JAKARTA - Pengguna internet di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Laporan Netray menyebut, dari 84 juta pada 2017 menjadi lebih dari 130 juta pada 2021. Angka ini diperkirakan juga akan terus bergerak naik dengan proyeksi peningkatan sebesar 10,2 persen per tahun hingga menjadi 174 juta pada 2024.
Selain sebagai hiburan, pengguna juga cenderung memanfaatkan internet untuk mendapatkan informasi. Media sosial menjadi platform yang paling digandrungi.
Merujuk data tersebut, sangat memungkinan bila kampanye politik pada Pemilu 2024 akan bergeser ke media-media yang berbasis internet, khususnya media sosial, TV streaming, dan media massa online. Sangat memungkinkan pula, potensi pelanggaran yang akan muncul semakin masif.
Tengok Pemilu 2014 dan 2019. Temuan pelanggaran tidak hanya di media televisi maupun media online atau cetak. Praktik-praktik penyebaran hoax, kampanye hitam, hingga kampanye pada minggu tenang di media sosial juga sudah terjadi ketika itu.
“Pergeseran medium kampanye makin nyata dengan perkembangan media digital dewasa ini. Dengan makin meningkatnya pengguna internet di Indonesia, maka potensi pelanggarannya juga diperkirakan makin meningkat,” tulis Netray.
Meski laporan dan dugaan pelanggaran pemilu di ranah digital cukup mengkhawatirkan, tampaknya Badan Pengawas Pemilu belum menganggap masalah ini sebagai masalah yang serius. Buktinya laporan hasil pengawasan Pileg dan Pilpres 2019 tidak menyebutkan permasalahan ini secara spesifik.
KPU, menurut Netray, hanya menyertakan jumlah total dari pelanggaran Pemilu 2019 tanpa menjelaskan secara spesifik bentuk pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu. “Semisal terdapat 16.427 dugaan pelanggaran administratif selama Pemilu 2019, tetapi tidak merinci apa saja yang dimaksud dengan pelanggaran tersebut.”
Atau terdapat 426 dugaan pelanggaran kode etik yang bisa jadi di dalamnya termasuk pelanggaran digital. Pasalnya kampanye hitam di medsos tergolong pelanggaran kode etik. Termasuk dalam laporan ini adalah 2.798 dugaan pelanggaran pidana dan 1.518 pelanggaran hukum lainnya.
Dari laporan dugaan tersebut, 16,134 laporan pelanggaran administratif telah ditangani oleh Bawaslu. Begitu juga dengan 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1.475 pelanggaran hukum lainnya. Terdapat 2.578 laporan yang dianggap bukan pelanggaran oleh Bawaslu pada Pemilu 2019.
Pengawasan Ekstra
Atas dasar itu, pada rangkaian Pemilu 2024, Bawaslu harus melakukan pengawasan ekstra. Koordinator Divisi Hukum Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Yusuf Kurnia menyadari potensi kerawanan pelanggaran pada Pemilu 2024 semakin besar.
Dia menduga praktik-praktik yang sama seperti sebelumnya, seperti politik identitas kemungkinan besar akan muncul kembali. Terlebih, kalau hanya dua pasang kandidat Capres-Cawapres.
Begitupun praktik kampanye hitam oleh para buzzer dengan akun anonim.
"Untuk itu, kami pun melakukan kerja kolaboratif dengan tim siber kepolisian untuk penyelesaian kampanye hitam di media sosial," kata Yusuf dalam sosialisasi terkait aturan Pemilu 2024 di Sukabumi pada 2 November 2022.
Bawaslu, menurut Netray, juga mengantisipasi dengan menerbitkan panduan pengelolaan media sosial agar pengawasan di setiap tingkat bekerja secara maksimal. Bawaslu akan memanfaatkan teknologi informasi dan media sosial untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat sehingga semakin luas, sistemik, terstruktur dan integratif.
Partisipasi, pengawasan, dan membangun relasi dengan publik menjadi kata kunci dari panduan tersebut. Bawaslu mendorong setiap tingkatan lembaga agar membuka partisipasi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk mengawasi berjalannya proses Pemilu.
“Partisipasi pengawasan yang bisa masyarakat ikuti tentu saja dengan memanfaatkan media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, maupun WhatsApp,” Netray menuliskan.
Bawaslu akan bekerjasama dengan sejumlah komunitas masyarakat dengan menggunakan media sosial sebagai penghubung. Bahkan lebih jauh lagi Bawaslu akan menggunakan meme sebagai sarana publikasi lembaga.
Cerdas Berpikir
Berdasar jadwal tahapan Pemilu 2024 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), proses pencalonan DPD, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, hingga pencalonan presiden dan wakil presiden akan dimulai sejak 6 Desember 2022. Kemudian berlanjut ke tahap masa kampanye Pemilu mulai 28 November 2023-10 Februari 2024.
Itu artinya, masyarakat harus bersiap memasuki tahun politik. Bersiap menerima beragam informasi dan manuver politik yang tentu akan menyesaki ruang publik.
Renville Almatsier dalam tulisannya bertajuk ‘Kepada Kaum Muda’ di Kompas, mengajak para kaum muda yang menurut statistik akan menjadi penentu terbesar Pemilu mendatang berpikir cerdas dalam memaknai setiap informasi yang muncul, khususnya terkait dengan calon-calon yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus dapat terwujud sebagai jati diri bangsa yang menghormati perbedaan.
“Mereka yang berbeda aspirasi politik jangan dianggap musuh. Jauhkan fanatisme kelompok yang menimbulkan anggapan bahwa orang lain dengan paham berbeda adalah salah,” ucap akademisi dari Universitas Indonesia ini.
Poin penting lainnya, jangan sampai terbawa arus perilaku yang hanya meributkan soal nama, tetapi minim kriteria. Lihat juga gagasan yang dibawanya, rekam jejaknya, dan upayanya mempersatukan dan membangun bangsa.
“Anda justru perlu mengamati latar belakang, bukan dari mana asal-usulnya dan apa agamanya, tetapi apa yang sudah ia lakukan untuk negeri ini. Teliti apa visinya, apakah untuk menyejahterakan masyarakat?” tutur Renville.
Jangan mau lagi dipengaruhi identitas yang hanya berujung polarisasi, melahirkan sakit hati sehingga berlarut-larut mengganggu persatuan.
“Para kaum muda, suara Anda akan ikut menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Jangan sampai terkoyak. Kawal NKRI agar tetap aman. Buka mata hati agar tepat menentukan pilihan, memilih kepada siapa kita akan memercayakan nasib rakyat dan negeri ini,” Renville menandaskan.