Gangguan Ginjal Akut pada Anak: Penyakit Apa Lagi Ini?
Ilustrasi- Hingga 18 Oktober 2022, sudah ada 206 kasus gangguan ginjal akut di Indonesia, 99 kasus di antaranya meninggal dunia. (wallpaper.linebuzz.me)

Bagikan:

JAKARTA – Lonjakan kasus gangguan ginjal akut pada anak-anak usia di bawah enam tahun di Gambia mulai terdeteksi pada akhir Juli 2022. Hingga awal Agustus saja, 28 anak meninggal dunia akibat penyakit ini. Lalu, hingga 14 Oktober 2022, angka kematian terus meningkat mencapai 70 anak.

Kematian umumnya karena ketidakmampuan buang air kecil, demam, dan muntah yang terjadi selama lebih dari 4 hari.

Melansir Reuters, Direktur pelayanan kesehatan Gambia, Mustapha Bittaye mengatakan hasil otopsi menunjukkan kemungkinan dari penggunaan obat penurun panas atau paracetamol.

“Sejumlah pasien mulai jatuh sakit dengan masalah ginjal tiga sampai lima hari setelah meminum sirup parasetamol yang dijual secara lokal,” katanya.

Sejauh ini, WHO telah mengeluarkan peringatan produk medis untuk empat obat yang diidentifikasi berpotensi besar mengakibatkan gangguan ginjal akut terhadap anak-anak.

Keempat obat tersebut adalah sirup obat batuk dan pilek yang diproduksi oleh perusahaan obat-obatan di India.

“Penyelidik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menemukan tingkat dietilen glikol dan etilen glikol yang tidak dapat diterima, yang dapat menjadi racun, dalam empat produk yang dibuat oleh Maiden Pharmaceuticals Ltd yang berbasis di New Delhi,” tulis Reuters.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Mohammad Syahril saat konferensi pers melalui zoom terkait kasus gagal ginjal akut di Indonesia pada 19 Oktober 2022. (Tangkapan layar Zoom)

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus pun mengimbau agar semua negara berhati-hati.

Tak ubahnya di Indonesia, laporan kasus gangguan ginjal akut pada anak juga meningkat pesat sejak akhir Agustus 2022, khususnya anak berusia di bawah lima tahun.

Hingga 18 Oktober 2022, sudah ada 206 kasus gangguan ginjal akut, 99 kasus di antaranya atau sekitar 48 persen meninggal dunia.

Saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membentuk tim untuk melakukan penelusuran dan penelitian lebih lanjut terkait kasus gangguan ginjal akut pada anak.

Hasil sementara berdasar pemeriksaan terhadap sisa sampel obat yang dikonsumsi pasien, kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Mohammad Syahril, ditemukan jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan gangguan ginjal akut progresif.

“Kalau melihat hasil penyelidikan di Gambia memang dikaitkan dengan senyawa yang ada di 4 macam obat batuk dan pilek yang mengandung etilen glikol dan dietilen glikol. Namun, kami belum bisa mempublish ini karena masih dalam penelitian,” katanya saat press confrence melalui zoom, Rabu (19/10).

Yang pasti, tidak ada bukti hubungan kejadian gangguan ginjal akut dengan vaksin covid maupun infeksi COVID-19. Sebab, gangguan ginjal akut pada umumnya menyerang anak usia kurang dari 6 tahun. Sementara, program vaksinasi covid belum menyasar anak usia 1-5 tahun.

Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah memastikan produk paracetamol sirup produksi India yang disinyalir menjadi penyebab gangguan ginjal akut di Gambia tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia.

“Namun, senyawa kimia etilen glikol maupun dietilen glikol dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada produk obat sirup anak,” tulis BPOM dalam siaran resminya, Rabu (19/10).

Hentikan Obat Sirup

Atas dasar itulah, demi meningkatkan kewaspadaan dalam upaya pencegahan, Kemenkes sudah meminta seluruh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tidak meresepkan obat-obat dalam bentuk sediaan cair atau sirup.

Kemenkes juga meminta seluruh apotik tidak menjual seluruh obat bebas dan atau bebas terbatas dalam bentuk cair atau sirup kepada masyarakat. Ini hanya bersifat sementara sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.

“Bukan hanya paracetamol, tetapi seluruh obat cair atau sirup. Bukan karena kandungan obatnya tapi kemungkinan ada komponen-komponen lain yang menyebabkan terjadi intoksikasi atau keracunan,” dr. Mohammad Syahril menegaskan.

Sebagai alternatif, bisa menggunakan bentuk persediaan lain, seperti tablet, kapsul atau bentuk obat yang bisa dimasukkan melalui anal dan injeksi.

“Kami bersama BPOM masih terus menelusuri dan meneliti secara komprehensif termasuk faktor risiko lainnya. Jadi, bukan hanya karena obat tapi juga faktor risiko lainnya. Untuk menyelamatkan anak-anak kita maka diambil kebijakan untuk melakukan pembatasan ini,” jelasnya.

Ilustrasi - Kemenkes meminta seluruh apotik tidak menjual seluruh obat bebas dan atau bebas terbatas dalam bentuk cair atau sirup kepada masyarakat. (Pixabay)

Terkait itu, orangtua pun harus waspada, terutama orangtua dengan anak berusia di bawah 18 tahun. Bila mengalami gejala penurunan jumlah urine dan penurunan frekuensi buang air kecil segeralah berkonsultasi ke dokter.

“Umumnya bisa dengan atau tanpa demam, bisa dengan atau tanpa diare, batuk, pilek, demam, dan muntah,” lanjut dr. Mohammad Syahril.

Ada baiknya, ketika berkonsultasi ke dokter, pasien atau orangtua pasien menyertakan juga riwayat pengobatan sebelumnya, termasuk obat-obatan yang sudah dikonsumsi.

“Sebagai langkah awal dalam upaya menurunkan fatalitas gangguan ginjal akut ini, Kami telah membeli antidotum atau penawar yang didatangkan dari luar negeri untuk diberikan kepada pasien-pasien yang saat ini masih dirawat. Bukan hanya yang di RSCM sebagai rumah sakit rujukan, melainkan juga untuk seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia,” ucapnya.