Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Kesehatan melaporkan data terbaru kasus gangguan ginjal akut di Indonesia. Hingga 1 November 2022, tercatat ada 325 kasus, dengan fatality rate sekitar 54 persen. Namun, kondisinya saat ini jauh lebih membaik. Sudah ada 99 pasien yang sembuh.

Pemberian obat antidotum, Fomepizole ternyata berjalan efektif. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Kemenkes saat ini juga sudah mendapatkan hibah 200 vial Fomepizole dari PT Takeda Indonesia yang didatangkan dari Jepang.

“Jadi, awalnya, obat kita beli dari Singapura 30 vial. Karena pada September, yang kita tahu hanya ada di Singapura, tidak ada pilihan lain. Kita coba di RSCM, ternyata efektif. Lalu, kita cari lagi di Australia, kita dapat gratis juga 16 vial. Kemudian, Takeda juga hibah gratis dari Jepang 200 vial,” paparnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Rabu (2/11).

“Saat ini, tidak semua obat habis. Masih ada cadangan yang cukup untuk 100-150 pasien gangguan gagal ginjal akut. Mudah-mudahan, tidak kita butuhkan lagi dan bisa disimpan untuk cadangan,” Menkes melanjutkan.

Budi menegaskan pemberian obat Fomepizole bukan lah kepentingan bisnis, melainkan hanya sebagai upaya menyelamatkan nyawa anak-anak dari penyakit gangguan ginjal akut.

Sebab, menurut Budi, informasi ketika itu masih minim. Gangguan ginjal akut memang bukan penyakit baru, sudah sering terjadi setiap bulan. Namun, saat jumlah pasien meningkat drastis pada Agustus 2022, Kemenkes mulai warning.

“Pada 9 September kita meeting, 10 September kami undang semuanya. Dugaan awal karena patologi, virus, bakteri atau parasit, ternyata enggak ketemu,” ucap Budi.

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito mengatakan sudah memberikan sanksi administratif kepada sejumlah industri farmasi yang terbukti melanggar aturan. (VOI/Istimewa)

Setelah WHO mengeluarkan statement terkait kasus yang sama di Gambia pada 5 Oktober 2022, penelitian mulai dialihkan ke penggunaan obat-obatan. Sebagai langkah antisipasi agar jumlah korban meninggal tidak terus  bertambah, Kemenkes langsung membuat larangan untuk tenaga kesehatan agar tidak meresepkan penggunaan obat-obatan sirup terhadap pasien gangguan ginjal akut.

“Termasuk juga mencari obat antidotumnya, ternyata ketemu di Singapura. Langsung kita beli. Kami juga langsung berkoordinasi dengan Badan POM yang memiliki kewenangan sebagai pengawas dan regulator obat dan makanan,” ucapnya.

Bila benar karena senyawa kimia di obat-obatan, Anggota Komisi IX DPR RI Irma Chaniago meminta Kemenkes menerbitkan hasil uji klinisnya. Bila itu tidak ada, berarti penyebab gangguan ginjal akut masih belum diketahui.

“Etilen glikol seolah-olah itu clear menjadi sebab. Saya enggak sepakat juga dengan itu karena belum ada uji klinisnya. Dari kemenkes belum ada, dari BPOM juga belum ada. Jadi, Komisi IX enggak boleh juga ngomong seperti itu, seolah-olah membenarkan apa yang disampaikan oleh Pak Menkes,” ucapnya.

Budi memastikan faktor risiko terbesar yang menyebabkan kematian balita akibat gangguan ginjal akut adalah karena senyawa etilen glikol dan dietilen glikol yang melebihi ambang batas.

“Apakah 100 persen karena itu, tidak juga. Saya rasa juga tidak akan dapat 100 persen. Apakah masih bisa dicari? Ya tentu masih bisa. Sehingga, saya sebut itu sebagai faktor terbesar,” imbuhnya.

Temuan BPOM

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito mengatakan sudah melakukan penelusuran terkait itu. Penny menduga ada industri farmasi yang melakukan perubahan penggunaan bahan baku tanpa pengecekan terlebih dahulu.

“Sumbernya adalah penggunaan bahan baku, bukan dalam prosesnya. Saat ini saja kami menemukan ada produk obat yang mengandung etilen glikol dan dietilen glikol jauh melebihi ambang batas, bisa sampai 50 persen, padahal standarnya hanya 0,1 persen,” tutur Penny pada kesempatan sama.

Sebelumnya, BPOM melaporkan ada 7 obat sirup dengan cemaran etilen glikol dan dietilen glikol di luar ambang batas, yakni:

  • Flurin DMP Sirup dari PT Yarindo Farmatama
  • Unibebi Demam Syrup 60 ml dari PT Universal Pharmaceutical Industries
  • Unibebi Demam Drops 15 ml dari PT Universal Pharmaceutical Industries
  • Unibebi Cough Syrup 60 ml dari PT Universal Pharmaceutical Industries
  • Paracetamol Drops dari PT Afi Farma Pharmaceutical Industries
  • Paracetamol Sirup Rasa Peppermint dari PT Afi Farma Pharmaceutical Industries
  • Vipcol Sirup dari PT Afi Farma Pharmaceutical Industries

Menurut Penny dalam keterangan resminya, Senin (31/10), “Ketiga industri farmasi tersebut tidak melaporkan pergantian sumber bahan baku obat dan tidak melakukan pengujian terhadap sumber bahan baku pengganti tersebut, termasuk proses kualifikasi supplier.”

Juga, tidak melakukan penjaminan mutu bahan baku obat propilen glikol yang digunakan untuk sirup obat sehingga produk yang dihasilkan tidak memenuhi syarat.

“Kami telah memberikan sanksi administratif berupa penghentian produksi, distribusi, penarikan kembali (recall) dan pemusnahan produk,” kata Penny seperti dilansir dari laman resmi BPOM.

Ilustrasi-BPOM melaporkan tujuh obat sirup dengan cemaran etilen glikol dan dietilen glikol di luar ambang batas. (Unsplash)

Adapun untuk pelanggaran ketentuan dan persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), BPOM juga memberikan sanksi administratif berupa pencabutan Sertifikat CPOB untuk fasilitas produksi cairan oral non betalaktam terhadap PT Yarindo Farmatama (PT Yarindo) dan PT Universal Pharmaceutical Industries. 

Dari hasil pemeriksaan BPOM bersama Bareskrim Polri diketahui PT Yarindo membeli bahan baku propilen glikol produksi DOW Chemical Thailand LTD dari CV Budiarta dan PT Universal membeli bahan baku propilen glikol produksi DOW Chemical Thailand LTD dari PT Logicom Solutions.

“Kami sudah sita barang bukti, antara lain flurin DMP Sirup, bahan baku propilen glikol produksi DOW Chemical Thailand, bahan pengemas flurin DMP Sirup, dan sejumlah dokumen dari PT Yarindo. Kami juga menyita 18 drum bahan baku propilen glikol produksi DOW Chemical Thailand, produk obat-obatan, dan sejumlah dokumen dari PT Universal. Juga telah memeriksa tiga orang petinggi,” kata Penny. 

Berdasar keterangan saksi dan ahli, Penny menyebut telah terjadi dugaan tindak pidana dengan unsur pasal memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu, sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Jo. Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Undang–Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 

Namun, PT Yarindo Farmatama memastikan tidak pernah mencampurkan zat toksik etilen glikol maupun dietilen glikol ke dalam produknya. Alih-alih mencampurkan, memesan zat pelarut etilen glikol dan dietilen glikol dalam bentuk apapun saja tidak pernah.

Lagipula, setiap barang yang datang dari supplier telah diperiksa oleh bagian gudang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, misalnya seperti bentuk kemasan, label, surat jalan, yang telah disesuaikan dengan PO Certificate Of Analysis (COA).

"Kami selalu memastikan kualitas bahan baku, bahan pelarut, proses produksi dan distribusi seluruh lini produksi kami sesuai standard dan sudah mendapat izin edar resmi dari BPOM," ucap Manajer bidang hukum PT Yarindo Farmatama, Vitalis Jebarus dalam keterangan resminya pada 29 Oktober 2022, dikutip dari Antara.

PT Universal Pharmaceutical Industries pun membantah telah melakukan kesalahan. Seharusnya yang bertanggung jawab atas cemaran tersebut adalah pemasok. Sebab, dalam proses pembelian sudah disertai juga sertifikat analisis dari pemasok.

“Lalu, di mana kesalahannya? Perusahaan tidak punya niat jahat sedikit pun. Kami telah bersikap kooperatif mengikuti kebijakan BPOM mencari asal kontaminasi yang disebutkan,” ucap  kuasa hukum PT Universal Pharmaceutical Industries, Hermansyah Hutagalung dalam siaran pers pada Minggu 30 Oktober 2022.

Tahap Penyidikan

Begitupun terhadap PT Afifarma yang terbukti menggunakan pelarut propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan atau gliserin. BPOM akan menghentikan proses produksi dan distribusi.

“Produsen ini juga dikenakan sanksi administratif berupa penarikan dan pemusnahan produk obat. Pendalaman juga akan dilakukan untuk melihat adanya pelanggaran dan dugaan tindak pidana terkait cemaran EG dan DEG pada sirup obat ini,” imbuh Penny.

Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Brigjen Pipit Rismanto pun mengatakan sudah menaikkan kasus di PT Afifarma ke tahap penyidikan.

“Kami tengah mencari pembuktian materil untuk mengetahui alur proses produksi,” ucapnya.