The 8th G20 Parliamentary Speakers: Menelisik Kesetaraan Gender dan Peran Wanita di Parlemen
Ketua Dewan Federasi Majelis Federal Rusia, Valentina Matvienko dan Ketua DPR RI, Puan Maharani di sela-sela perhelatan the 8th G20 Parliamentary Speakers Summit (P20) di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta pada 6 Oktober 2022.. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Tantangan global dan konflik geopolitik telah memukul mundur berbagai kemajuan dalam bidang kesetaraan gender. Masih banyak perempuan terhalang dari partisipasi politik, akses ekonomi dan pendidikan, hingga jaminan keamanan dan kesehatan.

Itulah mengapa, menurut Ketua DPR RI Puan Maharani, peran penting perempuan sebagai ‘agen perubahan’ di bidang ekonomi, sosial dan budaya dirasa perlu terus diupayakan demi mewujudkan parlemen yang kuat dan seimbang.

Terlebih, dalam sidang 'The 8th G20 Parliamentary Speakers’ (P20) di Jakarta pada 6-7 Oktober 2022, para parlemen dunia sepakat penguatan peran parlemen merupakan solusi dalam menghadapi situasi global yang sulit. 

“Parlemen yang kuat adalah kunci mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan rakyat dengan mengedepankan kerjasama bersama pemangku kepentingan lain,” ucap Puan pada momen tersebut.

Indeks Kesetaraan Gender PBB pada 2021 menunjukkan, 95 persen perempuan telah menempuh pendidikan sekunder dan 57.7 persen perempuan terserap ke pasar tenaga kerja. Namun, hanya 39.7 persen perempuan yang menduduki kursi dalam parlemen.

Menurut Puan, prioritas utama adalah pendidikan sebagai pintu pertama peningkatan literasi, keterampilan dan keahlian, serta kesadaran terhadap kesehatan kaum perempuan.

“Lewat pendidikan pula, perempuan bisa lebih berpartisipasi dalam politik. Ini sangat penting untuk perempuan dalam perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan, termasuk penyelundupan dan perdagangan orang,” ucap Puan.

Bagaimanapun, perempuan merupakan integral dari pemberdayaan komunitas yang efektif dan berkelanjutan.

Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti pun sependapat keberadaan perempuan di parlemen bisa mengikis kesetaraan gender. (Antara)

Anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti pun sependapat keberadaan perempuan di parlemen bisa mengikis kesetaraan gender. Ketika di parlemen, perempuan tentu memiliki kecenderungan untuk memperjuangkan hak-haknya, hingga merumuskan kebijakan yang bersifat long term, langsung berdampak terhadap para generasi penerus bangsa.

Misalnya, seperti yang saat ini dibahas di Komisi VII DPR RI Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT).

Politisi Partai Golkar ini menjelaskan, tiga poin keunggulan adanya wanita dalam Parlemen. Pertama, perempuan punya kecenderungan untuk mendorong equal rights. Kedua, perempuan mempunyai kecenderungan mendorong kebijakan yang bersifat long term.

“Terakhir, perempuan mempunyai kecenderungan menggunakan hati dan memiliki sensitifitas untuk memperjuangkan dan menjalankan tugasnya,” imbuh Roro.

Contoh lain juga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diketok palu pada April 2022. Ini pun sebagai bentuk kepedulian terhadap kaum perempuan.

Puan mengatakan, implementasi UU TPKS tak hanya sekadar memberi jaminan terhadap penanganan kasus kekerasan seksual. Namun juga akan berfungsi dalam hal pencegahan hingga perlindungan dan pemulihan untuk korban.

“Lewat UU TPKS dan aturan turunannya, Negara dapat menjamin rasa aman rakyat dan perlindungan dari ancaman kekerasan seksual. Payung hukum ini juga akan memberi keadilan bagi seluruh korban,” ucapnya seperti dilansir dari website DPR.

Kendala Budaya

Namun, realitasnya di Indonesia, menurut Juniar Laraswanda Umagapi dalam tulisannya Representasi Perempuan di Parlemen Hasil Pemilu 2019: Tantangan dan Peluang, keberadaan perempuan di parlemen belum sepenuhnya memenuhi harapan baik secara kuantitas maupun secara kualitas.

Secara kuantitas, meski meningkat dari periode-periode sebelumnya, jumlah perempuan di parlemen tidak pernah mencapai target 30 persen. Pada periode 2019-2024 per Januari 2021 saja hanya terdapat 123 perempuan atau hanya sekitar 21,39 persen. DPRD provinsi sebesar 18,03 persen, DPRD kabupaten/kota 15,25 persen, dan DPD sebesar 30,88 persen.

Juniar menengarai ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab. Antara lain, faktor budaya, kemiskinan, dan masalah sosial lainnya.

“Contoh keluarga. Perempuan sebagai istri bagaimanapun tetap membutuhkan izin dari suami jika ingin masuk politik. Tak hanya itu, sebagai wakil rakyat perempuan juga merupakan anggota fraksi partai politik yang harus mengikuti kata-kata fraksi,” ucap Juniar.

Begitupun secara kualitas, Juniar mengatakan, “Apakah perempuan-perempuan yang terpilih memang perempuan-perempuan berkualitas yang cocok menjadi sosok sebagai penyalur aspirasi masyarakat, apakah mereka tahu betul tentang apa yang di lakukan parlemen mengenai tugas dan kewajibannya, haruslah masyarakat menilai dari segi kemampuan mereka dalam memimpin.”

Peranan anggota legislatif perempuan terhadap kebijakan-kebijakan yang pro terhadap isu perempuan masih kurang. Sebab, realitas saat ini, partai politik hanya ingin memenuhi kuota 30 persen. Mereka banyak memilih perempuan-perempuan yang memang sudah terkenal seperti kalangan selebritas ataupun yang memiliki kekerebatan dengan kepala daerah.

“Belum ada perempuan yang memang berasal dari kalangan bawah yang merupakan aktivis perempuan yang tahu betul tentang isu-isu sensitif perempuan yang harus diutamakan,” imbuhnya.

Pembukaan Parliamentary Forum and the 8th G20 Parliamentary Speakers' Summit (P20) di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/10/2022). (Antara)

Anggota Komisi IX DPR RI Irma Chaniago pun mengakui belum semua partai politik bisa memberikan ruang besar bagi perempuan maju menjadi wakil rakyat. Sehingga, ada baiknya aturan 30 persen keterwakilan di parlemen menjadi hal wajib.

“Bukan sekadar kuota, bukan pula 30 persen di pengurus partai, tapi 30 persen wajib di parlemen. Baru perempuan bisa bersuara lebih besar,” kata Irma kepada VOI beberapa waktu lalu.

Sebab, kalau hanya 30 persen keterwakilan wanita sebagai pengurus partai, itu sama saja. Toh, pada akhirnya, partai politik tidak memberi ruang untuk para perempuan maju ke legislatif. Ini yang harus menjadi perhatian.

“Perlu diskresi, perlu adanya regulasi yang bisa membuat peran perempuan itu termaginalkan, bisa punya ruang di kancah politik. Parpol harus beri ruang besar terhadap perempuan untuk bisa berpartisipasi dalam flaming legislative sehingga perempuan tidak hanya menjadi vote getter,” tuturnya.

Selain minimnya ruang yang diberikan, tidak banyak pula perempuan yang memiliki modal untuk menjadi wakil rakyat.

“Kalau modal sosial mungkin banyak perempuan yang punya elektabilitas bagus, tapi yang punya modal finansial masih sedikit perempuan yang mandiri. Rata-rata masih bergantung ke pendanaan suami,” imbuh Irma.

Kondisi itu juga yang harus menjadi perhatian partai politik. Membantu perempuan-perempuan yang memang berkualitas, memiliki kapabilitas, kapasitas, dan elektabilitas untuk maju menjadi wakil rakyat dan jangan dibiarkan bertarung bebas.

Ini yang belum bisa dilakukan oleh partai politik sehingga masih banyak perempuan yang sebenarnya berkualitas untuk bisa menjadi wakil rakyat, tetapi tidak bisa masuk karena keterbatasan finansial.

Meski tidak ada joint statement, 'The 8th G20 Parliamentary Speakers’ Summit' (P20) yang digelar di Indonesia menghasilkan 'outcome document' berupa 'Chair's Summary'.

Chair's Summary didapat setelah pimpinan parlemen G20 mengikuti 4 sesi diskusi terkait isu-isu prioritas mulai dari pembangunan berkelanjutan, green economy, ketahanan pangan dan energi serta tantangan ekonomi, hingga kesetaraan gender.

'Outcome document Chair's Summary' dalam P20 nantinya akan dibawa ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang akan digelar pada November 2020 di Bali di mana Indonesia memegang presidensi.