JAKARTA - Pemotongan vonis hukuman terhadap koruptor yang akhir-akhir ini kerap dilakukan oleh Mahkamah Agung disoroti Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, pemotongan ini akan membuat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia akan makin suram ke depan.
Hal ini disampaikannya karena melihat fakta banyaknya terpidana dalam kasus korupsi yang mendapatkan pemotongan masa tahanan. Ini makin diperkuat dengan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut, dalam kurun waktu 2019-2020 terdapat 20 terpidana kasus korupsi yang mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) dan dikabulkan oleh MA.
"Nasib pemberantasan korupsi di masa mendatang akan suram jika Mahkamah Agung tetap mempertahankan tren vonis ringan kepada terdakwa kasus korupsi," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Kamis, 1 Oktober.
Selain itu, dia juga menilai putusan hakim yang kerap ringan dengan terdakwa kasus korupsi sebenarnya memiliki impilkasi yang serius. Pertama, kata dia, putusan semacam ini menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak yang terdampak korupsi.
Kedua, vonis semacam ini bisa melululantahkan kerja keras penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi.
"Ketiga, hal ini menjauhkan pemberian efek jera baik bagi terdakwa maupun masyarakat," tegasnya.
Kurnia lantas memaparkan data yang dimiliki ICW yang menyebut rata-rata hukuman pelaku korupsi di sepanjang tahun 2019 hanya dua tahun tujuh bulan. Selain itu, dia juga mengatakan pemulihan kerugian negara juga sangat kecil. Sebab, jika sepanjang 2019 lalu negara merugi hingga Rp12 triliun karena korupsi, namun, uang yang masuk sebagai pemulihan kerugian tidak sebanding.
"Pidana tambahan yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp750 miliar. Ini sepuluh persennya saja tidak dapat," ujar dia.
Selanjutnya, dia juga memaparkan dari 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019 lalu, sekitar 842 orang divonis ringan berkisar nol hingga empat bulan. "Sedangkan vonis berat di atas 10 tahun hanya sembilan orang dan belum lagi vonis bebas atau lepas yang berjumlah 54 orang," jelasnya.
Sehingga, jika ada masyarakat yang menginginkan adanya sosok seperti mantan Hakim MA Artidjo Alkostar itu adalah hal yang wajar. Apalagi, melihat rekam jejaknya saat itu.
"Dalam kondisi peradilan yang semakin tak berpihak pada pemberantasan korupsi memang harus diakui bahwa masyarakat akan merindukan adanya sosok seperti Artidjo Alkostar lagi di Mahkamah Agung," ujarnya.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango juga memberikan kritikan terhadap hobi baru Mahkamah Agung menyunat masa hukuman bagi koruptor. Menurut mantan hakim tersebut, MA harusnya bisa memberikan argumentasi serta jawaban ketika memberi diskon hukuman bagi pelaku tindak kejahatan korupsi.
"Dengan tetap menghargai independensi kekuasaan kehakiman, seharusnya MA dapat memberikan argumen yang sekaligus jawaban dalam putusan-putusannya, khususnya putusan PK yaitu legal reasoning, pengurangan hukuman dalam perkara a quo," kata Nawawi.
"Terlebih putusan PK yang mengurangi hukuman ini marak setelah gedung Mahkamah Agung ini ditinggal sosok Artidjo Alkostar. Jangan sampai hal ini memunculkan anekdot hukum, bukan soal hukumnya tapi siapa hakimnya," imbuh dia.
Sementara menghadapi sejumlah tudingan terhadap lembaganya, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah mengatakan, vonis yang diberikan majelis hakim dalam memutus Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana koruspi tentunya telah memenuhi rasa keadilan dan tanpa pengaruh dari siapapun. Sebab, seorang hakim tentunya mempunyai independensi.
"Memutus perkara merupakan kewenangan hakim, sesuai dengan rasa keadilan majelis hakim yang bersangkutan. Hakim ataupun majelis hakim memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun," kata Abdullah saat dihubungi wartawan.
Daripada membuat suasana menjadi gaduh, dia meminta semua pihak untuk menghormati putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Selain itu, dirinya juga berharap semua pihak untuk membaca lebih seksama putusan yang sudah dijatuhkan.
"Lebih bijak membaca putusan dahulu. Setelah mengetahui legal reasoningnya, baru memberikan komentar, kritik, maupun saran. Putusan tidak bisa dipahami hanya dengan membaca amarnya saja," tegasnya.
BACA JUGA:
[/read_more]
Sebelumnya, Mahkamah Agung beberapa kali memotong masa hukuman koruptor belakangan ini. Lembaga ini telah memotong masa hukuman dua eks pejabat Kementerian Dalam Negeri yang terjerat dalam kasus megakorupsi e-KTP yaitu eks Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil.
Dalam putusan Peninjauan Kembali, hukuman Irman dipotong dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 12 tahun penjara. Sedangkan, Sugiharto hukumannya berkurang dari 15 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara.
Masa hukuman keduanya dipotong karena Irman dan Sugiharto ditetapkan sebagai justice collaborator oleh KPK. Selain itu, Sugiharto dinilai bukan pelaku utama dan telah memberikan bukti signifikan dalam kasus korupsi tersebut.
Terbaru, lembaga ini juga memotong masa hukuman eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dari 14 tahun penjara menjadi delapan tahun dalam kasus penerimaan gratifikasi terkait proyek Pusat Pelatihan, Pendidikan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.
"Menjatuhkan pidana terhadap Anas Urbaningrum dengan pidana penjara selama 8 tahun ditambah denda Rp 300 juta subsider tiga bulan," kata Juru Bicara Andi Samsan Nangro kepada wartawan, Rabu, 30 September.
Adapun Majelis Hakim Agung Peninjauan Kembali (PK) diketuai oleh Sunarto dan didampingi oleh Andi Samsan Nganro dan Mohammad Askin sebagai hakim anggota, juga menjatuhkan pidana tambahan untuk Anas.
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Anas Urbaningrum berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahu terhitung sejak terpidana selesai menjalani pidana pokok," imbuhnya.
Andi kemudian menjelaskan alasan permohonan PK dengan dasar kekhilafan hakim dapat dibenarkan dengan sejumlah pertimbangan.