Pahlawan Nasional, Haruskah Selalu Warga Negara Indonesia?
Ilustrasi foto (setneg.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Pemberian gelar pahlawan nasional jadi ritual tahunan pemerintah Indonesia. Tahun ini negara menetapkan enam pahlawan nasional baru. Mereka adalah Sultan Baabullah, Machmud Singgirei Rumagesan, Purnawirawan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Arnold Mononutu, Mr Sutan Muhammad Amir Nasution, dan Raden Mattaher bin Pangeran Kusen bin Adi. Semuanya asal Indonesia. Mengingat banyaknya peran warga negara asing dalam perjuangan bangsa, mungkinkah negara memberi gelar pahlawan nasional bagi orang asing?

Penetapan gelar pahlawan nasional telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Dalam UU 20/2009 diatur sejumlah syarat yang wajib dipenuhi dalam setiap pengajuan nama calon pahlawan nasional.

Merujuk UU tersebut, yang terklasifikasi sebagai syarat umum di antaranya adalah calon pahlawan merupakan warga negara Indonesia atau orang yang berjuang di wilayah yang kini menjadi wilayah NKRI. Nama itu juga harus memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, serta setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara. 

Selain dari peraturan yang ada, sebenarnya ada unsur lain yang kerap jadi faktor penentu pemberian gelar pahlawan nasional kepada seseorang: politik. Osa Kurniawan, dalam bukunya Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi, pernah menyoroti unsur politis dalam pemberian gelar pahlawan nasional.

Ia mengatakan di masa Orde Baru ada beberapa preseden pemberian gelar pahlawan yang patut dipertanyakan. Salah satunya pemberian gelar pahlawan terhadap Siti Hartinah (Bu Tien).

"Ada satu kasus yang politis juga. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Ibu Tien Soeharto. Jasanya (Bu Tien) apa? Karena mendampingi Soeharto?" tutur Osa kepada VOI.

Bukan cuma di zaman Soeharto. Pemberian gelar pahlawan nasional di zaman Sukarno pun dilakukan tanpa prosedur yang jelas. Sama seperti masa Soeharto. Pemberian gelar pahlawan nasional di era Sukarno juga sarat dengan subjektivitas dan kepentingan politik.

Penetapan nama Sutan Sjahrir, misalnya. Gelar pahlawan nasional Sjahrir diberikan pada tahun 1966, satu hari setelah ia meninggal di Swiss dalam status sebagai tahanan politik. Penganugerahan gelar kepada Sjahrir juga dipercaya sebagai upaya Sukarno menjaga keseimbangan politik kala itu.

Dua tahun sebelum kematian Sjahrir, tepatnya 1964, jadi tahun paling banyak Sukarno mengobral gelar pahlawan nasional. Setidaknya ada sepuluh tokoh yang diberikan gelar pahlawan nasional. Komposisinya beragam. Dua orang dari TNI, dua dari Nahdlatul Ulama (NU), dua dari Muhammadiyah, dan tiga dari unsur perempuan. Dan Sjahrir adalah representasi dari Nasakom, unsur komunis kala itu.

Kenapa tidak?

UU jadi dinding cukup tinggi bagi pemberian gelar pahlawan nasional pada pejuang asing berjasa bangsa. Meski begitu, peneliti Sejarah Rahadian Rundjan, dalam tulisannya di Deutsche Welle sempat mengangkat diskursus mengenai pengangkatan pahlawan nasional dari kalangan non-pribumi.

Menurutnya, UU 20/2009 sejatinya memberi celah untuk mengangkat mereka yang bukan warga negara Indonesia (WNI) sebagai pahlawan nasional. Syaratnya, memenuhi kriteria prinsipil lain yang tertulis di UU.

Presedennya ada. Sudah ada tokoh kemerdekaan berdarah Belanda yang diangkat sebagai pahlawan Indonesia pada 1961, yakni Ernest Douwes Dekker. Pria yang lahir di Pasuruan, Hindia Belanda, 8 Oktober 1879 ini adalah seorang penggagas nama Nusantara sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Ia juga jadi salah satu dari Tiga Serangkai, pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia yang kesohor itu.

Menurut Rahadian, kriteria WNI bisa ditelisik jika dikaitkan dengan nama-nama yang hidup sebelum masa pergerakan nasional di awal abad ke-19. Ia mencontohkan bentrokan fisik Sultan Agung, Iskandar Muda, dan Hasanuddin dengan bangsa Eropa yang merupakan konflik dengan konteks regional, "Ditambah minusnya kesadaran akan 'Indonesia,'" tulisnya.

Namun, bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa itulah yang dianggap selaras dengan esensi perjuangan bangsa Indonesia, sehingga nama-nama tersebut layak diangkat. "Bukankah dengan begitu, terbuka pula kesempatan bagi sosok-sosok Belanda, dan orang asing penentang lainnya, diajukan menjadi pahlawan nasional?" Rahadian.

Ada beberapa tokoh non-WNI yang layak diajukan sebagai pahlawan nasional. Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, misalnya. Penulis yang mengungkap kebusukan rezim Belanda di Nusantara melalui novelnya, Max Havelaar.

Karyanya berhasil mengubah pandangan publik terhadap sistem kolonialisme Belanda dan memicu serangkaian reformasi politik, sosial. Berkat dirinya, terbukalah persepsi kebangsaan dan konsep negara Indonesia beberapa dekade setelahnya. 

Selain itu, bila mau diliat dari sektor militeristik juga ada seorang tokoh yang tak kalah heroik. Kita bisa mengajukan Idjon Djanbi menjadi salah satunya. 

Setelah Indonesia merdeka, bentrokan fisik masih banyak terjadi di negara ini. Derasnya serangan baik dari luar maupun dalam negeri, membuat Indonesia perlu meningkatkan pasukan militernya.

Indonesia membutuhkan angkatan bersenjata berkeahlian khusus. Brigadir Jenderal TNI Ignatius Slamet Riyadi sempat menggagas ide membentuk pasukan khusus. Sayang, ia tewas sebelum gagasan terwujud.

Sosok Idjon Djanbi lah yang kemudian merealisasikan gagasan tersebut. Tangan seorang Belanda yang membentuk Komando Pasukan Khusus (Kopasus).

Idjon Djanbi adalah tokoh yang berpengaruh dan berjasa bagi kalangan tentara baret merah. Ia adalah orang yang mengasah mental dan fisik anggota TNI AD pilihan untuk dilatih menjadi prajurit tangguh yang dapat bergerak dalam unit kecil, dadakan, dan terselubung.

Meski berkontribusi besar terhadap bangsa, nampaknya kriteria sebagai WNI sulit untuk dikecualikan. Sejarawan Ravando Lie mengatakan jangankan orang asing, untuk pahlawan keturunan China dan keturunan Arab pun perlu menempuh jalan panjang untuk mengangkatnya sebagai pahlawan nasional. 

Kalau pun bisa, bagi pahlawan keturunan China dan Arab perlu menempuh proses berliku agar bisa merealisasikannya. "John Lie itu diusulkan dari Minahasa. Kalau semisal menggunakan embel-embel Tionghoa sepertinya tidak akan goal," kata Ravando kepada VOI hari ini, 10 November. 

Laksamana Muda Tentara Nasional Indonesia Purnawirawan John Lie Tjeng Tjoan atua yang dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma adalah seorang perwira tinggi di Angkatan Laut dari etnis Tionghoa. Ia dikenal atas jasanya sebagai penyelundup senjata dari Singapura. Perjuangannya tidak mudah karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang realtif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.

Pembahasan lebih komprehensif mengenai isu pahlawan nasional pernah kami kuliti lewat Tulisan Seri "Menjadi Pahlawan Nasional".