Bagikan:

JAKARTA - Akhir-akhir ini Kepolisian Republik Indonesia (Polri) jadi sorotan publik. Protes masyarakat terhadap kinerja dan sikap polri meningkat. Dari bagaimana polisi menyikapi aduan masyarakat, polisi yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa, polisi yang baper menghadapi cuitan di media sosial, hingga tindakan rudapaksa oleh salah satu anggota polisi. Padahal hadirnya polisi diharapkan menjadi pelindung dan memberikan rasa aman.

Rasa aman tersebut harusnya kita rasakan saat ini mengingat jumlah polisi yang terus bertambah setiap tahun. Mantan  Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernah mengatakan bahwa Indonesia memiliki 430 ribu personel polisi. Angka tersebut merupakan terbanyak nomor dua di dunia setelah China. Polri juga memiliki prestasi gemilang di mata internasional dalam hal pemberantasan terorisme.

Indonesia diketahui menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memiliki jumlah polisi terbesar dan memenuhi standar PBB yaitu 222 petugas mengawal 100 ribu penduduk. Meski jumlahnya besar, belum cukup mampu menekan angka kriminalitas, baik konvensional maupun digital.

Seperti dilansir Katadata, jumlah personel Kepolisian Republik Indonesia bertambah 27.012 menjadi 470.391 pada 2019. Jumlah tersebut mengalami peningkatan 5,7 persen dibanding 2018 yang hanya 443.379 personel. Peningkatan tersebut juga lebih besar dari 2016-2018. Pada 2016 ke 2017, peningkatannya 1.712. Lalu, dari 2017 ke 2018 hanya bertambah 186 orang. Saat ini, jumlah personel polisi Indonesia sebanyak 579 ribu orang.

Ilustrasi polisi (Instagram/@MPAmbarita)

Namun, banyak juga kasus yang melibatkan oknum polisi. Menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan terdapat 651 tindak kekerasan yang dilakukan Polri sejak Juni 2020 hingga Mei 2021.

Penembakan merupakan tindak kekerasan yang paling banyak dilakukan polisi. Tercatat ada 390 kasus penembakan oleh personel Polri atau 57,9 persen dari total tindak kekerasan dalam setahun terakhir. Penembakan tersebut setidaknya merenggut nyawa 13 orang dan 98 orang lainnya luka-luka.

Selain itu, terdapat 75 kasus penangkapan sewenang-wenang dan 66 kasus penganiayaan oleh aparat sejak Juni 2020 hingga Mei 2021. Kemudian, terdapat 58 kasus kekerasan oleh Polri berupa pembubaran paksa. Ada 36 kasus penyiksaan, 24 kasus intimidasi, dan 12 kasus salah tangkap dalam setahun terakhir.

Sebanyak 399 kasus kekerasan tersebut dilakukan di tingkat kepolisian resor (Polres). Sebanyak 135 kasus kekerasan berada di tingkat kepolisian daerah (Polda). Sementara kepolisian sektor (Polsek) di posisi terakhir dengan 117 kasus kekerasan.  Belum lagi kita juga kerap menemukan kasus tindakan tak manusiawi, kejahatan seksual, pembunuhan, dan penculikan yang dilakukan oleh polisi.

Layar tangkap video detik-detik Faris dibanting Brigadir NP saat gelar aksi demi di Kabupaten Tangerang

Bahaya "kegemukan"

Bertambahnya personel kepolisian setiap tahun membuat jumlahnya tidak ideal. Pada 2019, Ombudsman RI telah mengingatkan bahwa gemuknya jumlah polisi membahayakan institusi polisi itu sendiri.

"Melihat besarnya anggota Polri yang sudah mencapai 300 ribu ya, ini kalau nggak dihentikan ini bisa membuat seluruh anggaran Polri yang mencapai 105 T itu habis buat gaji, udah mulai gitu sekarang, anggaran Polri itu 70 persen habis untuk gaji. Sisanya, 30 persen, itu anggaran untuk kegiatan yang bersifat modal, seperti membangun markas dan operasional. Bahaya nih kalau jumlah personel enggak ditahan," kata anggota Ombudsman Adrianus Meliala dikutip Detik.

Pada 2020, Polri menerima anggaran sebesar Rp104,7 triliun. Kesepakatan itu sudah tertuang di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Anggaran Polri tersebut naik dibanding pada 2019 sebesar Rp94,3 triliun dan Rp98,1 triliun pada 2018. Diketahui Polri memiliki rencana program. Beberapa di antaranya pemenuhan Almatsus, pemenuhan rumah dinas, asrama dan mess seluas 94.000 meter persegi, dan pembangunan SKCK Online di 100 Polsek.

Di sisi lain, Indonesia juga membutuhkan sumber daya manusia dan sumber dana yang lebih banyak di sektor lain, sebutlah sektor pendidikan. Mengutip situs pemerintah Indonesia.go.id, kebutuhan guru di Indonesia merupakan persoalan akut dan pemerataan kualitas pendidikan nasional tersendat akibat proporsi guru dan jumlah anak didik tidak seimbang.

Di daerah terpencil seorang guru bisa merangkap mengajar berbagai mata pelajaran di tiga jenjang kelas sekaligus untuk puluhan anak didik. Di beberapa daerah beberapa guru PNS cenderung memilih mengajar di wilayah perkotaan. Anak-anak di perdesaan atau dusun hanya disentuh oleh para pendidik yang memiliki dedikasi tinggi.

Setiap tahun ribuan guru PNS yang pensiun, yang mana membuat jumlah pengajar semakin berkurang. Menurut Kemendikbud, pada 2020 terdapat 72.976 guru pensiun. Jumlah tersebut menyumbang kekurangan guru yang angkanya mencapai 1.020.921 orang.

Angka itu kemudian naik pada 2021. Kekurangan guru diprediksi mencapai 1.090.678 orang dan jumlah yang pensiun 69.757 orang. Diperkirakan bahwa 2022 akan mengalami kekurangan guru menjadi 1.167.802 orang, dengan jumlah yang pensiun 77.124 orang. Hingga 2024, kekurangan guru diprediksi mencapai angka 1.312.759 orang.

Tak lagi efektif

Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat sangat butuh peran kepolisian sepenuhnya. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar, juga butuh banyak personel.

Namun masalahnya adalah sistem rekrutmen yang perlu dievaluasi dan tata kelola dalam Polri. Pengamat Kebijakan Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah melihat, banyaknya jabatan dan rumitnya birokrasi di Polri menyebabkan pelayanan publik tidak berjalan optimal.

"Kebutuhan akan polisi tinggi sebenarnya, cuma (yang ada saat ini) tidak merata. Butuh reformasi dan evaluasi, pertama dari kulturnya. yang menyangkut integritas, kompetensi, moralitas. Sistem pengangakatan, pengawasan, penindakan belum ada perubahan dan menggunakan pola lama yang memberikan potensi penyimpangan," kata Trubus kepada VOI.

Belum lagi, saat ini Polri dihadapkan oleh dinamika masyarakat yang berubah. Masyarakat kini lebih kritis dan berekspektasi tinggi dengan peran polisi. Namun kultur kelembagaan Polri tidak ada perubahan, masih terkesan kaku atau feodal.

Pengawasan yang lemah juga menjadi hal yang perlu diperhatikan terhadap Polri. Trubus menambahkan, Kapolda dan Kapolres seharusnya dapat mengawasi anak buahnya secara optimal agar tidak melakukan pelanggaran atau pelayanan buruk.

Citra negatif Polri yang saat ini tengah menjadi sorotan seharusnya bisa menjadi pembelajaran. Agar meskipun terkesan jumlahnya besar, namun tidak menjadi masalah bagi masyarakat karena menjalankan perannya dengan baik. 

*Baca Informasi lain tentang POLISI atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya