JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai vonis lima tahun bagi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terlalu ringan.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana bahkan menyebut hukuman ini menunjukkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa lagi diandalkan untuk memperjuangkan keadilan.
"Benar-benar tak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan keadilan. Sebab, baik KPK maupun majelis hakim sama-sama memiliki keinginan untuk meringankan hukuman koruptor. Sebagaimana diketahui, hukuman lima tahun penjara itu serupa dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK," kata Kurnia dalam keterangannya kepada wartawan yang dikutip Jumat, 15 Juli.
Dia lantas meningatkan, praktik korupsi yang dilakukan Edhy Prabowo terjadi saat dia sedang mengemban status sebagai pejabat publik. Sehingga, dia harusnya dikenakan pemberatan hukuman sesuai dengan Pasal 52 KUHP.
"Tidak cukup di situ, kejahatan tersebut juga dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berjuang menghadapi pandemi COVID-19," ungkapnya.
BACA JUGA:
Sehingga, Kurnia menilai, Edhy pantas untuk dijatuhi hukuman dengan vonis maksimal. Tak hanya itu, dia menganggap hukum pidana tambahan pencabutan hak politik harusnya dapat diperberat selama lima tahun.
"Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara," tegasnya.
Lagipula, pegiat antikorupsi ini menilai putusan yang dijatuhkan keliru karena hakim hakim membenarkan penerimaan sebesar Rp24,6 miliar ditambah 77 ribu dolar Amerika Serikat. "Namun, kenapa justru vonisnya sangat ringan? Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan jerat pidana penjara minimal kepada koruptor adalah 4 tahun penjara," ujar Kurnia.
Menurutnya, putusan satu tahun di atas jerat minimal ini baru benar diberikan pada Edhy jika eks politikus Partai Gerindra tersebut hanya menerima puluhan juta rupiah dari para pemberi suap dan menyandang status sebagai justice collaborator.
Tapi hal itu tidak terjadi karena Edhy justru melakukan praktik rasuah hingga mencapai puluhan miliar rupiah dan tak kunjung mengakui perbuatannya hingga saat ini.
Lebih lanjut, Kurnia mengatakan, hukuman lima tahun penjara ini juga makin menambah suram lembaga peradilan dalam menyidangkan kasus korupsi. Berdasarkan pemantauan ICW, tahun 2020 sudah menggambarkan jelas jika majelis hakim kerap kali tidak menunjukkan keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi.
"Bayangkan, rata-rata hukuman koruptor saja hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Lantas, apa lagi yang diharapkan dari penegakan hukum yang terlanjur carut marut ini?, " ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara atas kasus suap izin ekspor benih lobster atau benur. Selain itu, dia juga dijatuhi sanksi denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan penjara.
Majelis hakim juga memutuskan hukuman tambahan bagi Edhy Prabowo dengan kewajiban membayar uang pengganti atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya sebesar Rp9,68 miliar dan 77 ribu dolar Amerika Serikat (AS). Bila uang pengganti tidak dibayarkan, Edhy Prabowo harus menjalani pidana penjara tambahan selama 2 tahun
Selan itu, majelis hakim dalam putusannya juga mencabut hak dipilih Edhy Prabowo dalam jabatan publik (politik) selama tiga tahun.
Dalam kasus ini, Edhy Prabowo melanggar Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.