Ernest Douwes Dekker: Kritik dari Darah Belanda Sendiri
Ernest Douwes Dekker (Sumber/Ilustrasi: KITLV Leiden University/Raga Granada)

Bagikan:

JAKARTA - Perawakannya boleh bule. Dan ia memang tak seratus persen bumiputra. Namun semangatnya begitu pribumi. Dia adalah Ernest Douwes Dekker. Dikenal sebagai pendiri partai politik pertama di Indonesia, pria berdarah Belanda dikenal sebagai penggerak revolusi Indonesia. Banyak hal lain nan berpengaruh yang ia lakukan untuk negeri ini.

Ernest Douwes Dekker masuk dalam golongan Indo. Ibunya memiliki darah Indonesia, yang membuatnya tidak murni Belanda. Meski demikian, Ernest Douwes Dekker tetap masuk dalam golongan orang Eropa. Oleh sebab itu juga ia berhasil masuk di sekolah elite Gymnasium Koning Willem III School di Salemba.

Statusnya sebagai 'orang Belanda' tidak membuatnya superior. Justru, pemikiran-pemikiran Ernest Douwes Dekker untuk revolusi Indonesia lebih dari banyak pribumi lainnya. Hal tersebut terbukti dengan bersatunya Ernest Douwes Dekker dengan Tjipto Mangonkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Mereka bertiga dikenal sebagai tiga serangkai dan berhasil mendirikan partai politik pertama di Indonesia, Indische Partij (Partai Hindia).

Mengutip dari buku Douwes Dekker: Sang Inspirator dan Revolusi, mereka bertiga saling kenal sejak Ernest Douwes Dekker menjadi redaktur utama Bataviaasch Nieuwsblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda di Indonesia. Surat kabar tersebut menarik perhatian kalangan dokter karena dianggap sebagai surat kabar yang independen. Dari situlah persahabatan Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat terjalin.

Ernest Douwes Dekker melihat diskriminasi dan rasisme terhadap orang Indo. Hal yang begitu mengganggu bagi Ernest Douwes Dekker yang menjunjung tinggi persamaan antara kaum Londo, Indo, dan pribumi. Lewat Indische Partij, Ernest Douwes Dekker mendorong "Gerakan Teosofi". Gerakan Teosofi kerap menggunakan dua tokoh wayang dalam menyampaikan pesan: Kresna dan Arjuna, yang juga menjadi simbol dari Indische Partij.

Didirikannya Indische Partij bukan hanya untuk orang Indo, namun demi memfasilitasi para pribumi juga. Pada 15 September 1912, Ernest Douwes Dekker bahkan mengunjungi beberapa daerah di Jawa untuk memperkenalkan Indische Partij.

Perhentian pertamanya adalah Yogyakarta. Saat berada di kereta, dengan lantang Ernest Douwes Dekker menyampaikan "khutbah" yang berapi-api. "Saudara, kita umumnya dianggap malas, makhluk apatis yang menderita banyak kebiasaan buruk. Tapi saya melihat Anda semua telah bangun sepagi ini menentang tuduhan para dokter Belanda yang begitu parah bahwa kita Indier rendahan."

Ernest Douwes Dekker lalu menuju kota lain, yakni Surabaya. Ia mendapat sambutan yang sangat baik. Kedatangannya bahkan menarik banyak anggota baru ke Indische Partij. Masyarakat pribumi dan Tionghoa turut bergabung. Safari Ernest Douwes Dekker berakhir di Tegal dan Cirebon. Setelahnya, ia kembali ke Bandung pada 22 Oktober 1912.

Kesuksesan perjalanan tersebut membuat Ernest Douwes Dekker kembali melakukan safari politik ke area lain, yaitu Jakarta, Kendal, Kudus, Jombang, Solo dan Serang. Tepat pada Natal, 25 Desember 1912, Indische Partij menggelar rapat besar, di mana Ernest Douwes Dekker mengumumkan anggaran partai. Ia juga mengumumkan kepengurusan partai, menunjuk Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai wakil ketua mendampingi dirinya.

Perlawanan Pena Jurnalistik

Ernest Douwes Dekker kerap kali bergonta-ganti profesi. Namun ia menambatkan hatinya pada profesi jurnalistik. Di usia 14, Ernest Douwes Dekker berhasil menulis buku berjudul Gedenkboek van Lombok. Dalam buku tersebut, Ernest Douwes Dekker menceritakan keindahan tanah Lombok.

Ia terus mengasah talenta menulisnya hingga 1899 saat berhijrah ke Afrika Selatan. Ernest Douwes Dekker pergi ke Afrika Selatan untuk menjadi sukarelawan dalam Perang Boer. Selama di Afrika Selatan, Ernest Douwes Dekker mengirim surat untuk teman-temannya di Batavia. 

Tulisan-tulisan Ernest Douwes Dekker yang mereportasekan keadaan Perang Boer --seperti perjalanannya melintasi India, Aden dan Afrika Timur-- diterbitkan di Bataviaasch Nieuwsblad. Tulisan tersebut menarik perhatian pemimpin De Locomotief Pieter Brooshoft dan Vierhout. Setelah pulang dari Afrika Selatan, Ernest Douwes Dekker ditawari menjadi korespenden Batavia. Ernest Douwes Dekker pun mengambil kesempatan tersebut. 

Saat menjadi wartawan, Ernest Douwes Dekker tidak ragu mengkritik pemerintah Hindia Belanda. Contohnya, saat Ernest Douwes Dekker mengkritik politik etis yang memecah belah masyarakat pribumi. Tidak sedikit tokoh Belanda membalas tulisan Ernest Douwes Dekker dengan menyebutnya oportunis, avonturir, bahkan 'Si Bangsat'.

Karena kerap mendapatkan ancaman dan kebencian dari Pemerintah Hindia Belanda, Ernest Douwes Dekker lalu menulis berita dengan nama inisialnya 'DD', yang kemudian jadi nama panggilannya. Karier jurnalistik Ernest Douwes Dekker pun terus melonjak. Ia menjadi koresponden berbagai surat kabar di Bandung dan Sumatera.

Ia berhasil menjadi redaktur utama Bataviaasch Nieuwsblad di usia 28 tahun. Namun, Ernest Douwes Dekker tidak lama berada di Bataviaasch Nieuwsblad. Ia memutuskan hengkang setelah bertengkar dengan pemimpin redaksi media tersebut. Tidak punya pekerjaan, Ernest Douwes Dekker memutuskan pindah ke Belanda.

Namun, penjajahan Belanda di Indonesia terus mengusiknya. Ernest Douwes Dekker pun memutuskan segera kembali ke Batavia. Ia lalu menerbitkan surat kabar Het Tijdchrift. Surat kabar tersebut berisi tulisan tentang nasionalisme.

Ernest Douwes Dekker kemudian juga menerbitkan De Expres. Surat Kabar itu jadi yang terakhir ia ciptakan, yang kemudian menjadi media resmi Indische Partij. Ernest Douwes Dekker, bergantian dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat menulis tulisan yang kerap mengecam Belanda dan menumbuhkan nasionalisme.

Semua usaha yang dilakukan Ernest Douwes Dekker menunjukkan bahwa darah Belanda di tubuhnya tak berarti ia harus sepakat dengan kolonialisme Belanda. Bahkan, Ernest Douwes Dekker lebih sering mengaku dirinya sebagai orang Jawa karena tumbuh dan hidup di Indonesia. Keberaniannya menentang ketidakadilan rasial dan melawan sikap otoriter Belanda mampu menularkan kecintaan rakyat Indonesia pada negaranya.