JAKARTA - Indonesia tengah membutuhkan angkatan bersenjata berkeahlian khusus. Kala itu, negeri ini sedang rentan-rentannya dari serangan. Brigadir Jenderal TNI Ignatius Slamet Riyadi sempat menggagas ide membentuk pasukan khusus. Sayang, ia tewas sebelum gagasan terwujud. Idjon Djanbi merealisasikan. Tangan seorang Belanda yang membentuk Komando Pasukan Khusus (Kopasus).
Pasca-kemerdekaan, Indonesia belum memiliki angkatan bersenjata yang memiliki keahlian khusus. Padahal, di masa itu, keberadaan mereka sangat diperlukan untuk membendung berbagai serangan, baik dari pihak luar maupun dalam negeri yang mencoba mengobarkan perang dengan Indonesia.
Apalagi, di tahun 1950-an, banyak sekali gerakan dalam negeri yang mencoba melawan pemerintah pusat dengan misi separatis, memisahkan diri dari Indonesia untuk mendirikan negara sendiri. Brigadir Jenderal TNI Ignatius Slamet Riyadi memiliki ide untuk membentuk pasukan khusus yang berjumlah sedikit namun efektif dalam menjalankan operasi militer.
Sayang, belum sempat terwujud, Slamet Riyadi lebih dulu tewas di medan perang, dalam pertempuran melawan gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Slamet Riyadi kala itu berusia 23.
Pada tahun 1951, seiring meningkatnya pemberontakan yang dilakukan DII/TII pimpinan Kartosowiryo di wilayah Jawa Barat, Kolonel Infanteri Alexander Evert Kawilarang selaku Panglima Teritorial Tentara III/Siliwangi menggagas kembali ide Slamet Riyadi. Tujuannya, membantu upaya memadamkan pemberontakan DI/TII.
Tugas membujuk Idjon Djanbi
Kolonel Aloysius Sugiyanto kemudian ditugaskan mencari orang untuk melatih pasukan khusus tersebut. Perintah untuk Sugiyanto adalah merekrut mantan anggota Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL). Dari pencarian itu, Sugiyanto menemukan Mochamad Idjon Djanbi.
"Saya tahu kala itu belum ada perwira pribumi yang menguasai teknik pertempuran komando seperti pasukan yang kami hadapi di Ambon. Karena itu, pencarian kandidat pelatih mengerucut pada para mantan tentara KNIL, yang tersebar di banyak tempat," Sugiyanto, dikutip majalah Tempo edisi 23 November 2019.
"Di tengah pencarian, muncul informasi yang menyebutkan di Bandung ada bekas tentara Belanda yang menjadi muslim dan menikah dengan perempuan Sunda. Namanya Mochamad Idjon Djanbi," tambahnya.
Sugiyanto mengisahkan betapa tak mudah membujuk Idjon Djanbi untuk bergabung bersama TNI dan mendirikan satuan pasukan khusus. Meski berpengalaman dalam pertempuran di India, Idjon Djanbi sudah tak ingin lagi jadi tentara. Saat ditemui Sugiyanto, Idjon Djanbi telah menjadi petani bunga di kawasan Lembang.
"Butuh dua hari dua malam untuk melunakkan hatinya. Saya menginap di rumahnya. Ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja, termasuk soal bunga yang sebelumnya saya sengaja pelajari. Usaha saya tak sia-sia. Akhirnya Djanbi melunak dan bersedia turut melatih peserta kursus intelijen militer gelombang kedua di Cilendek, Bogor. Djanbi mengajarkan materi parakomando hingga perang gunung-hutan, ilmu yang baru untuk prajurit TNI saat itu," kata Sugiyanto.
Idjon Djanbi adalah tokoh yang berpengaruh dan berjasa bagi kalangan tentara baret merah. Ia adalah orang yang mengasah mental dan fisik anggota TNI AD pilihan untuk dilatih menjadi prajurit tangguh yang dapat bergerak dalam unit kecil, dadakan, dan terselubung.
Tentara ulung
Dikutip dari buku Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces karya Ken Conboy, tokoh Idjon Djanbi pendiri pasukan khusus ini lahir di Desa Boskoop, Provinsi Zuid Holland pada 13 Mei 1914. Ia lahir dengan nama Rokus Barendregt Visser.
Pecahnya Perang Dunia II tahun 1939 membuatnya bergabung menjadi tentara Belanda. Ia melakoni pertempuran dengan Jerman di usia 25 tahun. Saat menjadi tentara Belanda, Idjon Djanbi pernah ditugaskan menjadi sopir Ratu Wilhelmina.
Satu tahun menjadi sopir Ratu Belanda, ia bergabung menjadi Second Dutch Troop untuk bertempur dalam Operasi Market Garden, pertarungan antara pasukan sekutu melawan pasukan Nazi Jerman. Idjon masuk ke dalam Divisi Lintas Udara dan diterjukan di berbagai wilayah konsentrasi pasukan Jerman. Idjon juga sempat menjadi pasukan amfibi yang bertempur di Walcheren, wilayah Belanda bagian selatan.
Idjon Djanbi mendapat keahlian bertempur saat dirinya dilatih di Achnacarry Commando Basic Training di Skotlandia. Pelatihan itu dilakukan di sebuah pantai yang dingin dan tak berpenghuni. Selama pelatihan, Idjon Djanbi memperoleh berbagai keahlian bertempur, seperti membunuh tanpa senjata, membunuh pengawal, penembakan tersembunyi, perkelahian tangan kosong, hingga membunuh tanpa senjata api.
Setelah menjalani pelatihan di Skotlandia, Idjon Djanbi mendapat 'bervet glider' (baret hijau). Sementara, baret merah didapatkan Idjon Djanbi saat memperoleh pendidikan dari Special Air Service (SAS) Inggris. Selain itu, Idjon Djanbi juga memiliki lisensi penerbang PPL-I dan PPL-II serta lisensi pertempuran hutan.
Dengan segudang keahliannya, Idjon Djanbi dikirim Belanda untuk bertempur di Indonesia. Tugasnya saat itu adalah memukul mundur tentara Jepang. Kala itu, meski Jepang sudah mundur dari Indonesia pasca-kekalahan dalam Perang Dunia II, Belanda tetap mengirim pasukan karena terbukanya peluang untuk kembali menjadikan Indonesia yang telah proklamasi sebagai koloni Belanda.
Idjon Djanbi datang ke Indonesia dan sempat melatih pasukan khusus untuk Belanda, di School Opleiding Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) tahun 1946, di tengah markas pasukan di wilayah yang kala itu masih jadi kekuasaan Belanda: Papua Barat. Kala itu agresi militer ke Indonesia belum terjadi.
Kembali ke Nusantara
Idjon Djanbi sempat pulang ke Eropa menemui keluarga dan istrinya, seorang wanita Inggris yang dinikahinya saat masa perang dunia. Terlanjur jatuh hati dengan Indonesia, Idjon Djanbi sempat mengajak istrinya pindah dan menetap di Indonesia.
Namun, sang istri menolak. Terjadilah perceraian antara keduanya. Tahun 1947, Idjon Djanbi kembali ke Indonesia. Kali ini ia tak lagi menuju Papua Barat, karena sekolah militer yang ia pimpin itu sudah dipindahkan ke Cimahi, Bandung.
Tak lama berkarier di Jawa Barat, Idjon Djanbi mendapat kenaikan pangkat menjadi kapten dengan jabatan sebagai Pelatih Kepala. Dalam kurun waktu selama agresi militer 1947 hingga 1949, sekolah yang ia pimpin banyak menghasilkan pasukan penerjun dalam pertempuran.
Pasca agresi militer Belanda di Indonesia, Idjon Djanbi memilih menetap di Indonesia sebagai warga sipil. Ia resmi keluar dari dunia militer dan beralih profesi sebagai petani bunga di Lembang, Jawa Barat. Keputusannya menetap di daerah musuh --di mana ia pernah bertempur-- banyak merubah hidup Idjon Djanbi.
Selain mualafkan diri, Idjon Djanbi juga menikahi wanita Sunda bernama Suyatni. Sejak itu Rokus Bernardus Visser mengubah namanya menjadi Mochammad Idjon Djanbi. Dua tahun berselang, tepatnya pada tahun 1951, rumah Idjon Djanbi kedatangan prajurit intelijen, yang tak lain adalah Aloysius Sugiyanto.
Sugiyanto meminta Idjon Djanbi membantu TNI menjadi pelatih komando di pendidikan CIC II (Combat Inteligen Course) Cilandak, Bogor. Walau sempat menolak tawaran tersebut, akhirnya Idjon Djanbi mau juga bergabung menjadi pelatih di CIC II berstatus sipil.
Niat membetuk pasukan khusus di tubuh Angkatan Darat pun semakin besar. 1 April 1952, atas keputusan Menteri Pertahanan saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Idjon Djanbi diangkat menjadi Mayor Infanteri TNI dengan NRP 17665.
Idjon Djanbi bertugas melatih kader dari para perwira dan bintara untuk membentuk pasukan khusus. Tanggal 16 April 1952, dibentuklah pasukan khusus Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi, disingkat Kesko III. Pasukan itu berada di bawah komando Mayor Infanteri Idjon Djanbi. Tanggal itulah yang hingga kini diperingati sebagai hari jadi Kopassus.
Satu tahun kemudian, kendali Kesko III diambil alih langsung di bawah Markas Besar Angkatan Darat. Namanya pun diganti menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat. Pada 25 Juli 1955, komando yang dipimpin Mayor Infanteri Idjon Djanbi kembali berubah nama menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Kiprah Mayor Idjon Djanbi dalam mencetak pasukan khusus itu tak selamanya mulus. Banyak pihak yang meminta dirinya diganti atau mengurangi perannya dalam melatih pasukan khusus. Alasannya, pihak-pihak itu khawatir Idjon Djanbi --yang notabene mantan tentara Belanda-- menjadi mata-mata untuk Belanda di tubuh Angkatan Darat.
BACA JUGA:
Akhirnya, sejumlah pemimpin militer setuju mengganti Mayor Idjon Djanbi dengan Mayor R.E. Djaelani dari Divisi Siliwangi pada tahun 1956. Sementara, Idjon Djanbi ditawari jabatan baru yang jauh dari urusan pelatihan pasukan, yakni menjadi Koordinator Staf Pendidikan di Inspektorat Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat).
Namun Idjon Djanbi memilih mengajukan pensiun. Di akhir tahun 1957, Idjon Djanbi resmi pensiun dan diberi jabatan sebagai kepala perkebunan di sebuah perkebunan milik asing yang telah dinasionalisasi. Idjon Djanbi juga menjalankan bisnis di bidang pariwisata di Yogyakarta.
Pada tahun 1977, Idjon Djanbi terkena sakit usus buntu dan harus menjalan operasi. Dua minggu setelah operasi usus buntu, Idjon Djanbi tutup usia di Rumah Sakit Panti Rapih pada 1 April 1977. Idjon Djanbi dikebumikan di TPU Yogyakarta. Tak ada upacara pemakaman khusus atau salvo sebagai penghormatan terakhir wafatnya salah satu bapak pendiri Kopassus.