JAKARTA - Seorang mantan polisi bernama Panya Khamrab (34) membunuh puluhan orang di fasilitas penitipan anak di Kota Uthai Sawan, Nongbualamphu, Thailand pada Kamis (6/10) siang. Sekitar 38 orang meninggal dunia, 23 di antaranya adalah anak-anak berusia 2-5 tahun.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mengucapkan belasungkawa.
“Dukacita kami untuk keluarga korban, baik yang meninggal maupun yang luka-luka,” kata Prayuth dilansir dari BBC.
Dia mengistruksikan semua lembaga terkait untuk membantu para korban dan keluarga mereka. Juga, meminta polisi mempercepat investigasi untuk mengungkap kejadian tersebut.
Melansir Aljazeera, Panya datang ke fasilitas penitipan anak untuk mencari anaknya. Dia datang ketika jam makan siang. Menurut pengakuan pejabat distrik, Jidapa Boonsom, sekitar 30 anak berada di tempat penitipan ketika penyerang tiba.
Mengetahui anaknya tidak ada, dia langsung kalap. Menembak staf dan menyayat anak satu-persatu dengan pisau.
"Ada beberapa staf yang makan siang di luar kamar bayi dan penyerang memarkir mobilnya dan menembak mati empat dari mereka. Termasuk seorang guru yang sedang hamil delapan bulan," kata Jidapa.
“Awalnya orang mengira itu kembang api. Sangat mengejutkan. Kami sangat takut dan berlari bersembunyi begitu kami tahu itu adalah penembakan. Begitu banyak anak terbunuh, saya belum pernah melihat yang seperti ini,” Jidapa mengungkapkan.
Setelah itu, saksi mata lainnya Nanthica Punchum mengatakan, "Penembak mendobrak pintu dengan kakinya dan kemudian masuk ke dalam dan mulai menyayat kepala anak-anak dengan pisau.”
Usai melakukan aksinya, Panya melarikan diri dengan mengendarai mobil pick up Toyota dengan plat nomor Bangkok. Saksi Paweena Purichan mengaku sempat berpapasan dengan pelaku.
“Dia (Panya) mengemudi ugal-ugalan. Menabrak sepeda motor hingga dua orang terluka. Saya bergegas menjauh darinya. Ada darah dimana-mana,” ucap Paweena.
Juru bicara polisi Thailand, Paisan Luesomboon mengatakan Panya adalah mantan polisi yang dipecat tahun lalu karena penggunaan narkoba. Sebelum ini, dia juga habis menjalani sidang atas tuduhan penjualan metamfetamin. Dia mengalami stres berat.
Setelah melakukan aksinya, pelaku kemudian pulang dan membunuh istri dan anaknya.
“Kemudian dia bunuh diri dengan tembakan,” kata Paisan.
Komisaris Polisi Nasional Thailand, Jenderal Damrongsak Kittiprapat meminta maaf atas nama pasukannya.
"Kami yakin penyerang menargetkan pusat penitipan anak karena dekat dengan rumahnya, meskipun kami masih perlu menyelidiki motif sebenarnya," kata Jenderal Damrongsak.
"Saya ingin meminta maaf atas apa yang terjadi dan akan mengambil insiden ini sebagai pelajaran untuk meningkatkan taktik kami dan mencegahnya terjadi lagi," tambahnya
Wartawan BBC untuk kawasan Asia Tenggara, Jonathan Head, mengatakan memiliki senjata adalah hal yang biasa di Thailand, terlebih untuk seorang mantan polisi yang relatif mudah mendapatkan senjata api. Namun kasus-kasus penembakan massal dengan korban anak-anak atau murid sekolah termasuk rendah.
Tragedi 6 Oktober
Pada hari yang sama, sejumlah masyarakat Thailand sedang memperingati peristiwa 6 Oktober. Mereka memberikan sedekah ke para biksu, serta menaruh karangan bunga sebagai aksi mengenang puluhan mahasiswa yang tewas dalam pembantaian oleh paramiliter kelompok sayap kanan.
Episode paling brutal dalam sejarah Thailand modern yang terjadi di Universitas Thammasat 46 tahun lalu.
Kondisi politik Thailand pada 1973 sedang mengalami transisi. Rezim Tiga Tiran, Marsekal Lapangan Thanom Kittikachorn, Marsekal Lapangan Praphas Charusathien, dan Kolonel Narong Kittikachorn berhasil digulingkan. Ketiganya bahkan harus hengkang ke Singapura.
Namun, melansir dari Wikipedia, kondisi tak kunjung membaik. Kerusuhan masih saja terjadi di sejumlah wilayah selama periode 1973-1976. Pihak militer khawatir, paham komunisme yang mulai menyebar di negara-negara tetangga masuk juga ke Thailand dan mengancam kepentingan monarki dan militer itu sendiri.
Mereka kemudian memutuskan untuk membawa kembali mantan pemimpin Thanom dan Praphs kembali ke Thailand untuk mengendalikan situasi.
Sebagai tanggapan atas kembalinya Praphas pada 17 Agustus 1976, ribuan mahasiswa berunjuk rasa di Universitas Thammasat selama empat hari. Bentrokan dengan Gaur Merah dan Nawaphon terjadi dan menewaskan empat orang.
Dua hari setelahnya, Thanom kembali ke Thailand dan langsung menuju dari bandar udara menuju Vihara Wat Bowonniwet, tempat dia ditahbiskan sebagai biarawan dalam upacara pribadi.
Aksi unjuk rasa terus berlanjut dan semakin besar. Aparat keamanan pun semakin beringas.
“Dua aktivis yang memasang poster anti-Thanom dipukuli sampai tewas dan digantung di tembok. Suatu kebiadaban yang segera terbukti merupakan tindakan polisi Thailand,” tulis Wikipedia.
Empat hingga lima ribu mahasiswa dari berbagai universitas juga berunjuk rasa di Universitas Thammasat menentang kembalinya mantan diktator militer Thanom Kittikachorn ke Thailand dari Singapura.
Unjuk rasa dilakukan selama lebih dari satu pekan. Diisi antara lain dengan pertunjukan drama.
Drama yang dipentaskan menampilkan cerita yang salah satu adegannya menampilkan hukuman gantung Putra Mahkota Vajiralongkorn.
“Dramatisasi penggantungan ini dipentaskan oleh para mahasiswa pengunjuk rasa di Universitas Thammasat pada 4 Oktober. Disengaja atau disesalkan, mahasiswa yang ada di ujung garrote memiliki kemiripan dengan Putra Mahkota Vajiralongkorn,” masih dari Wikipedia.
Hari berikutnya, ketika Perdana Menteri Seni berjuang untuk menghimpun kabinetnya, surat kabar Dao Siam menerbitkan foto penggantungan pura-pura tersebut di halaman depannya.
Sebagai tanggapan atas penghinaan tersebut, militer dan polisi, serta pasukan paramiliter mengepung universitas. Tepat sebelum fajar pada 6 Oktober 1976, serangan terhadap para mahasiswa pengunjuk rasa dimulai dan berlanjut hingga siang hari.
Pembantaian Thammasat University hingga hari ini masih menjadi topik sensitif dalam sejarah Thailand. Pemerintah Thailand menyebut 46 tewas, 167 terluka, dan 3.000 orang ditangkap. Sementara, mereka yang selamat mengatakan korban tewas lebih dari 100 orang.