JAKARTA - Perhelatan pesta demokrasi (Pemilu) kerap dirayakan dengan penuh suka cita. Pemilu 1955, misalnya. Pemilu pertama Indonesia itu digadang-gadang sebagai Pemilu paling demokratis. Narasi itu karena haluan partai yang jadi peserta beragam. Dari kaum agamis, nasionalis dan komunis. Minim gesekan pula.
Jikalau gesekan ada, masalah itu hanya terjadi di ajang orasi. Ambil contoh kala Partai Komunis Indonesia (PKI) meledek partai berhaluan agama, Masyumi. PKI menyebut Lapangan Banteng akan diubah Masyumi jadi Lapangan Unta.
Citra Pemilu 1955 sebagai Pemilu paling demokratis bukan pepesan kosong belaka. Hajatan itu dianggap wujud paripurna dari pesta rakyat yang pernah ada di Indonesia. Segala macam partai dengan pandangan dan ideologi berbeda dapat berpartisipasi tanpa gangguan.
Kondisi itu membuktikan bahwa partai berideologi agamis, nasionalis, dan komunis dapat diterima khalayak luas. Bahkan beradu gagasan di muka umum. Partai Sosialis Indonesia (PSI) rekaan Sutan Sjahrir dapat melanggengkan narasi sosialis kerakyatan.
Partai Masyumi dengan narasi mengangkat demokrasi, Islam dan menjunjung tinggi pluralisme. Kemudian, Partai Nasional Indonesia (PNI) mengangkat Marhaenisme. Semuanya dapat melanggengkan gagasan tanpa gangguan yang berarti.
Rakyat pun jadi dibebaskan untuk mendatangi suatu pesta –kampanye— dan memilih partai yang sesuai dengan nuraninya. Rakyat pun menyambut Pemilu 1955 dengan gegap gempita. Proses pemungutan suaranya berlangsung di 16 wilayah pemilihan di seantero negeri.
Pemungutan itu mencangkup total pemilih 42 juta lebih yang dihadirkan dari 208 kabupaten, 3.141 kecamatan, serta 42.092 desa. Pemerintah Indonesia pun mengeluarkan dana besar. Ajian itu untuk mendanai Pemilu yang memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Dewan Konstituante --kini MPR (15 Desember 1955).
Penyelenggaraannya berlangsung dengan penuh suka cita. Sekalipun pemerintah Indonesia mulanya takut terjadi kekacauan. Apalagi, dengan haluan politik partai yang beragam. Punya basis massa yang beragam pula.
“Sejak berdirinya Republik ini sampai saat berakhirnya Orde Baru, Indonesia mengalami tujuh kali Pemilihan Umum (Pemilu). Namun, hanya Pemilu tahun 1955 yang diakui dunia internasional sebagai demokratis.”
“Pemilu yang pertama itu adalah untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan diikuti lebih dari 30 partai politik. Lebih dari seratus golongan dan calon perorangan ikut juga mendaftarkan diri. Jumlah pemilih yang terdaftar juga sangat besar,” terang Adnan Buyung Nasution dalam buku Demokrasi konstitusional: Pikiran & Gagasan (2010).
Saling Sindir
Boleh jadi Pemilu 1955 berjalan tanpa gesekan. Namun, bukan berarti persaingan merebut kuasa minim. Persaingan merebut hati segenap rakyat Indonesia dilanggengkan seluruh partai dengan serius. Semua partai berlomba-lomba untuk menjadi partai massa, dibanding partai kader.
Kondisi itu membuat adu gagasan muncul ke permukaan. Ide-ide yang menjurus ke kesejahteraan segenap rakyat Indonesia banyak digaungkan. Pun tak sedikit sindiran-sindiran dalam orasi politik ‘mesin kampanye’ partai bertebaran.
Ambil contoh gaya PKI yang berani menyindir Partai berhaluan agama, Masyumi. Partai Masyumi dianggap PKI akan menghadirkan nuansa ala Timur Tengah jika menang di Nusantara. Petinggi PKI, D.N. Aidit sampai melemparkan ledekan kepada Masyumi pada September 1955 di Lapangan Banteng.
Aidit mulanya mencoba menceritakan bahwa Lapangan Banteng di Jakarta pada zaman Belanda bernama Lapangan Singa. Semua itu karena ada Monumen Singa tepat di tengah Lapangan. Nama lapangan itu kemudian diganti oleh pemerintah Indonesia kala merdeka.
Lapangan itu jadi dikenal luas sebagai Lapangan Banteng. Banteng yang dimaksud merujuk kepada semangat tak kenal menyerah orang Indonesia. Aidit pun mewanti-wanti pendukungnya supaya tak memberikan ruang kemenangan kepada Masyumi.
Aidit takut Masyumi mengganti nama Lapangan Banteng yang kesohor dengan Lapangan Unta. Sindiran Aidit terkait Lapangan Unta diabadikan banyak media massa. Masyumi pun membalas ledekan. Mereka yang kemudian mendapatkan kesempatan kampanye di lapangan Banteng juga melempar sindiran.
Masyumi mewanti-wanti rakyat Indonesia untuk tidak memilih PKI. Masyumi takut PKI mengganti nama Lapangan Banteng jadi Lapangan Kremlin. Namun, saling lempar ledekan itu dianggap tataran wajar. Ledekan itu tak memancing konflik besar. Bahkan, boleh jadi ledekan itu jadi bukti perwujudan politik riang gembira.
BACA JUGA:
“Lapangan Banteng, suatu siang yang lembab pada September 1955. Juru kampanye PKI sudah sedari tadi ‘membakar’ pengikutnya di alun-alun Jakarta Pusat itu. Saatnya untuk menyerang partai lawan. Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan diubah jadi Lapangan Unta.”
“Siang yang lain, di alun-alun yang sama, Partai Masyumi yang berhaluan Islam membalas ejekan PKI. Jika PKI menang, Lapangan Banteng akan diubah jadi Lapangan Merah, Kremlin, di Moskow. Masyumi juga meledek Partai Nahdlatul Ulama (NU). Mereka meledek nama partai itu jadi Partai Nasi Uduk,” terang Alwi Shahab sebagaimana dikutip laporan Majalah Tempo berjudul Nasi Uduk di Lapangan Kremlin (2007).