk pun bermasalah."

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengonfirmasi ini. Menurut dia Kaltara jadi wilayah di mana reformasi digital kepolisian tak berjalan cukup baik.

"Polda Kaltara itu polda terbaru. Jadi masuk akal jika masih ada kekurangan SDM. Sebelumnya wilayah Kaltara merupakan bagian dari Polda Kalimantan Timur. Saya pernah berkunjung ke Polres Nunukan sewaktu masih di bawah Polda Kaltim.

"Saya juga sempat mengunjungi Polsek Sebatik yang merupakan polsek yang berbatasan dengan Tawau-Malaysia. Saya melihat koneksi internet di wilayah perbatasan memang tidak secanggih di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan terkadang kita jumpai adanya listrik padam. Tetapi secara umum sarana prasarana sudah cukup baik."

Tak cuma Kaltara, menurut observasi lapangan Kompolnas, kendala ini cenderung merata terjadi di wilayah terpencil dan pulau-pulau terdepan. "Misalnya di pedalaman Papua. Saya pernah ke Intan Jaya, sinyal handphone sulit sekali."

Apa hubungannya dengan penganiayaan Brigadir SL?

Brigadir SL (Sumber: Istimewa)

Persoalan SDM ini, menurut Budi Rachmat jadi relevan dengan kasus penganiayaan AKBP Syaiful Anwar terhadap anak buahnya, Brigadir SL. Menurut Budi Rachmat Brigadir SL adalah pihak yang diandalkan betul dalam persoalan IT di lingkup Kapolres Nunukan.

Kesalahannya dalam pengoperasian Zoom kemudian memicu kekecewaan AKBP Syaiful Anwar. Tentu bukan pembenaran tapi begitulah pengakuan AKBP Syaiful Anwar. "Karena itu akumulasi kekecewaan dari Brigadir SL yang memang ditugaskan di situ," tutur Budi Rachmat.

Dalam situasi ideal, pemukulan tak seharusnya terjadi. Budi Rachmat mengatakan AKBP Syaiful Anwar seharusnya cukup mengganti Brigadir SL dengan anggota lain jika dianggap tak mumpuni. Masalahnya, menurut Budi Rachmat memang keterbatasan SDM.

"Tapi bagaimanapun pemukulan seharusnya tidak dilakukan pada anggota. Ada kan sanksi lisan, tulisan, fisik, yang itu pun bukan berarti pemukulan. Dalam kasus ini tetap salah (pemukulan) karena sebenarnya bisa saja diganti. Didik lagi anggota lain," tutur Budi Rachmat.

Reformasi digital, SDM tertinggal

Kapolri Listyo Sigit (Sumber: Humas Mabes Polri)

Beberapa tahun belakangan, isu reformasi digital di tubuh Polri jadi tuntutan yang harus dikejar Korps Bhayangkara. Globalisasi, diiringi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membawa banyak perubahan, termasuk dalam pola pikir, perilaku, dan tuntutan masyarakat.

Polri, sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan juga wajib memenuhi standarisasi teknologi dan digitalisasi 4.0 dalam pemenuhan kewajiban melindungi, melayani, dan menegakkan hukum demi ketertiban dan keamanan masyarakat. Hal ini sempat diserukan Wakil Presiden Maruf Amin.

“Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi digital 4.0, saat ini dan ke depannya masyarakat menuntut layanan Polri yang smart dan profesional, yang mampu menghadapi tantangan dan perkembangan masyarakat era digital yang semakin kompleks,” tutur Maruf dalam sebuah webinar 2020 lalu.

“Oleh karenanya Reformasi Birokrasi Polri perlu terus dilanjutkan, bahkan dipercepat sehingga harapan terwujudnya postur Kepolisian RI yang semakin profesional, humanis, bebas KKN dan terpercaya dapat segera terlaksana,” tambah Maruf.

Ada beberapa hal yang telah terwujud, misalnya e-Samsat, SIM online, SKCK online, smart SIM, e-Tilang, dan sebagainya. Hal-hal yang diapresiasi Maruf, meski nyatanya belum cukup untuk membentuk identitas Polri yang canggih.

“Inovasi seperti ini tentunya telah memberikan kemudahan bagi masyarakat sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi Polri,” Maruf.

Ini juga jadi salah satu visi yang diungkap Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo ketika menjalani fit and proper test sebagai calon tunggal di Komisi III DPR RI. "Menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi (PRESISI)."

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti memandang visi Listyo mewujudkan polisi yang PRESISI harus dibarengi dengan akselarasi reformasi digital di tubuh Polri, termasuk soal SDM. Teknologi yang mumpuni di tangan polisi yang andal akan mengoptimalkan kerja-kerja kepolisian.

Sayang, "kualitas dan kuantitas memang kurang. Oleh karena itu perlu diperbanyak kuota perekrutan dan untuk meningkatkan kualitas perlu perbanyak pendidikan dan latihan," Poengky.

"Teknologi jelas akan memudahkan kerja-kerja polisi. Misalnya dengan berbagai aplikasi, termasuk E-SP2HP untuk laporan penyidikan secara periodik pada pengadu yang bisa diakses mudah, ketimbang tunggu kiriman SP2HP lewat pos.

"Di sisi lain, kemajuan teknologi berupa body camera dalam pelaksanaan tugas penyidikan bisa membantu pengawasan sekaligus transparansi kerja-kerja anggota agar sesuai aturan."

*Baca Informasi lain soal POLISI atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya