JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan setuju dengan pemberian hukuman mati terhadap koruptor. Menurutnya hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan tanpa harus merubah undang-undang.
Hanya saja, Mahfud bilang keputusan pemberian vonis hukuman mati itu akan selalu bermuara di pengadilan. Meski terkadang bisa saja tidak sejalan dengan keinginan masyarakat.
"Itu tergantung hakim dan jaksa. Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati koruptor," kata Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa, 10 Desember.
Alasan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini setuju dengan pemberian vonis hukuman mati karena koruptor merusak bangsa akibat kerakusan mereka. "Sehingga kalau koruptor itu serius dalam jumlah besar, karena greedy (rakus), ya, saya setuju," tegasnya.
Mahfud menilai ancaman hukuman mati sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam undang-undang itu, memang disebutkan koruptor bisa dihukum mati bila melakukan pengulangan atau melakukan korupsi terhadap dana bantuan bencana.
Sehingga, jika nanti hukuman mati akan dilaksanakan bagi koruptor tak perlu ada lagi undang-undang baru. Hanya saja, Mahfud mengatakan, kriteria bencana dalam aturan tersebut yang belum jelas. "Kalau mau itu diterapkan tidak perlu undang-undang baru, karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada," jelasnya.
Dia juga mengatakan, meski sudah ada undang-undang terkait hukuman mati itu dan ada dukungan pemerintah, ujungnya keputusan itu tetap berada di palu hakim. Apalagi, masih banyak hakim yang kerap memutus perkara korupsi dengan hukuman yang ringan.
"Kadang kala hakimnya malah mutus bebas, kadangkala hukumannya ringan sekali. Kadang kala sudah ringan dipotong lagi. Ya sudah itu, urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah," ungkap Mahfud.
Sebelumnya, seorang siswa SMKN 57 Jakarta bertanya kepada Presiden Joko Widodo tentang kemungkinan adanya hukuman mati untuk koruptor. Siswa itu bertanya kepada Jokowi yang datang ke sekolahnya setelah menyaksikan pentas drama Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57, Jakarta, Senin, 9 Desember.
Jokowi menjawab, hukuman mati untuk koruptor sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun penerapannya tidak sembarangan.
"Kalau korupsi bencana alam, dimungkinkan. Kalau nggak, tidak. Misalnya ada gempa, tsunami, di Aceh, atau di NTB kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana, duit itu dikorupsi, bisa (dihukum mati)," ujar Jokowi menjawab soal pidana mati bagi koruptor sambil menambahkan belum ada koruptor yang dihukum mati.
Usai acara ini, Jokowi ditanya wartawan soal kemungkinan hukuman mati itu diterapkan kepada semua koruptor. Jokowi mengatakan, hal itu bisa saja dilakukan asalkan ada dorongan dari masyarakat untuk mengubah UU tersebut.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor (hukuman mati) itu dimasukkan. Tapi sekali lagi juga termasuk (kehendak) yang ada di legislatif (DPR)," ujarnya menambahkan.