Penganugerahan Pahlawan Nasional: Lima Tokoh yang Diberi Gelar, Tidak Ada Satupun yang Memiliki Jejak Rekam Maritim
Proses penganugerahan gelar pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi kepada para ahli waris di Istana Negara pada 7 November 2022. (Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden).

Bagikan:

JAKARTA – Pengamat Bidang Militer dan Pertahanan Keamanan Connie Rahakundini Bakrie heran kenapa tidak ada nama Ratu Kalinyamat dalam daftar penganugerahan gelar pahlawan nasional yang dinobatkan oleh presiden.

Padahal, para akademisi sudah membeberkan sejumlah bukti yang menyatakan Ratu Kalinyamat bukan hanya sekadar cerita rakyat. Namanya bahkan sudah mendunia.

Portugis saja yang ketika itu dikenal sebagai salah satu bangsa dengan kekuatan militer laut terhebat di dunia sampai memberi julukan Rainha de Jepara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame yang berarti Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani.

“Itu bukti otentiknya ada, kami temukan di Portugal. Hanya dalam waktu 30 tahun, Kalinyamat bisa membangun kekuatan angkatan laut terbesar di kawasan. Juga, membangun industrial militer yang hebat,” kata Connie kepada VOI, Senin (7/11).

“Ada satu catatan surat kepada Raja Spanyol yang isinya kira-kira, King kita melihat kapalnya saja mau kabur, satu kapalnya bisa memuat 1.000 orang,” kata Connie kepada VOI, Senin (7/11).

Connie Rahakundini Bakrie (kanan). (Instagram/@connerahakundinibakrie)

Tidak hanya di bagian timur Nusantara, eksistensi Ratu Kalinyamat selama tahun 1500-an juga sampai ke nusantara bagian barat bahkan Asia Tenggara.

“Sultan Aceh sampai meminta bantuan dari wanita Jepara ini untuk melawan Portugis. Padahal, kita tahu Sultan Aceh saat itu partnernya Ottoman,” lanjut Connie.

Para akademisi telah membuktikan melalui literatur-literatur yang sahih. Ratu Kalinyamat adalah wanita pejuang hebat dari Jepara yang berhasil membangun pakta industri pertahanan terbesar pada zamannya.

“Saya tentu kecewa. Katanya Pak Jokowi mau membuat Indonesia jadi poros maritim dunia, katanya mau mencapai nawacita, di mana keberpihakannya kepada maritim. Penganugerahan pahlawan nasional saja tidak ada satupun yang dari dunia maritim,” ucap Connie.

Mewujudkan Indonesia menjadi poros maritim dunia bukan sekadar membangun kekuatan-kekuatan maritim, perlu juga bukti atau contoh konkret bahwa Indonesia pernah menjadi bangsa dengan kekuatan maritim yang ditakuti dan disegani lawan.

“Saya kecewa banget sebenarnya, tapi ya sudahlah. Kalau sampai Angkatan Laut nanti tidak naik juga jadi panglima, ya berarti omongan Jokowi tidak serius. Ini bukan berarti saya meremehkan perjuangan kelima tokoh yang dapat gelar pahlawan nasional kali ini ya, saya hanya mengkritisi sikap Presiden,” tegasnya.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri juga sempat menyatakan pendapatnya terkait penganugerahan Ratu Kalinyamat sebagai pahlawan nasional. "Coba bayangkan, dua orang penjajah mengakui, kok kitanya sendiri ya endak. Jadi saya setuju banget."

Anugerah Pahlawan Nasional

Presiden Jokowi resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada lima tokoh yang telah memberikan kontribusi besar kepada bangsa dan negara.

Kelimanya adalah almarhum DR. dr. HR. Soeharto dari Provinsi Jawa Tengah, almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam VIII dari Daerah Istimewa Yogyakarta, almarhum dr. Raden Rubini Natawisastra dari Kalimantan Barat, almarhum H. Salahuddin bin Talibuddin dari Maluku Utara, dan almarhum K.H. Ahmad Sanusi dari Jawa Barat.

“Sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, atau perjuangan politik, atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa,” ucap Jokowi seperti tertulis di Keppres RI Nomor 96 TK Tahun 2022 tentang Penganugerahan Pahlawan Nasional.

Prosesi penganugerahan pahlawan nasional dilakukan di Istana Negara, Senin (7/11), oleh Presiden Jokowi kepada ahli waris kelima tokoh tersebut.

  1. dr. HR. Soeharto

Raden Soeharto adalah dokter pribadi Bung Karno dan Bung Hatta. Dia kerap mengikuti beragam kegiatan yang dilakukan oleh keduanya. Seperti mendampingi ke Bali untuk mengadakan pembicaraan dengan Laksamana Shibata. Lalu, ke Indo China ketika Bung Karno dan Bung Hatta dilantik oleh Marsekal Terauchi menjadi Ketua dan Wakil Ketua Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Pada masa demokrasi terpimpin, Raden Soeharto sempat menjabat sebagai menteri, mulai dari Menteri Muda/Menteri Perindustrian Rakyat, Menteri Perdagangan, Menteri Urusan Penerbitan Bank dan Modal Swasta, hingga Menteri Koordinator Urusan Perencanaan Pembangunan Nasional

Melansir situs Pemprov Jateng, pria kelahiran 24 Desember 1908 ini adalah pendiri bank pertama di Indonesia, Bank Negara Indonesia, sekaligus penggagas berdirinya Ikatan Dokter Indonesia. Dia pun turut andil dalam pembangunan kawasan Sarinah Thamrin Jakarta.

“Ikut pembangunan department store syariah dan pembangunan Monumen Nasional serta Masjid Istiqlal dan pembangunan Rumah Sakit Jakarta serta salah seorang pendiri berdirinya IDI (Ikatan Dokter Indonesia),” kata Menko Polhukam Mahfud MD di laman resmi Sekretariat Presiden.

Raden Soeharto meninggal pada usia 91 tahun, tepatnya pada 30 November 2000.

DR. dr. H. Soeharto. (Istimewa)
  1. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam VIII

Melansir Wikipedia, Pada 19 Agustus 1945, bersama Hamengkubowono IX, Paku Alam VIII mengirimkan telegram kepada Bung Karno dan Bung Hatta atas berdirinya RI dan terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Pada 5 September 1945 secara resmi Paku Alam VIII mengeluarkan amanat/maklumat (semacam dekret kerajaan) bergabungnya Kadipaten Pakualaman dengan Negara Republik Indonesia.

Sejak saat itulah kerajaan terkecil pecahan Mataram ini menjadi daerah istimewa. Melalui Amanat Bersama antara Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII keduanya sepakat menggabungkan Daerah Kasultanan dan Kadipaten dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jabatan yang dipangku selanjutnya adalah Wakil Kepala Daerah Istimewa, Wakil Ketua Dewan Pertahanan DIY (Oktober 1946), Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel (1949 setelah Agresi Militer II).

Mulai tahun 1946-1978 Paku Alam VIII sering menggantikan tugas sehari-hari Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah istimewa karena kesibukan Hamengkubuwono IX sebagai menteri dalam berbagai kabinet RI. 

Mahfud MD juga menuturkan alasannya. Beberapa jasa yang telah diberikan almarhum Paku Alam VIII antara lain bersama Sultan Hamengkubowono IX dari Keraton Yogyakarta mengintegrasikan diri pada awal kemerdekaan Republik Indonesia sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi utuh hingga saat ini.

“Sesudah (kemerdekaan) itu beliau menyatakan bergabung ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kemudian Yogyakarta menjadi ibu kota yang kedua dari Republik ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1946,” tutur Mahfud.

KGPAA Paku Alam VIII. (Wikimedia Commons)
  1. Raden Rubini Natawisastra

Melansir Antara, Dokter Rubini adalah seorang bangsawan Sunda yang lahir di Bandung pada 31 Agustus 1906. Merupakan anak pasangan dari Ni Raden Endung Lengkamirah dan Raden Natawisastra, yang ditugaskan ke Pontianak, Kalimantan Barat pada 1934 sebagai dokter pemerintah di rumah sakit militer.

Selain bekerja di rumah sakit, dr Rubini juga membuka praktek di rumahnya untuk membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan pelayanan kesehatan dan pengobatan, bahkan kerap melayani masyarakat miskin sampai menyusuri bantaran Sungai Kapuas.

Menurut Mahfud, almarhum dr. Raden Rubini Natawisastra pantas menjadi pahlawan nasional. “Almarhum telah menjalankan misi kemanusiaan sebagai dokter keliling pada saat kemerdekaan. Bahkan, almarhum bersama istrinya dijatuhi hukuman mati oleh Jepang karena perjuangannya yang gigih untuk kemerdekaan Republik Indonesia.”

Selain menjalankan tugasnya sebagai tenaga kesehatan, dr Rubini juga bergabung secara aktif dalam organisasi kemasyarakatan berhaluan politik Partai Indonesia Raya yang mempunyai landasan nasionalisme dan menentang penjajahan serta menuntut kemerdekaan Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Raden Rubini Natawisastra. (Istimewa)
  1. Salahuddin bin Talibuddin 

Lahir pada 1874 di Desa Gamia Patani Kabupaten Halmahera Tengah. Salahuddin merupakan tokoh pergerakan yang gigih melawan penjajah. Dia bahkan berkali-kali harus mendekam di penjara.

“Beliau pernah dibuang ke Boven Digul tahun 1942 dan juga dibuang ke Sawahlunto tahun 1918-1923,” ucap Mahfud.

Sampai akhirnya pada 1948, Salahuddin dieksekusi mati di kawasan Skep, Kota Ternate.

Salahuddin bin Talibuddin. (Istimewa)
  1. KH. Ahmad Sanusi

Adalah pejuang dan ulama asal Sukabumi, Jawa Barat yang mendirikan organisasi Persatuan Umat Islam. KH Sanusi sempat  mendapat penahanan pada masa penjajahan Belanda karena keterlibatannya dalam upaya-upaya perlawanan terhadap penjajah dan perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat nyata.

Menurut Mahfud, almarhum Kyai Ahmad Sanusi merupakan salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang belum mendapat gelar pahlawan nasional. Beliau juga tokoh Islam yang memperjuangkan dasar negara yang menghasilkan kompromi lahirnya negara Pancasila.

“Dari semula ada sisi kanan ingin menjadikan negara Islam, sisi kiri menjadikan negara sekuler, kemudian diambil jalan tengah lahirlah ideologi Pancasila sesudah menyetujui pencoretan tujuh kata di Piagam Jakarta,” kata Mahfud.

Ahmad Sanusi. (Istimewa)

Sejarawan Anhar Gonggong mengakui kelima tokoh tersebut, berdasar fakta memang pantas dianugerahkan gelar pahlawan nasional

"Syarat-syarat umum dilewati, syarat khusus dilewati dan seterusnya baru disetujui oleh presiden. Tidak mudah itu, waktu zaman saya di Depsos dulu, sering terjadi perdebatan panjang untuk membuktikan bahwa seorang tokoh laik atau tidak dianugerahi gelar pahlawan nasional," ucapnya kepada VOI, Senin (7/11).