Bagikan:

JAKARTA - KPK dinilai tidak maksimal dalam menuntut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo terkait kasus suap ekspor benih lobster.

Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar mengatakan, koruptor sekelas Edhy Prabowo harusnya diberi hukuman maksimal karena pejabat negara. 

"Seharusnya orang selevel menteri dituntut (dengan masa tahanan) maksimal dan denda sebanyak-banyaknya agar ada efek jera,” kata Abdul, Antara, Kamis, 14 Juli.

Edhy Prabowo pada Kamis ini akan menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Sebelumnya JPU KPK menuntut Edhy divonis hukuman 5 tahun penjara dan denda sebesar 400 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti senilai 9.687.447.219 rupiah dan 77 ribu dolar AS subsider 2 tahun penjara.

Selain itu, jaksa juga mencabut hak politik Edhy Prabowo. Sehingga mantan Menteri KKP ini tidak dapat dipilih sebagai pejabat publik selama 4 tahun setelah dirinya selesai menjalani masa kurungan.

Edhy yang didakwa menerima suap terkait pemberian izin budi daya dan ekspor benih benur lobsyer (BBL) sebesar 77 ribu dolar AS dan Rp.24,62 miliar sehingga totalnya mencapai sekitar Rp25,75 miliar. Nominal tersebut berasal dari para pengusaha pengekspor BBL.

Menurut Abdul, tindakan korupsi yang dilakukan oleh Edhy di tengah pandemi sudah keterlaluan dan contoh nyata perumpamaan pagar makan tanaman.

Menurut dia, kesalahan Edhy dua kali, yakni sudah tidak mengabdi pada rakyat dan mengambil pula uang rakyat.

“Saya harap, KPK dapat bertindak lebih tegas dan lugas dalam menuntut agar ada rasa jera. Karena kehadiran KPK bisa berdampak pada penegakan hukum,” kata Abdul ketika menekankan peran KPK dalam memberikan tuntutan kepada koruptor.

Abdul juga menekankan tujuan KPK didirikan, yaitu guna memperbaiki penanganan korupsi di masa lalu. Apabila masa lalu justru menyebabkan KPK menjadi tumpul dan memberi tuntutan yang biasa-biasa saja, maka lebih baik memperkuat yang sudah ada, kata Abdul.