Bagikan:

JAKARTA - Sutan Sjahrir adalah nama mentereng dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Gagasannya sebagai tokoh bangsa bak penentu arah kemerdekaan. Ia jadi sosok yang mampu menambah siasat Indonesia dalam Perang Revolusi (1945-1949), dari angkat senjata ke diplomasi.

Hasilnya gemilang. Indonesia merdeka dan Sjahrir membesarkan Partai Solialis Indonesia (PSI). Nyatanya membangun PSI bukan perkara mudah. Suara PSI hancur lebur dalam pemilu 1955. Kekalahan itu bermuara pada kampanye bermuatan elitis ala PSI.

Eksistensi Sjahrir di era pergerakan nasional kerap membuat Belanda kerepotan. Ia dianggap pemberontak radikal oleh Belanda. Empunya kuasa mencoba mematikan jejak perlawanan Sjahrir. Opsi penjara, kemudian pengasingan dilanggengkan.

Jauh panggang dari api. Pengasingan Sjahrir – baik di Boven Digoel atau Banda Neira—nyatanya tak membuat nyali Sjahrir menyebarkan ide-ide kemerdekaan mereda. Sekalipun kuasa Belanda digantikan oleh penjajah Jepang pada 1942.

Sjahrir tetap pada narasi menginginkan bangsanya lepas dari belenggu penjajahan. Perjuangan itu membawakan hasil. Indonesia pun mengumandangkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kebebasan dari penjajahan disambut dengan gegap gempita.

Sutan Sjahrir memberikan pidatonya dalam kampanye PSI di Bali pada 1955. (Wikimedia Commons)

Namun, perjuang Sjahrir dan tokoh bangsa lainnya masih panjang. Penjajah Belanda justru kembali datang ke Nusantara dengan misi merebut Indonesia kali kedua. Bangsa Indonesia tak terima. Perlawanan pun berkumandang.

Perang itu langgeng dengan istilah Perang Revolusi. Sjahrir yang menjabat Perdana Menteri Indonesia menilai perang itu takkan dapat dimenangkan dengan siasat angkat senjata saja. Ia justru berpikir opsi lain yang lebih ampuh ketimbang angkat senjata. Jalur diplomasi, namanya.

Diplomasi dipilihnya sebagai kunci utama untuk Indonesia bisa menjaga kemerdekaan. Artinya, diplomasi dapat menjadi kunci bagi kelangsungan hidup negara baru: Indonesia. Opsi itu dijalankan bersamaan dengan angkat senjata. Ragam perundingan dilanggengkan. Akhirnya, perundingan jadi penentu kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda pada 1949.

“Dalam suasana revolusi yang senantiasa penuh semangat perjuangan fisik dan emosi yang meluap-luap, Bung Sjahrir selahu bersikap tenang dan tak pernah kehilangan keseimbangannya. Dia tampak memiliki intelek yang jernih, tajam, dan terlatih untuk berpikir. Kemampuan inteleknya begitu besar sehingga tidak dapat dihanyutkan oleh perasaan-perasaan yang pada waktu itu sering melanda sebagian besar rakyat dan para pemimpinnya dalam menghadapi masalah-masalah revolusi.”

“Keunggulannya secara intelektual-politik dan keyakinannya sebagai seorang sosialis demokrat merupakan kebesarannya sebagai seorang pemikir politik dan penunjuk jalan bagi negara Republik Indonesia yang sedang dipertahankan eksistensinya. Keunggulan Bung Sjahrir yang demikian itu diakui dan diperhitungkan oleh lawan-lawannya dari pithak Belanda di meja perundingan,” terang Sultan Hamengkubuwono IX dalam buku Mengenang Sjahrir (2013).

Kegagalan Sjahrir Bangun PSI

Pengakuan kedaulatan Indonesia disambut dengan suka cita. Sjahrir, apalagi. Ia yang mulai jadi warga negara biasa dan melanggengkan peran membangun kendaraan politiknya, PSI.

Partai itu dibangun Sjahrir untuk menciptakan cita-cita keadilan dengan frasa sosialis kerakyatan. Suatu paham sosialisme yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan persamaan derajat tiap manusia. Narasi itu jadi dasar politik partainya.

Karisma Sjahrir pun mampu memikat banyak kaum intektual. Kader-kadernya mentereng. Banyak di antaranya intelektual Indonesia seperti Sumitro Djojohadikosumo (ayah Prabowo Subianto) hingga Mariah Ulfah ikut bergabung ke dalam partai Sjahrir.

Sederet kaum intelektual itu memiliki cita-cita yang sama dengan Sjahrir. Namun, harapan tinggal harapan. Eksistensi PSI nyatanya tak secemerlang partai-partai lain. PSI seraya mengelompokkan dirinya sebagai partai kader, bukan partai massa. Padahal, dalam sistem pesta rakyat pengaruh massa justru jadi penentu kemenangan.

Sutan Sjahrir memberikan konferensi pers di hadapan media pada 3 Juli 1946 soal penculikan terhadapnya yang dilakukan kelompok Persatoean Perdjoeangan di Solo pada 26 Juni 1946. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Dalam Pemilu 1955, misalnya. Pola kampanye serta isu-isu yang diangkat oleh PSI bersifat elitis. Alias, narasi yang dikembangkan PSI hanya menyentuh kalangan intektual belaka. Kalangan rakyat biasa justru tak tersentuh.

PSI pun memiliki masalah dana kampanye yang sedikit, tak seperti partai lain macam Partai Nasional Indonesia (PNI) atau Masyumi. Dana cekak itu tak disertai siasat kampanye yang matang. Suatu kampanye yang dapat merangkul segala macam golongan masyarakat. Isu-isu yang diusung seakan-akan tak menyetuh kalangan bawah.

Kampanye-kampanye yang dilakukan di panggung ke panggung tak sukses. Fakta itu dibuktikan dengan anjloknya suara PSI di pemilu 1955. PSI hanya mampu menempati peringkat delapan. Artinya, PSI hanya mampu mendudukkan lima kadernya sebagai wakil rakyat.

Jumlah itu terlampau sedikit dari partai yang mengisi tiga besar. Pertama, PNI dengan 57 kursi. Kedua, Masyumi dengan 57 kursi, dan ketiga Nahdlatul Ulama (NU) dengan 45 kursi. Semenjak itu nama PSI kian hilang dalam peta politik Indonesia.

“Dana kampanye cekak. Pada hemat Sjahrir, kelemahan PSI disebabkan, keliru menghitung kematangan dan kesadaran politik para pemilih, khususnya yang mudah didominasi oleh otoritas keagamaan dan kepamongprajaan. Pemilihan umum 1955 menghasilkan partai politik Empat Besar yaitu PNI, Masyumi, PKI (Partai Komunis Indonesia) dan NU (Nahdlatul Ulama). PSI merosot jadi partai gurem.”

 “Kegagalan PSI dalam pemilu 1955, menurut pendapat sebagian para penganalisa, adalah karena gagasan-gagasan Sjahrir terlalu bersifat elitis yang hanya dapat dipahami oleh sekelompok kaum intelektual saja, sedangkan sebagian besar rakyat tidak dapat mengikuti cara berpikir Sjahrir. Apa pun yang tidak menyenangkan telah dikatakan tentang Sjahrir, betapa pun dia diejek oleh lawan-lawan politiknya, satu hal patut diakui: Sjahrir telah berusaha merumuskan, apa itu ideologi yang dinamakan Sosialisme Kerakyatan,” terang Rosihan Anwar dalam buku Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (2022).