Bagikan:

JAKARTA –Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi antara lain membuang racun, kadar garam berlebih, air dan mineral yang berlebih, serta limbah yang mengandung nitrogen (urea). Darah mengalirkan limbah menuju ginjal untuk dibuang dalam bentuk urine.

Melihat dari fungsinya, bila ginjal terganggu, limbah hasil metabolisme tubuh tentu dapat menumpuk di dalam darah dan menimbulkan gangguan kesehatan bahkan bisa berdampak kematian.

Kasus gangguan atau gagal ginjal bukanlah kasus baru. Namun, menjadi perhatian, ketika jumlah penderita meningkat drastis di Indonesia. Inilah mengapa disebut gangguan ginjal akut progresif artipikal.

“Akut artinya mendadak, progresif artinya cepat, artipikal tidak seperti biasa. Tidak seperti yang di teks book, aneh pokoknya,” kata Direktur RSCM dr. Lies Dina Liastuti saat press confrence pada 20 Agustus 2022.

Data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai rumah sakit rujukan gangguan ginjal menyebut, peningkatan kasus terjadi pada Agustus 2022, dari hanya 1 pasien pada bulan sebelumnya menjadi 8 pasien. Kemudian, kembali meningkat hingga 20 kasus pada September 2022 dan 11 kasus pada Oktober 2022.

Sehingga, selama periode Januari-Oktober 2022, terdapat 49 pasien gangguan ginjal akut di RSCM berusia antara 8 bulan hingga 8 tahun. Mereka adalah pasien-pasien rujukan yang tiba di RSCM sudah dalam kondisi tidak bisa buang air kecil.

“Yang masih dirawat 11 pasien: 10 masih di PICU, dan yang 1 masih di UGD karena baru masuk. Angka kematiannya 63 persen,” kata dr. Lies.

Direktur RSCM dr. Lies Dina Liastuti saat press confrence pada 20 Agustus 2022. (Tangkapan layar YouTube)

Dilihat dari riwayat klinis pasien, anak-anak pasien gangguan ginjal akut yang masuk ke RSCM tidak memiliki penyakit penyerta. Pada umumnya didahului gejala demam, gangguan saluran pencernaan (diare), gangguan saluran pernapasan, dan tanpa ada episode dehidrasi.

Itu, kata dr. Lies, berbeda dari riwayat klinis pasien-pasien gangguan atau gagal ginjal biasa yang penyebabnya diketahui karena kekurangan cairan, infeksi karena virus atau bakteri, peradangan sistemik, kelainan bawaan, dan keracunan bahan berbahaya.

“Ketika dilakukan penelusuran medis pun tidak ada kondisi kekurangan cairan/dehidrasi, pemeriksaan USG ginjal tidak menunjukkan kelainan bawaan. Kita cari ke arah infeksi tidak ada virus maupun kuman yang secara spesifik. Kita cari arah covid, enggak juga. Kita cari apakah efek vaksinasi enggak juga, enggak ada pengaruh dari vaksin, lagipula anak-anak belum sampai ke tahap vaksin,” ungkap dr. Lies.

Bahkan, dokter RSCM juga sempat mencoba memberikan obat peningkat daya tahan tubuh, IVIG Gammaraas supaya tubuh kuat, tetapi ternyata kurang bisa memberikan hasil maksimal. Sebagian baik, sebagian lagi tidak.

“Akhirnya, dapat informasi dari kasus di Gambia terkait senyawa kimia pada obat-obatan. Dengan dasar itu, kita mulai berpikir jangan-jangan ada juga ke arah sana. Kenapa karena perjalanannya tidak sama seperti penyakit gagal ginjal yang biasa,” dr Lies menambahkan.

Kemudian, Kementerian Kesehatan mengambil kebijakan dengan menyetop sementara pemberian sejumlah obat. Dokter Lies tidak menggambarkan jelas terkait kebijakan maupun soal obat-obatan karena bukan kewenangannya.

Yang pasti, kata dia, ini hanya untuk memastikan apakah benar akibat dampak obat-obatan.

“Jadi, bukan tuduhan bahwa obat-obat itu bahaya. Kita belajar dari kasus gangguan ginjal akut di Gambia yang menghentikan penggunaan sejumlah obat-obatan sirup selama 2 pekan. Ternyata, hasilnya signifikan. Kalau kita sudah menghentikan beberapa waktu tetapi kasus masih terus melonjak, berarti bukan itu penyebabnya,” jelas dr. Lies.

Jangan Langsung Konsumsi Obat

Untuk masyarakat, dr. Lies menyarankan agar tidak mudah memberikan obat kepada anak ketika demam. Antisipasi awal dulu dengan memberikan cairan yang cukup dan lakukan kompres. Kemudian, datang ke pelayanan kesehatan untuk meminta saran terbaik terkait obat yang akan dikonsumsi kepada dokter.

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso juga menyarankan hal sama. Demam pada anak adalah sesuatu yang wajar. Mekanisme tubuh dalam menghilangkan patogen yang masuk.

Tak semua kondisi membutuhkan obat paracetamol. Batuk pilek atau yang biasa disebut selesma misalnya, merupakan kondisi yang masuk kategori self limiting disease atau bisa sembuh dengan sendirinya meski tanpa obat.

“Tak harus selalu dikasih obat, apalagi obat sembarang di warung. Kalau mau coba kompres air hangat dulu. Tapi kalau mau pake paracetamol ya enggak apa-apa juga. Enggak usah panik, monggo berikan paracetamol, kalau demam dikasih parasetamol enggak apa apa, tapi perlu waspada dan konsultasikan ke dokter, apakah benar butuh parasetamol," jelasnya saat live instagram IDAI pada 18 Oktober 2022.

Orangtua Harus Cekatan

Bila anak mengalami demam, menurut dr. Andi Khomeini Takdir, orangtua juga harus cekatan. Siapkan thermometer untuk mengukur suhu tubuh anak. Saat suhu tubuh masih berkisar 37,5-37,9 derajat Celcius, orangtua terlebih dahulu harus fokus ke asupan cairan untuk anak dengan memperbanyak minum air putih.

Namun, saat suhu tubuh tidak juga menurun atau masih berkisar antara 37,9-38,5 derajat Celcius segeralah melakukan kompres menggunakan air hangat.

“Dengan menggunakan handuk kecil direndam air hangat dengan suhu sekitar 37 derajat, peras, dan tempelkan di beberapa bagian tubuh anak. Bisa di kepala, perut, atau ketiak. Bisa dilakukan berkali-kali, tetapi asupan cairan juga tetap dijaga,” ucap Andi, peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kepada VOI, Sabtu (22/10).

Ini merujuk dari konsep penghantar panas melalui konduksi dan konveksi. Ketika handuk hangat menempel akan melebarkan jaringan pembuluh darah di bawah kulit dan menghantarkan panas ke handuk.

Penanganan awal saat anak mengalami demam berpatokan terhadap dua hal, angka suhu tubuh dan kondisi anak. (klikdokter.com)

Namun, bila treatment tersebut tak juga mampu menurunkan suhu tubuh anak, atau suhu tubuh anak naik hingga di atas 38,5 derajat sebaiknya segeralah ke pelayanan kesehatan terdekat.

Menurut dr. Andi Khomeini, selain angka suhu tubuh, orangtua juga harus memahami kondisi anak. Sebab, kondisi daya tahan tubuh anak berbeda-beda. “Ada yang baru panas dikit sudah malas, terlihat lemas, ada juga yang masih aktif.”

Begitu pula periode demam yang dialami. Apakah hanya saat-saat tertentu saja atau sepanjang hari.

“Jadi, patokannya dua hal, suhu tubuh dan kondisi anak. Orangtua harus bijak dalam mengambil keputusan yang terbaik untuk anak,” dr. Andi menandaskan.