Bagikan:

JAKARTA - Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin mengatakan pengurangan hukuman terhadap terpidana tindak pidana korupsi pada tingkat peninjauan kembali (PK) sepenuhnya merupakan kewenangan hakim yang mengadili perkara tersebut.

"Itu adalah sepenuhnya kewenangan hakim yang mengadili perkara itu, memenuhi perasaan keadilan menurut hakim yang mengadili itu," ujar Syarifuddin di gedung Mahkamah Agung, Jakarta dikutip Antara, Rabu, 30 Desember.

Diketahui, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) Mahkamah Agung telah mengurangi hukuman terhadap delapan terpidana kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tingkat peninjauan kembali (PK), terhitung sejak Januari hingga Oktober 2020.

Syarifuddin menegaskan pengurangan hukuman terhadap narapidana koruptor di tingkat PK merupakan independensi kewenangan hakim. Bahkan, dirinya yang merupakan Ketua MA pun tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri putusan tersebut.

"Jangankan para ketua kamar atau para hakim agung, saya sebagai ketua itu tidak boleh mencampuri independensi hakim itu," kata dia.

Selain itu, Syarifuddin mengatakan jumlah narapidana koruptor yang memperoleh pengurangan hukuman di tingkat PK hanya delapan orang. Sementara jumlah PK yang ditolak angkanya jauh melebihi itu.

"Tadi disebut ada delapan. Delapan dari ribuan perkara PK. maka kalau diangka, yang dikabulkan hanya 8 persen. yang ditolak 92 persen. jadi kalau yang diberitakan itu yang 92 persen mungkin tidak menjadi masalah. Cuma karena yang selalu diberitakan yang delapan persen ya jadi begitu dia," ujarnya.

Dia menekankan pengurangan hukuman terhadap para napi koruptor itu tidak ada kaitannya dengan telah pensiun-nya Artidjo Alkostar sebagai hakim agung di tahun 2018.

Diketahui, Artidjo dikenal sebagai sosok yang tidak segan menjatuhkan hukuman berat kepada para koruptor. Saat ini Artidjo menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas KPK 2019-2023.

"Kalau dikaitkan dengan pak Artidjo pensiun tidak ada sangkut paut-nya. Pak Artidjo masih ada di sini pun tidak bisa juga mempengaruhi ini," kata Syarifuddin.

MA Pernah Jadi Sorotan soal Kedermawanan Fahmi Darmawansyah 

KPK menyebut penggunaan terminologi kedermawanan dalam sebuah putusan akan mengaburkan esensi dari kata tersebut. Hal ini disampaikan oleh Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri untuk menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang memangkas hukuman terpidana kasus suap fasilitas Lapas Sukamiskin, Fahmi Darmawansyah.

"Putusan hakim haruslah tetap kita hormati. Namun, di tengah publik yang saat ini sedang bersemangat dalam upaya pembebasan negeri ini dari korupsi, penggunaan terminologi kedermawanan dalam putusan tersebut mengaburkan esensi makna dari sifat kedermawanan itu sendiri," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 9 Desember.

Dia menegaskan apapun yang dilakukan oleh Fahmi dalam perkara ini adalah perbuatan yang tercela. Apalagi, Fahmi memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara ataupun pegawai negeri karena memiliki kepentingan pribadi.

"Pemberian sesuatu kepada penyelenggara negara ataupun pegawai negeri karena kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki si penerima, sementara si pemberi ada kepentingan dibaliknya tentu itu perbuatan tercela," tegasnya.

Bahkan, Ali menilai, apa yang dilakukan Fahmi ini adalah masuk dalam kategori suap, "Atau setidaknya bagian dari gratifikasi yang tentu ada ancaman pidananya," ungkap dia.

Diberitakan sebelumnya, majelis hakim Peninjauan Kembali (PK) menilai pemberian mobil Mitsubishi Triton dari pengusaha Fahmi Darmawansyah untuk Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husein adalah bentuk kedermawanan suami artis Inneke Koesherawati tersebut.

"Bahwa Wahid Husen meminta mobil Mitsubishi Triton tersebut yang kemudian pemohon Peninjauan Kembali menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut, bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh pemohon melainkan karena sifat kedermawanan pemohon," demikian putusan PK Fahmi yang dilihat di laman Mahkamah Agung Jakarta, dilansir Antara, Selasa, 8 Desember.

Majelis hakim PK dalam putusan-nya mengurangi vonis terhadap Fahmi dari tadinya 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurungan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Bandung pada 20 Maret 2020, menjadi 1,5 tahun dan pidana denda sebesar Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Vonis PK itu dijatuhkan oleh majelis hakim PK yang terdiri dari Salman Luthan selaku ketua majelis, Abdul Latif dan Sofyan Sitompul masing-masing selaku anggota majelis.