Bansos Dikorupsi, Tes COVID-19 Dikapitalisasi: Apes Rakyat di Tangan Pejabat
Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Situasi pandemi COVID-19 di Indonesia barangkali mereda secara angka. Tapi di balik itu cerita-cerita apes lain dalam konteks hubungan masyarakat dan pemerintah berkembang. Dulu seorang menteri mengorupsi dana bantuan sosial (bansos). Sekarang dua menteri dikabarkan memanfaatkan kebutuhan kita terhadap tes COVID-19 sebagai lahan bisnis.

Adalah Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, yang disebut bermain dalam bisnis tes COVID-19, baik PCR ataupun Antigen. Mencuatnya kabar ini dipicu pernyataan mantan Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHY) Agustinus Edy Kristianto.

Tak cuma Luhut dan Erick. Edy juga mengindikasikan sejumlah nama menteri lain. Jadi keterikatan Luhut dan Erick dalam bisnis tes COVID-19 ini adalah karena nama keduanya termasuk dalam pendirian perusahaan penyedia jasa tes COVID-19, PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).

Menurut Edy PT GSI lahir dari PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtra, anak PT TBS Energi Utama Tbk, yang sebagian kecil sahamnya milik Luhut. Selain itu ada juga PT Yayasan Adaro Bangun Negeri dalam pendirian PT GSI. PT Yayasan Adaro Bangun Negeri, sebagaimana diketahui berada di bawah PT Adaro Energy Tbk, yang 6,18 persen sahamnya dimiliki adik Erick Thohir, Boy Thohir.

"Gunakan akal sehat. Seorang Menko Marives merangkap jabatan sebagai Koordinator PPKM. Dia pucuk pimpinan dalam hal kebijakan COVID-19 dan investasi. Lalu seorang Menteri BUMN merangkap Ketua Tim Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)."

"Menteri Kesehatannya bekas Wakil Menteri BUMN. Tapi, menteri itu ternyata terafiliasi (ada kaitannya) dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia," Edy, di akun Facebooknya, dikutip VOI, Rabu, 3 November.

Apa yang salah?

Petugas melakukan tes swab (Sumber: Antara)

"Negara tidak boleh berbisnis pada rakyatnya," tutur analis kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, kepada VOI, Rabu, 3 November.

Pernyataan Trubus merujuk pada Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001. Ketetapan itu mengatur etika kehidupan berbangsa, termasuk etika penyelenggara negara.

"Aturannya memang enggak boleh. Itu kan etika penyelenggara negara. Ada TAP MPR-nya itu etika penyelenggara negara. Pejabat negara itu tidak boleh berbisnis,"

"Dasarnya ya Undang-Undang Dasar 45, bahwa negara tidak boleh berbisnis pada rakyatnya. Negara ini siapa? Tentunya pemerintah. Pemerintah itu ya pejabat-pejabat menteri itu," kata Trubus kepada VOI, Rabu, 3 November.

Ketetapan MPR ini berkekuatan hukum yang mengikat seluruh penyelenggara negara. Dijelaskan tentang Etika Kehidupan Berbangsa bahwa etika politik dan pemerintahan harus memenuhi unsur kejujuran. Pejabat negara juga harus amanah, sportif, dan berjiwa besar untuk melayani.

Selain itu pejabat negara juga harus memiliki keteladanan, kerendahan hati, dan siap mundur dari jabatan politik jika terbukti melakukan kesalahan atau pelanggaran. Konteks ini yang harus dipertimbangkan dalam kasus Luhut dan Erick.

"Tidak ada konsekuensi yang bagaimana banget. Pejabat ini kan diangkat oleh presiden. Kalau enggak ya dia mengundurkan diri," kata Trubus.

Nama-nama lain di balik PT GSI

Dalam penjelasannya Edy merinci daftar perusahaan lain dan proporsi saham mereka di PT GSI. Yang terbanyak adalah PT Yayasan Indika Untuk Indonesia, dengan 932 lembar. PT Yayasan Adaro Bangun Negeri di urutan dua dengan 485 lembar.

Perusahaan ketiga dengan saham terbanyak adalah Yayasan Northstar Bhakti Persada, yakni 242 lembar. Selanjutnya, PT Anarya Kreasi Nusantara (242 lembar), PT Modal Ventura YCAB (242 lembar), dan PT Perdana Multi Kasih (242 lembar).

PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtera juga secara merata memiliki 242 lembar saham. Kepemilikan terkecil dipegang PT Kartika Bina Medikatama dengan seratus lembar. Yayasan Indika Untuk Indonesia terkait dengan PT Indika Energy Tbk, perusahaan yang dipimpin Ketua Umum KADIN Arsjad Rasjid sebagai Direktur Utama.

Lalu, Yayasan Northstar Bhakti Persada dikaitkan dengan Northstar Group, yang berada di bawah kepemimpinan Patrick Walujo, bankir serta menantu TP Rachmat. Patrick memimpin perusahaan itu bersama Glenn Sugita, yang menduduki posisi pembina yayasan.

Petugas melakukan tes swab (Sumber: Antara)

Patrick juga tercatat sebagai pemegang saham Gojek-Tokopedia (Go-To), PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk, PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Blue Bird Tbk, PT Sumber Alfaria Trijaya, serta PT Bank Jago Tbk.

"Itu semua jelas bisnis. Badan hukumnya saja PT. Tujuan PT adalah laba! Ingat, bukan masalah orang dilarang berbisnis tapi lihat dulu posisi siapa yang berbisnis."

"Sangat tidak bermoral menjadikan jabatan publik sebagai pintu masuk untuk berbisnis memanfaatkan masa pandemi yang menyusahkan rakyat," Edy.

Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan juga melaporkan dugaan ada lebih dari Rp23 triliun perputaran uang dalam bisnis tes PCR di Indonesia. Total potensi keuntungan yang diprediksi mencapai Rp 10 triliun lebih.

Koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lokataru, dan LaporCovid-19.

Kesempatan cuan dalam kesempitan COVID

Analis kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyoroti potensi konflik kepentingan di antara pejabat negara, pengambilan kebijakan, serta kepentingan bisnis mereka.

"Di dalam mengambil kebijakan itu, mau tidak mau kepentingan diri dan kelompoknya masuk. Namanya pengambil kebijakan pasti melekat juga kepentingan-kepentingannya," Trubus.

Ini jadi ironi, tentu saja. Ketika banyak masyarakat mati-matian bertahan hidup dari dampak COVID-19 yang destruktif, pejabat negara malah ambil untung.

Preseden lebih ekstrem soal bagaimana pejabat negara ambil kesempatan dari kekacauan COVID-19 terjadi dalam kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang dilakukan bekas Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara.

Juliari ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 6 Desember 2020 setelah terjerat operasi tangkap tangan (OTT) satu hari sebelumnya. Kasus ini bermula ketika pemerintah menetapkan program dana bansos penanganan COVID-19.

Koruptor dana bansos Juliari Batubara (Sumber: Antara)

Dalam program itu pemerintah mengalokasikan paket sembako melalui Kemensos dengan nilai Rp5,9 triliun. Angka itu disertai penandatangan 272 kontrak dan dilaksanakan dalam dua periode.

Juliari saat itu menunjuk Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek tersebut. Penunjukan dilakukan secara langsung.

Untuk setiap paket bansos, Matheus dan Adi menyepakati fee sebesar Rp10 ribu dari nilai Rp300 ribu per paket bansos. Pada Mei sampai November 2020, Matheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan.

Singkat cerita, dari persekongkolan jahanam itu Juliari menerima uang Rp17 miliar. Uang itu seluruhnya digunakan untuk keperluan pribadi Juliari.

Juliari disangkakan atas pelanggaran Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Klarifikasi pihak Luhut dan Erick

Saat dihubungi VOI, Juru Bicara Menkomarves Jodi Mahardi menyayangkan upaya pembingkaian terhadap Luhut. Jodi menyebut kabar Luhut yang dikait-kaitkan dengan bisnis PCR berpotensi menyebabkan para pihak yang ingin membantu berpikir dua kali.

"Ya, begitulah kalau oknum sudah hati dan pikirannya ingin menjatuhkan orang lain. Orang ingin berbuat baik pun dihajar dengan segala cara," kata Jodi, Selasa, 2 November.

Jodi juga menjelaskan grup-grup yang diklaim berbisnis PCR itu adalah grup besar yang bisnisnya sudah baik atau well established. Mereka juga tergolong perusahaan yang sangat kuat di bidang energi. Karena itulah kata Jodi tujuan GSI bukan untuk profit bagi para pemegang saham.

Menkomarves Luhut Binsar Panjaitan (Sumber: Antara)

"Sesuai namanya GSI ini Genomik Solidaritas Indonesia, memang untuk kewirausahaan sosial ... Partisipasi dari Pak Luhut di GSI ini adalah bagian dari usaha bapak untuk membantu penanganan pandemi pada masa-masa awal dulu, selain tadi donasi pemberian alat-alat tes PCR dan reagen yang diberikan kepada fakultas kedokteran di beberapa kampus. Pak luhut juga ikut membantu Nusantics, salah satu startup di bidang bioscience untuk membuat reagen PCR buatan anak bangsa yang saat ini diproduksi oleh Biofarma."

Jodi juga menegaskan PT GSI tidak pernah bekerja sama dengan BUMN ataupun menyedot dana dari pemerintah. Justru GSI melakukan genomesequencing secara gratis untuk membantu Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Ketika VOI mengonfirmasi kembali maksud penjelasan Jodi bahwa kabar keterlibatan Luhut dalam bisnis PCR adalah fitnah, ia mengiyakan. Meski demikian secara tersirat Jodi menyatakan tidak akan membawa persoalan ini ke jalur hukum.

"Iya masuk dalam kategori fitnah. Pak Luhut sudah terbiasa difitnah. Biar saja Yang Maha Kuasa yang membalas," kata Jodi.

Sementara, pihak Erick diwakili oleh Arya Sinulingga, staf khusus Menteri. Arya menjelaskan sejak jadi menteri Erick sudah tak lagi aktif dalam urusan bisnis. Ia juga meminta pihak-pihak yang menyebut Erick terlibat dalam bisnis PCR untuk melakukan pendalaman dan klarifikasi.

"Jadi sangat jauh lah dari keterlibatan atau dikaitkan dengan pak Erick Thohir ... Apalagi dikatakan bisnis PCR, jauh sekali. Jadi jangan tendensius seperti itu, kita harus lebih clear melihat semua,” kata Arya.

Menteri BUMN Erick Thohir (Sumber: Antara)

Arya juga menyertakan data yang menunjukkan tes PCR di Indonesia telah mencapai 28,4 juta di seluruh Indonesia. Sementara PT GSI tercatat baru melakukan 700 ribu. Maksud Arya adalah dominasi keuntungan PT GSI sangat kecil jika mengomparasi jumlah total tes PCR di Indonesia.

“Sementara PT Genomik Solidaritas Indonesia atau GSI yang dikaitkan dengan bapak Erick itu tes PCR yang dilakukan sebanyak 700.000. Jadi bisa dikatakan hanya 2,5 persen dari total tes PCR yang sudah dilakukan di Indonesia ... Jadi 97,5 persen lainnya dilakukan pihak lain,” Arya.

“Ketentuan mengenai PCR tidak pernah dikeluarkan oleh KBUMN. Dan sejauh ini, pemerintah tidak pernah mengeluarkan kewajiban pelaksanaan tes PCR yang menunjuk lab tertentu kecuali tentunya yang sesuai standar yang ditentukan Kemenkes,” katanya.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya