JAKARTA - Nasihat banyak orang tua agar menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) tampak semakin relevan. Semakin masuk akal karena profesi ini menjadi salah satu yang paling menjamin keamanan sosial. Ini berbanding terbalik dengan pekerja sektor informal yang menjadi tulang punggung negara ini.
Sekarang ini menurut Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, telah terjadi perubahan citra mengenai PNS. Kalau dulu profesi ini dianggap begitu eksklusif dan perlu "orang dalam" untuk bisa bekerja di sana, sekarang hampir semua orang bisa.
"Dulu mereka kan punya image kalau tidak punya uang, tidak punya kenalan, mereka tidak akan mendaftar menjadi PNS. Mereka sudah patah arang duluan sebelum bertarung. Dengan sistem yang baik dalam 7 tahun terakhir ini situasinya sudah berbeda," kata Bima kepada VOI.
Di beberapa daerah bahkan PNS menjadi profesi yang terpandang dan dihormati. Tak heran bila banyak orang tua memimpikan anak bahkan menantunya sebagai seorang PNS.
"Di daerah tertentu mereka yang menjadi PNS itu masih dikategorikan pada golongan terpandang. Makanya masih banyak orangtua yang mendorong anaknya untuk menjadi PNS," tutur Bima.
Kendati demikian, Bima mengatakan jumlah orang yang ingin menjadi PNS ini tak boleh terlalu banyak. "Musababnya, ini bukan sektor produktif, ini tidak menghasilkan atau tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi," kata Bima.
Selain itu Bima juga menjelaskan profesi PNS ini sejatinya bukan lapangan kerja, melainkan profesi untuk mengelola negara. Kata dia, saat ini masih ada perbedaan cara pandang masyarakat kepada PNS dan pegawai swasta. Berbeda dengan di beberapa negara maju yang menganggap PNS dan pegawai swasta itu serupa.
Minat tinggi jadi PNS
Jumlah pelamar pekerja PNS selalu berada di angka fantastis. Pada CPNS tahun ini saja, ada sekitar 3,48 juta pelamar. Sementara pada 2020, jumlah pelamar CPNS mencapai 3,77 juta orang.
Memang bila melihat data, profesi menjadi PNS tak pernah sepi peminat. Tak terkecuali bagi para pelajar dan mahasiswa. Misalnya saja survei dari Tim peneliti Center for Study of Governance and Administrative Reform Universitas Indonesia (UI-CSGAS) mencatat mayoritas (57 persen) pelajar yang mereka survei mayoritas ingin menjadi PNS.
Lantas apa alasan banyak orang berlomba-lomba menjadi PNS? Untuk menjawab itu Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono punya jawabannya.
Drajat mengatakan setidaknya ada tiga alasan mengapa minat masyarakat menjadi PNS tinggi. Pertama, dengan menjadi pegawai negeri, mereka bisa menjadi stabil dalam situasi apa pun, termasuk ketika krisis akibat pandemi COVID-19.
"Karena support dari pendanaan negara itu kuat. Negara itu menghimpun pajak dari seluruh rakyat," ujar Drajat kepada Kompas.
Kedua, karena daya serap kerja sektor industri swasta saat ini menjadi tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang dilahirkan. Hal ini semakin jelas terlihat tatkala banyak perusahaan yang memberhentikan pekerjanya karena terdampak krisis pandemi.
Dan ketiga karena reputasi PNS yang baik di mata masyarakat. Tak heran bila para PNS biasanya punya julukan "menantu idaman."
Jaminan sosial non-PNS lemah
Dari ketiga alasan tersebut yang paling menonjol sebetulnya adalah yang pertama. Tentang kestabilan sistem jaminan sosial. Ini menjadi faktor yang sulit dicari di tempat lain. Hal ini sangat berbanding terbalik bagi mereka yang menggeluti sektor informal.
Menurut data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2019, tercatat lebih dari setengah penduduk Indonesia memenuhi kebutuhan ekonomi mereka melalui sektor informal. Lebih tepatnya sektor ekonomi mandiri berskala kecil. Namun hal ini tidak dibarengi dengan sistem jaminan sosial yang kuat.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Dewi Harwina menjelaskan 35 persen Kepala Rumah Tangga (KRT) yang merupakan pekerja sektor informal tidak memiliki jaminan kesehatan. Sementara, KRT pekerja sektor informal yang telah memiliki jaminan kesehatan memiliki tingkat keberlanjutan yang rendah.
"61,8 persen pekerja informal mengaku menunggak iuran jaminan kesehatan karena aspek finansial, dan 11,2 persen menunggak karena tingkat kepercayaan yang rendah pada penyelenggara jaminan kesehatan," jelas Dewi dikutip laman resmi LIPI.
Dari sisi jaminan ketenagakerjaan, Ngadi, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menyampaikan bahwa jangkauan jaminan ketenagakerjaan ke sektor informal masih sangat minim. BPJS Ketenagakerjaan masih cenderung fokus di sektor formal. "Hanya 31,2 persen masyarakat sektor informal yang tahu tentang BPJS Ketenagakerjaan." kata dia.
Menurut Ngadi, rendahnya partisipasi masyarakat dalam jaminan ketenagakerjaan antara lain disebabkan oleh jarak kantor layanan yang sulit terjangkau, biaya pembayaran yang tinggi, serta minimnya kerjasama dengan penyedia layanan kesehatan. “Perlu ada optimalisasi sosialisasi melalui teknologi, pendekatan seni dan budaya, inovasi kebijakan, serta peningkatan kerjasama.” pungkas Ngadi.
*Baca Informasi lain tentang ASN atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
BACA JUGA: