Bagikan:

JAKARTA - Video viral rekaman seorang dosen UIN Syarif Hidayatullah, Zubair, yang membandingkan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memantik perdebatan. Salah satunya tentang mahasiswa yang merekam. Sebab, alih-alih mengutarakan pendapatnya di forum akademik, ia malah cekikikan sambil mengumpat. Ini seperti menunjukkan fenomena gunung es tentang banyak mahasiswa yang gagap dalam mengutarakan pendapatnya.   

Dalam video tersebut Zubair berpendapat bahwa akidah Asyariyah memiliki banyak masalah sehingga kalangan yang mengikutinya akan terjerembab dalam kebodohan. "Tidak produktif, tidak progresif, tidak inovatif, tidak kreatif. Bikin orang bodoh, bikin orang terbelakang, itulah Asyary," kata Zubair kepada mahasiswanya. Zubair berbicara hal itu saat kelas daring mata kuliah studi Islam di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta.

Saat berbicara hal itu, seorang mahasiswi merekamnya dan terdengar suara ia tertawa. Alih-alih mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan sang dosen, justru si mahasiswi memviralkan video itu.

Netizen menyayangkan mereka para mahasiswa yang tidak mencerminkan sikapnya sebagai seorang akademikus. Padahal sejatinya seorang mahasiswa harus mampu dan berani dalam mengutarakan sebuah pendapat. Apalagi dalam konteks Zubair, terjadi di forum akademik.

Karena sudah viral dan menimbulkan perdebatan  Zubair akhirnya meminta maaf. Dalam sebuah video Zubair menyatakan dirinya minta maaf telah menyakiti beberapa pihak yang terlibat dalam pernyataannya.

"Menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya kepada umat Islam, terkhusus keluarga besar NU karena kekhilafan dan kelalaian saya telah menyakiti hati dan perasaan mereka. Juga kepada keluarga besar Muhammadiyah karena kecerobohan telah mengusik ketentraman mereka dengan membandingkannya dengan keluarga besar NU," kata Zubair.

Budaya "diam"

Seyogyanya seorang mahasiswa dapat mengutarakan isi pikirannya. Karena itu menjadi modal dasar dari seorang akademikus untuk menyampaikan gagasan, ide, dan inovasi yang mereka buat. Sudah sepantasnya para terpelajar mampu berpikir kritis. Namun sayangnya, hal tersebut tampak terlalu idealis.

Mengutip penelitian Lenin Iyer yang bertajuk Critical Thinking and it's Importance in Education, berpikir kritis tidak hanya menggambarkan kemampuan untuk berpikir sesuai dengan aturan logika dan probabilitas, tetapi juga kemampuan untuk menerapkan keterampilan ini secara nyata. Selain itu, berpikir kritis memberi kesempatan seseorang untuk bersikap objektif, mengurangi emosional, dan lebih berpikiran terbuka saat melihat pandangan dan pendapat orang lain.

Sulitnya mahasiswa untuk berdebat atau mengemukakan pendapat tidak terlepas dari budaya pendidikan kampus di Indonesia. Masih banyak yang menerapkan metode pendidikan satu arah.

Misalnya sang pengampu yang hanya mencekoki ilmu, namun kurang mengajak pelajar atau mahasiswa untuk berpikir kritis atau bernalar kritis. Pun jika akhirnya mereka melakukan kritik, tidak sedikit pihak kampus yang kerap memanggil atau menghukum sang mahasiswa. Bisa dilihat, kedua pihak baik mahasiswa maupun kampus pun tidak bisa menerapkan berpikir kritis sama sekali.

Ilustrasi mahasiswa debat (Foto: ugm.ac.id)

Sistemik

Fenomena tersebut diafirmasi Koordinator Jaringan Pemerhati Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Kepada VOI, Ubaid menjelaskan bahwa sesungguhnya kampus adalah dunia bebas.

Menurut Ubaid, pembungkaman yang kerap terjadi justru yang membuat mahasiswa enggan berdebat dengan dosen. Belum lagi ada beberapa kasus bagi mahasiswa yang mendebat dosen akan diberi nilai jelek.

"Mahasiswa harusnya diajak untuk adu nalar, berdialog secara terbuka, itu yang harus ditumbuhkan. Namun yang terjadi malah silet kebijakan. Kemristek lebih menjadikan mahasiswa terserap ke dalam mesin industri bukan bagaimana mahasiswa diajak dan diasah nalar kritisnya. Sehingga perdebatan di kelas bukan jadi sebuah perdebatan karena hanya akan jadi dalam tanda kutip, bahan tertawaan," ungkap Ubaid.

Oleh sebab itu, ketika ada mahasiswa melihat dosennya tidak sesuai keinginannya atau tidak sepaham dengannya, ia memutuskan untuk tidak mendebatnya. Alih-alih mendebat di kelas, mahasiswa lebih senang mengunggahnya di media sosial karena jauh lebih bebas untuk berpendapat.

"Sementara kalau di kampus, mahasiswa khawatir jika mendebat malah diberi nilai jelek. Karena sudah banyak kejadian seperti itu," ujar Ubaid.

Dalam konteks dosen UIN Zubair yang viral itu, tak sedikit warganet yang menilai mahasiswa yang memviralkan bahan pengajaran di media sosial tidak etis. Tapi Ubaid tak sepakat. Menurutnya apa yang diperbincangkan di kampus atau kelas justru sangat layak diperbincangkan secara publik. Hal tersebut dikarenakan apa yang didebatkan atau diperbincangkan oleh dosen, mahasiswa, atau civitas akademika, bersifat sesuatu yang ilmiah.

"Dalam konteks kampus, (perdebatan/perbincangan) kan berbasis argumentasi, ada evidence based entah berbasis penelitian, teori atau tesis-tesis baru yang ditemukan. Jadi apa yang disampaikan oleh dosen bisa diperdebatankan oleh siapa pun," tutup Ubaid. 

*Baca Informasi lain tentang PENDIDIKAN atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya