JAKARTA - Resimen Mahasiswa (Menwa) punya andil besar dalam sejarah bangsa. Dua jenderal besar A.H. Nasution dan Ahmad Yani adalah pencetusnya. Menwa dibentuk untuk menjegal Partai Komunis Indonesia (PKI) mendirikan Angkatan Kelima, petani-buruh yang dipersenjatai.
Prestasi Menwa lalu meningkat pasca terlibat dalam operasi bela negara: Trikora hingga G30S. Namun, tak sedikit yang membenci Menwa. Arogansi anggota Menwa jadi muasalnya. Menwa kerap bertingkah lebih garang dari tentara sungguhan.
Usulan petinggi PKI, Dipa Nusantara Aidit membentuk Angkatan Kelima yang berisi 15 juta buruh-petani yang dipersenjatai ditentang banyak pihak. Jenderal A.H Nasution dan Ahmad Yani jadi tokoh penting yang menentang.
Keduanya berpandangan pembentukan Angkatan Lima PKI itu tidak efesien, sekalipun negara memang membutuhkan banyak relawan. Lagi pula, bukan tidak mungkin pasukan sipil bersenjata itu justru jadi bumerang buat Angkatan Darat, yang bisa mengancam kehidupan bermasyarakat.
Duo jenderal itu berpandangan langkah PKI harus dijegal. Menwa dipilih sebagai salah satu upaya penjegalan Angkatan Kelima PKI pada 1959. Dengan demikian, korps yang dibentuk oleh A.H. Nasution dan Ahmad Yani itu muncul sebagai kekuatan baru yang siap menjegal agenda PKI.
Menwa lalu diisi oleh unsur kekuatan sipil seperti mahasiswa yang dilatih untuk mempertahankan negara. Sekumpulan mahasiswa yang terlibat lalu berjasa besar dalam melanggengkan fungsi Menwa sebagai wujud dari sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
“Sementara kuliah dan berorganisasi di HMI, aku tetap mendayung becak pada sore sampai malam hari untuk uang kuliahku. Kadang-kadang memakai becak mesin yang disewakan Ayahku. Kalau tidak kuliah aku juga membantu menjaga kedai sampah. Selama kuliah aku masuk Rewa (Resimen Mahasiswa). Yang sekarang disebut Menwa.”
“Atribut Rewa pakaiannya seperti tentara, sepatu boots, ikat pinggang bésar, dan memakai topi pet. Aku merasa bangga berpakaian seperti tentara. Rewa dibentuk oleh Jenderal A.H. Nasution untuk menghadapi gerakan Komunis yang merajalela, angkuh, dan sombong,” terang tokoh militer Indonesia, Kivlan Zen sebagaimana ditulis Titi Dewi dalam buku Kivlan Zen: Personal Memoranda, Dari Fitnah Ke Fitnah (2020).
Wajib militer
Pola latihan Menwa meniru wajib militer di negara-negara seperti Israel, Korea, Taiwan, atau Singapura. Menwa lalu berkembang pesat. Hampir setiap perguruan tinggi Indonesia selalu ada Menwa. Pun Markas Komando Menwa hadir pula di dalam perguruan tinggi.
Sedang anggotanya adalah mahasiwa peguruan tinggi itu sendiri. Perbedaannya hanya terletak pada nama Menwa di tiap kawasan. Ambil contoh Menwa di perguruan tinggi Jakarta dinamakan Mahajaya, Jawa Barat bernama Mahawarman, dan lain sebagai.
Eksistensi Menwa semakin diperhitungkan karena korps tersebut sering dilibatkan dalam upaya mempertahankan Tanah Air. Keterlibatan paling diingat adalah keterlibatan Menwa dalam perang perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.
Perebutan Irian Barat itu kemudian langgeng dikenang sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora). Pencetusnya adalah Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Bung Karno. Ia mencetuskan Trikora di Alun-Alun Utara, Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Menwa pun jadi unsur penting yang terlibat dalam Trikora.
“Sekarang saya tanya kepada saudara-saudara, kepada dunia internasional, mengapa pihak Belanda menjadikan Irian Barat sebagai boneka Papua. Belanda menghasut rakyat Irian barat menjalankan satu politik memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan Negara Papua, mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan zoogenamde,” penggalan isi pidato Trikora Soekarno kala itu.
Arogansi Menwa
Keterlibatan Menwa dalam aksi bela negara pun meningkat. Menwa terut menjadi bagian Dwikora hingga penumpasan simpatisan daripada G30S. Karenanya, menjadi anggota Menwa adalah hal yang prestise di masanya. Apalagi Menwa dikenal memiliki kedekatan dengan militer. Yang mana, kedekatan itu membuat penampilan dan sikap anggota Menwa laksana “tentara sungguhan.”
Di sisi lain, penampilan dan tata cara organisasi yang militeristik kerap membuat Menwa tak disukai banyak pihak. Mahasiswa salah satunya. Menwa dianggap sering kali melanggengkan kekerasan dalam menjalankan aksinya. Terutama saat Orde Baru.
Korps mahasiswa itu sering menjadi alat pemerintah untuk meredam gerakan-gerakan mahasiswa yang berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan. Alhasil, kebencian menyebar di kalangan mahasiswa umum. Lantaran itu anggota Menwa disebut lebih garang dibanding tentara sungguhan.
“Tahun-tahun itu tidaklah sama dengan sekarang Zaman Orde Baru dulu, mahasiswa tak bisa bertanya apa saja. Berkumpul sedikit mengkritik pemerintah, pasti ditangkap. Apalagi jika judulnya kégiatan politik. Unit-unit kegiatan kampus yang giat membuka ruang-ruang diskusi kritis juga selalu didatangi intel. Belum lagi jaman itu di kampus ada Resimen Mahasiswa (Menwa) yang dengan gayanya yang gagah mentereng sering petantang petenteng di kampus bak tentara. Tentara ‘beneran’ lebih lagi arogan tingkahnya,” cerita R. Valentina Sagala dalam buku Mengunjungi Hati, Merawat Kehidupan (2019).
Istilah “lebih garang dari tentara sungguhan” bukan cuma berkembang di kalangan luar Menwa. Orang di dalam Menwa pun mengakuinya. Bahkan, petinggi-petinggi Menwa di perguruan tinggi secara penampilan tampak mirip tentara ketimbang mahasiswa. Cirinya rata-rata pemimpin Menwa tampak nyaman berkumis, bersuara lantang, bersikap garang, dan perintahnya sukar dibantah.
Dalam tiap latihan, perintah dari petinggi Menwa jadi yang paling penting didengar. Bak panglima tertinggi. Tak peduli hujan, tak peduli panas terik, ketika petinggi telah bersabda, maka anggota harus mengikuti.
Latihan militer itu bisa berlangsung selama tiga bulan. Di hari sabtu dan minggu. Total latihan dapat mencapai 160 jam. Pun tiap latihan anggota Menwa siap sedia mendengar segala bentuk perintah dan ocehan dari atasannya.
“Namun, yang paling garang adalah Edie ‘Boliem’ Umaryanto, anggota Menwa bertubuh kecil bulat seperti onde-onde Bo Liem asal kotanya, Mojokerto. Mas Boliem sering menginjak punggung kami agar dada dan perut merapat ke tanah pada saat tiarap. Baju seragam kami berlepotan tahi kambing.”
“Banyak juga anggota Menwa yang simpatik, antara lain, Sudaryanto yang kami juluki ‘Kopral’ (belakangan menjadi Direktur BRI); Mahmud Raimadoya -- mahasiswa dari Ambon, dan Abdul Waris Pattiwiri (mantan pejabat Bulog) dari Sulawesi Selatan,” tutup mantan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) era Orba, Yan Lubis dalam buku Baranangsiang (2019).
*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.
MEMORI Lainnya
BACA JUGA: