Merujuk Kasus Lesti Kejora dan Rizky Billar: KDRT Bukan Hal Sepele, Korban Harus Berani Bicara
Pasangan Rizky Billar dan Lesti Kejora yang selalu tampil mesra di media sosial, namun menyimpan bara dalam kehidupan nyata. (Instagram/@lestikejora)

Bagikan:

JAKARTA - Keperkasaan itu tercermin dari kemampuannya melindungi, bukan dari keangkuhannya untuk menyakiti. Mengacuhkan, berkata kasar bahkan memukul istri adalah tindakan tercela yang harus ditindak tegas, karena melanggar hukum dan norma.

Jenderal Moeldoko menuliskan itu di akun instagramnya pada 4 Oktober 2022. Dia merasa miris mengapa tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih saja terjadi.

Mengapa seorang suami dapat dengan mudah melakukan kekerasan kepada istrinya sendiri? Penyanyi jebolan Dangdut Academy, Lesti Kejora sampai harus menggunakan penyangga leher saat perawatan di rumah sakit akibat kekerasan oleh suaminya, Rizky Billar.

“Saya selalu ingat pepatah orangtua saya sebelum saya menikah. Satu pesan yang sangat kuat kepada saya. Moel kalau kamu sebagai laki-laki yang sejati jangan melakukan kekerasan kepada perempuan, apalagi kepada istri. Jangan juga bersuara keras bahkan kasar. Alhamdulillah, itu pesan orangtua yang saya lakukan sampai saat ini,” ucap Jenderal Moeldoko.

Rizky Billar setelah ditetapkan sebagai pelaku KDRT terhadap istrinya, Lesti Kejora. (VOI/Muhammad Jehan)

Kasus KDRT yang dialami Lesti memang sempat menyita perhatian publik pada penghujung September 2022. Lesti melaporkan suaminya, Rizky Billar ke Polres Jakarta Selatan atas dugaan kekerasan fisik yang dialaminya.

Puluhan juta follower Lesti Kejora terkejut. Bagaimana tidak, usia pernikahan mereka baru genap satu tahun. Mereka selalu mempertunjukkan keharmonisan di sosial media, terlebih ketika putra pertama lahir pada Desember 2021.

Informasi dari kepolisian, kekerasan bermula ketika Lesti menyinggung dugaan perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Lesti marah dan meminta Rizky segera memulangkannya ke rumah orangtuanya.

Rizky Billar pun terpancing emosi kemudian mendorong dan membanting tubuh Lesti Kejora ke kasur, lalu mencekik leher Lesti hingga dia terjatuh ke lantai. Tindakan ini, kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan, dilakukan berulang-ulang.

“Rizky juga menarik tangan Lesti ke arah kamar mandi dan membangtingnya ke lantai. Sehingga, tangan kanan, kiri leher, dan tubuhnya merasa sakit,” kata Zulpan pada 29 September 2022.

Tak Hanya Istri

Merujuk data Komnas Perempuan pada 2020, tindak kekerasan terhadap istri menempati urutan pertama dalam kasus KDRT. Jumlahnya mencapai 3.221 kasus atau 50 persen dari jumlah keseluruhan kasus.

Kasus KDRT, khususnya tindak kekerasan terhadap istri, baik kekerasan seksual, psikis, ataupun fisik dapat terjadi kepada siapapun tanpa memandang ras, usia, agama, status sosial, ataupun tingkat pendidikan. Permasalahan ini pada umumnya sulit terdeteksi karena berada di ranah privasi.

Padahal, jika KDRT berlangsung lama, dampaknya akan sangat membahayakan bagi korban. Menurut psikolog Kasandra Putranto, peristiwa menyakitkan akibat kekerasan dapat menimbulkan pengalaman traumatis, apalagi dilakukan oleh orang-orang yang terdekat. Keluarga yang seharusnya memberikan rasa aman dan kenyamanan justru memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut dan kemarahan.

“Rasa trauma ini yang sering dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga dengan tingkat paparan trauma yang melibatkan perasaan sakit secara emosional, kejadian yang mengancam jiwa, cedera serius, kekerasan seksual maupun bentuk lainnya,” terang Kasandra kepada VOI, Kamis (13/10).

Lesti Kejora mendapat perawatan medis akibat KDRT yang diduga dilakukan oleh suaminya. (VOI/Istimewa)

Dampak KDRT pun tak hanya bagi istri sebagai korban, melainkan juga ke anak. Anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami KDRT memiliki risiko tinggi mengalami penelantaran, menjadi korban penganiayaan secara langsung, dan juga risiko kehilangan orangtua yang bertindak sebagai role model mereka.

Terlebih bila anak sudah berusia sekolah. Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan banyak pengaruh negatif terhadap keamanan dan stabilitas hidup serta kesejahteraan anak. Dalam hal ini, anak menjadi korban secara tidak langsung atau disebut sebagai korban laten.

“Menurut Bair-Merritt, Blackstone & Feudtner (2006), anak yang melihat perilaku kekerasan setiap hari di dalam rumah dapat mengalami gangguan fisik, mental dan emosional,” lanjut Kasandra.

Harus Berani Bicara

Itulah mengapa, menurut Kasandra, korban harus berani bicara. Apa yang dilakukan Lesti adalah hal yang semestinya dilakukan oleh para korban. KDRT lazimnya diawali dengan kekerasan psikis kemudian berkembang menjadi kekerasan fisik. Sebagai seorang istri, wanita cenderung menerima dan memaklumi ketika suami melakukan kekerasan terhadap mereka.

“Ketika istri mulai memaklumi dan dengan mudah memaafkan suami atas kekerasan yang dilakukannya, maka KDRT akan menjadi kekerasan yang berulang,” ucapnya.

Kasandra Putranto mengatakan KDRT lazimnya diawali dengan kekerasan psikis kemudian berkembang menjadi kekerasan fisik. (Instagram/@a.kasandraputranto)

Kasandra memberikan tips:

  1. Apabila pasangan mulai menunjukkan sikap kasar, maka segera beri peringatan untuk menghentikan tindakan tersebut.
  2. Ajak pasangan untuk berbicara dari hati ke hati untuk mencari solusi atas permasalahan dalam rumah tangga, bila perlu ajak pasangan untuk ke psikolog.
  3. Bercerita kepada keluarga atau teman dekat tentang kekerasan yang dialami.
  4. Jika sikap kasar pasangan mulai kerap terjadi dan semakin intens, maka ada baiknya untuk merencanakan tindakan keselamatan.
  5. Jika mengalami kekerasan fisik segera lakukan intervensi medis untuk melakukan visum, sebagai bukti apabila hal tersebut mau diajukan ke ranah hukum.
  6. Apabila tindakan kekerasan yang dialami sudah mengancam nyawa, maka segeralah melapor kepada pihak berwajib untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Terkait KDRT, pemerintah sudah menerbitkan UU Nomor 23 Tahun 2004. Untuk kasus KDRT berupa kekerasan fisik atau perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat, ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.

“KDRT bukan masalah yang sepele yang dapat diabaikan begitu saja atau bahkan dianggap lumrah karena dilakukan oleh keluarga sendiri. Tidak jarang KDRT akhirnya dapat mengancam keselamatan dan nyawa seseorang,” Kasandra menuturkan.

Haruskah Bercerai?

Kasandra mengatakan ada beberapa alasan mengapa seorang istri yang mengalami KDRT tetap bertahan dalam hubungan pernikahan yang penuh kekerasan, antara lain:

  • Harapan suatu hari nanti keadaan rumah tangga akan membaik
  • Malu dan menganggap perceraian sebagai aib.
  • Apabila sudah memiliki anak, seorang istri yang menjadi korban KDRT umumnya enggan bercerai karena memikirkan masa depan dan kebahagian anak-anaknya.
  • Ketergantungan ekonomi juga berpengaruh besar terhadap keputusan korban KDRT untuk tetap bertahan dalam rumah tangga yang penuh dengan kekerasan, karena korban KDRT khawatir apabila bercerai, ia tidak akan mampu membiayai dan menghidupi anak-anaknya.

Banyak orang berpikir, bertahan dalam keluarga yang utuh mampu membuat kehidupan anak lebih baik dan bahagia. Realitasnya, anak cenderung akan meniru apa yang mereka lihat dalam hubungan orangtua mereka, ketika anak melihat ibunya menjadi korban kekerasan, anak akan belajar hal yang salah tentang pernikahan.

Anak mungkin akan berpikir pernikahan bukanlah hal yang menyenangkan. Hal ini akan membuat anak trauma berkepanjangan dan kemungkinan sulit menjalin hubungan ketika dewasa.

“Bercerai memang bukan solusi yang menyenangkan dan bukan tujuan akhir dari suatu pernikahan, tetapi untuk korban KDRT yang sering mengalami kekerasan fisik berat, mungkin bercerai menjadi salah satu pilihan alternatif solusi untuk memutus mata rantai kekerasan,” Kasandra menandaskan.