JAKARTA - Pernyataan tersangka kasus suap hakim agung, Yosep Parera menguak kebobrokan lembaga peradilan di Indonesia. Agar laporan dari pihak berperkara bisa sampai ke meja hakim, harus ada ‘upeti’ yang dibayarkan.
Permainan ini terjadi di jajaran struktural, seperti panitera, penerima berkas, nomor perkara, dan lainnya. Kepada bawahan hakim agung inilah para pengacara harus membayar.
“Sehingga, mau tidak mau, pihak yang berperkara pasti mengeluarkan dana untuk mendapat keadilan. Jadi, itu yang dilakukan oleh kami, membayar agar surat kami bisa masuk ke meja hakim agung,” kata Yosep di Gedung KPK, Jakarta pada 10 Oktober 2022 usai menjalani pemeriksaan oleh Komisi Yudisial (KY).
“Kami tidak mengenal hakim agung. Kami hanya berhubungan dengan aparat hukum di MA yang memiliki kedekatan dengan hakim. Inilah orang-orang yang melakukan permainan seperti gratifikasi. Jadi hakim agung sebenarnya beres, permainan ada di bawah,” Yosep menambahkan.
Ia mengaku telah menyampaikan informasi terkait itu kepada KY dan hakim di Badan Pengawas (Bawas) MA. Tujuannya agar ada pembenahan sehingga pengacara tidak lagi tersandera oleh praktek-praktek permintaan upeti tersebut.
Komisi Yudisial sudah menindaklanjuti pemeriksaan etik terkait tangkap tangan dan penetapan tersangka terhadap Hakim Agung SD dan Hakim Yustisial ETP. Pemeriksaan juga dilakukan kepada tersangka TYP, ES, HT, dan IDKS.
Namun, Juru Bicara Komisi Yudisial RI Miko Ginting belum mau mengungkapkan hasil pemeriksaan. “Hasil pemeriksaan sementara ini hanya untuk kepentingan pemeriksaan, harap maklum.”
Yang pasti, lanjut Miko, KY masih mengidentifikasi internal dan akan bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk pengawasan.
“Basis dari identifikasi itu adalah menganalisis titik kerawanan terjadinya penyimpangan. Penguatan lembaga dan mekanisme pengawasan adalah salah satu kuncinya, dalam hal ini penguatan peran KY adalah keniscayaan,” tutur Miko lewat keterangan tertulis kepada VOI, Selasa (11/10).
Integritas Mahkamah Agung
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban menilai apa yang disampaikan oleh Yosep Parera mungkin sudah menjadi kasak-kusuk umum dalam masyarakat. Sudah semestinya pula, KPK memperdalam lagi pernyataan Yosep tersebut.
Sehingga, praktek-praktek mafia peradilan di lembaga Mahkamah Agung dan pengadilan bisa diberantas atau paling tidak diminimalisasi.
“KPK dengan melakukan fungsi monitoringnya bisa memetakan dan meminimalisasi munculnya lagi mafia peradilan lewat perbaikan tata kelola di Mahkamah agung dan pengadilan,” ucapnya kepada VOI, Selasa (11/10).
Di sisi lain, Mahkamah Agung juga harus melakukan evaluasi menyeluruh baik secara mekanisme maupun kelembagaan. MA semestinya sudah melakukan pemetaan titik-titik rawan korupsi.
Sebab, sejatinya, korupsi dalam kasus suap hakim agung hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK tidak mungkin dilakukan seorang diri.
“Permainan ini berjalan saling support, seperti sistem hingga dugaan kuat mengalir sampai ke hakim. Harus evaluasi menyeluruh,” tuturnya.
Lemahnya proses pengawasan lembaga baik oleh Badan Pengawas MA maupun Komisi Yudisial, semakin membuka celah terjadinya korupsi di sektor peradilan. Kondisi tersebut memungkinkan masih banyaknya oknum hakim dan petugas pengadilan yang korup namun tidak teridentifikasi oleh penegak hukum.
Selain soal suap, kinerja MA dalam pengenaan hukuman untuk memaksimalisasi pemberian efek jera para pelaku korupsi juga patut dipertanyakan. Vonis rata-rata pada 2021, menurut ICW, hanya 3 tahun 5 bulan. Bahkan, sudah ringan, MA juga banyak mengobral diskon pemotongan masa hukuman melalui proses Peninjauan Kembali (PK).
Alhasil, evaluasi perlu dilakukan bukan hanya atas tata kelola kelembagaan Mahkamah Agung dan lembaga di bawahnya, tetapi juga terkait dengan kepegawaian dan juga peraturan itu sendiri. Sehingga, MA nantinya bisa menjadi lembaga yang berintegritas.
“Jangan-jangan peraturan internalnya memang tidak tepat guna. Sehingga, kesannya tidak ada penegakan, meskipun ada penegakan, tetapi belum menyentuh ke akar permasalahan utama,” imbuh Easter.
Reformasi Lembaga Peradilan
Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun pun tidak menampik, laporan terkait permainan orang-orang di bawah hakim agung memang sudah beberapa kali terjadi. Baik dilakukan oleh orang yang mengaku-ngaku sebagai pegawai MA, atau memang dilakukan oleh pegawai MA sendiri.
“Secara laporan memang sempat ada di zaman saya. Mereka membuat surat bila ingin menang menawarkan, kemudian menuliskan nomor kontak pribadi bukan nomor kantor, ini sering ditemukan. Namun, tentu butuh pembuktian lebih lanjut,” kata Gayus kepada VOI, Selasa (11/10).
Itulah mengapa, perlu reformasi lembaga peradilan untuk memberantas gerak mafia peradilan. Gayus pun sepakat lembaga-lembaga peradilan harus segera dievaluasi.
“Evaluasi dilakukan terhadap pimpinan-pimpinan pengadilan, termasuk aparatur pengadilan, Yang baik dipertahankan, yang jelek diganti. Yang namanya reformasi hukum mesti konkret,” ucapnya.
Terlebih, lanjut Gayus, bila melihat laporan KY pada 2019 bahwa ada 87 hakim yang melakukan pelanggaran. Tidak hanya terkait etik dan perilaku, KY juga menemukan perbuatan melanggar hukum dengan menerima sesuatu dari terdakwa atau yang berperkara.
“Ini ada laporannya, saya masih simpan laporannya,” kata Gayus.
Mahfud MD sebelum menjabat Menko Polhukam, menurut Gayus, juga sempat menyampaikan gagasannya merombak total tata kelola Mahkamah Agung bila ingin memberantas mafia peradilan.
“Hakim Agung diberhentikan saja semua, dikocok ulang. Orang akan mengatakan itu kan melanggar hak asasi. Ada dalil yang lebih tinggi di atas konstitusi namanya salus populi suprema lex. Keselamatan negara itu lebih tinggi kedudukannya dari konstitusi. Kalau perlu konstitusi langgar untuk menyelamatkan negara, itu dalil umum,” kata Mahfud dalam acara talkshow yang diinisiasi Karni Ilyas enam tahun lalu.
Mahfud MD juga menyampaikan gagasannya untuk membatasi jabatan hakim agung hanya lima tahun serupa seperti pejabat-pejabat lainnya, serta memendekkan masa pensiun agar tidak terjadi penumpukan.
“Kenapa kita tidak buat UU, lima tahun berhenti kalau mau lanjut harus seleksi ulang. Kalau memang ini susah dibuat UU karena banyak kolusi, mafia, permainan-permainan politik, presiden bisa turun tangan. Salus populi suprema lex, keselamatan rakyat itu jauh lebih tinggi dari konstitusi. Presiden kalau perlu bertindak dalam keadaan seperti ini,” papar Mahfud
“Saya waktu itu ada dalam satu acara yang sama dengan Pak Mahfud, jadi saya ingat gagasan dia. Artinya apa, Pak Mahfud juga harus konsisten. Saat ini kan beliau yang mendapat mandat dari presiden untuk reformasi,” Gayus menandaskan.