Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) belakangan ini kerap menyunat hukuman koruptor yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Menanggapi hal tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai ini adalah imbas dari pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar sejak 2018 lalu.

"Saat ini tak dipungkiri sosok seperti Artidjo Alkostar tidak lagi tampak di Mahkamah Agung. Maka dari itu para koruptor memanfaatkan ketiadaan Artidjo itu sebagai salah satu peluang besar untuk dapat menerima berbagai pengurangan hukuman di MA," kata Kurnia seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa, 22 September.

Artidjo selama ini memang dikenal garang terhadap koruptor. Sebab, banyak koruptor kelas kakap yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung justru mendapatkan hukuman lebih berat dan sosok inilah yang disebut Kurnia telah hilang dari lembaga peradilan tersebut. 

Sehingga, dia meminta Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin untuk menaruh perhatiannya pada putusan yang meringankan koruptor oleh lembaganya belakangan ini. Apalagi, berdasarkan paparan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setidaknya saat ini sudah ada 20 koruptor yang diberikan diskon hukuman dari lembaga ini.

Perhatian ini penting supaya hobi Mahkamah Agung memotong hukuman seorang koruptor tidak lantas memperparah iklim pemberantasan korupsi di Indonesia dan tak akan menimbulkan efek jera. "ICW mendesak agar Ketua Mahkamah Agung menaruh perhatian lebih terhadap perkara yang diputus lebih ringan pada tingkat Peninjauan Kembali," tegasnya.

Apalagi, berdasarkan catatan ICW pada tahun 2019 ini, rata-rata vonis hukuman yang dijatuhkan terhadap koruptor hanya berkisar dua tahun tujuh bulan saja. "Pemberian efek jera sudah dapat dipastikan tidak akan terealisasi jika vonis pengadilan selalu rendah kepada koruptor," ungkapnya.

Sebelumnya, KPK menyayangkan putusan Mahkamah Agung yang belakangan ini kerap memotong masa hukuman koruptor. Mereka menyebut, setidaknya ada 20 koruptor yang masa hukumannya mendapatkan pemotongan.

"KPK menyayangkan semakin banyaknya putusan MA ditingkat upaya hukum luar biasa (PK) yang dikabulkan oleh Majelis Hakim. Kami mencatat saat ini sekitar 20 perkara yang ditangani KPK sepanjang 2019-2020 yang hukumannya dipotong. Sekalipun setiap putusan majelis hakim haruslah dihormati, KPK berharap fenomena ini tidak berkepanjangan," kata Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri kepada wartawan.

Fenomena pemotongan masa hukuman tersebut, dianggap akan memberikan gambaran yang kurang baik terhadap masyarakat yang makin kritis dengan putusan peradilan. Ujungnya, bukan tak mungkin putusan tersebut akan membuat tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan menjadi menurun.

"Selain itu efek jera yang diharapkan dari para pelaku korupsi tidak akan membuah hasil. Ini akan semakin memperparah berkembangnya pelaku korupsi di Indonesia," tegasnya.

Lagipula, dalam memberantas korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa diperlukan komitmen yang kuat. Komitmen ini harus dimulai dari pimpinan negara hingga penegak hukum yang punya visi dan misi yang sama.

"KPK juga mendorong MA segera mengimplementasikan Perma tentang pedoman pemidanaan pada seluruh tingkat peradilan termasuk pedoman tersebut tentu mengikat pula berlakunya bagi Majelis Hakim tingkat PK," tuturnya.