Bagikan:

JAKARTA - Kasus gagal ginjal akut yang muncul pada anak sempat membuat masyarakat panik, sebab penyakit tersebut secara misterius menyerang para bocah sejumlah daerah di Indonesia.

Penyakit ginjal tersebut kali pertama terungkap pada pasien anak-anak di Rumah Sakit Profesor Dr. Ngoerah Denpasar, Bali, yang dirawat sejak bulan Agustus 2022, namun baru diketahui mengalami gejala gagal ginjal akut sekira pertengahan September lalu.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Provinsi Bali Bali dokter I Gusti Ngurah Sanjaya Putra menyebut terdapat satu kesamaan dari sebagian besar kasus gagal ginjal akut misterius yang menyerang anak-anak, khususnya yang dirawat di RSUP Prof. Ngoerah.

Dari 17 orang anak yang ditangani, kasus seperti itu memiliki keterkaitan satu sama lain, tapi belum dianggap sebagai penyebab. Karena ada MISC (multisystem inflammatory syndrome in children), banyak juga kasus yang sama di luar.

Dokter spesialis anak konsultan Prof. Dr. dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K) meminta masyarakat tidak panik menyikapi kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal yang terjadi di Indonesia.

Para tenaga kesehatan tentu akan melakukan yang terbaik untuk penanganan anak-anak dengan gangguan ginjal tersebut. Selain itu, pemerintah juga sudah mengambil kebijakan terkait penarikan obat sirop yang bertujuan untuk mencegah agar tidak muncul lagi kasus-kasus baru.

Orang tua dapat mencari alternatif obat selain obat sirop untuk sementara waktu di samping tetap menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan.

Pihaknya mengingatkan bahwa belum tentu semua obat sirop mengandung zat yang diduga menyebabkan gangguan ginjal akut sehingga orang tua diminta untuk tidak panik.

Bagi orang tua yang sudah telanjur memberikan obat sirop pada anak yang masuk dalam daftar yang ditarik peredarannya oleh pemerintah, orang tua diminta memantau kondisi anak terlebih dahulu terutama memastikan jumlah urine yang diproduksi.

Ada satu hal yang mudah bagi awam untuk mengetahui kondisi anak-anak setelah mengonsumsi obat tersebut ada atau tidak gangguan berkemih, yakni jumlah air kemihnya berkurang. Apabila anak mengalami gangguan seperti itu dan orang tua curiga, segera periksakan ke dokter sehingga dapat ditindaklanjuti, berupa pemeriksaan darah di laboratorium

Ada zat kreatinin atau ureum di dalam darah diperiksa, ini saja sudah bisa mengetahui ada penurunan fungsi ginjal atau tidak. Kalau misalnya ada peningkatan dari kreatinin pada anak maka ada penurunan fungsi ginjal. “Kalau tidak ada, tidak usah khawatir,” katanya dikutip dari ANTARA, Sabtu, 29 Oktober.

Sebelumnya pada Jumat (21-10), Kemenkes telah mengumumkan sebanyak 102 merek obat sirop yang dikonsumsi oleh para pasien gagal ginjal akut progresif atipikal di Indonesia.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya juga telah mengatakan produk obat sirop tersebut terbukti secara klinis mengandung polyethylene glikol. Bahan tersebut digunakan sebagai pelarut obat sirop dan tidak berbahaya selama penggunaanya berada pada ambang batas aman.

Polyethylene glikol disebutkan bisa memicu cemaran apabila formula campurannya buruk, seperti ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).

Malaadministrasi ginjal akut

Lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik Ombudsman RI meminta pemerintah untuk melakukan tindakan korektif terkait malaadministrasi dalam menangani kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal yang menimpa anak-anak di Indonesia.

“Akuntabilitas harus ditunjukkan tidak selalu berujung pada pemberhentian, tidak selalu berujung kepada sanksi yang sifatnya abstraktif, tetapi koreksi atas kebijakan dan langkah-langkah pelaksanaan itu menjadi sangat penting," kata Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng.

Ombudsman mengungkapkan adanya potensi malaadministrasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengenai layanan kesehatan obat sirop yang menyebabkan gangguan ginjal akut progresif atipikal.

Robert menilai Kementerian Kesehatan belum memiliki data pokok terkait sebaran penyakit mulai dari tingkat kabupaten maupun kota, provinsi, dan pusat, sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan kasus gangguan ginjal akut tersebut.

Atas ketiadaan data, lanjut dia, Kementerian Kesehatan tidak dalam melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi gangguan ginjal akut. Hal itu dapat diartikan sebagai ketiadaan keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan tepercaya terkait kasus tersebut.

Kemudian, standarisasi pencegahan dan penanganan kasus yang belum ada di seluruh pusat pelayanan kesehatan menyebabkan belum terpenuhinya standar pelayanan publik termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium. "Itu potensi malaadministasi pada Kementerian Kesehatan," sebut Robert.

Sementara itu, potensi malaadministasi BPOM terkait pengawasan pre-market (proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan) serta post-market control (pengawasan setelah produk beredar).

Dalam hal pengawasan pre-market, Ombudsman menilai BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (uji mandiri). Selain itu, Ombudsman juga menilai ada kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan. Tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar wajib dimaksimalkan oleh BPOM.

Adapun menangani potensi malaadministasi post-market control, Ombudsman menilai dalam tahapan itu perlu adanya pengawasan BPOM pascapemberian izin edar. Pada poin potensi malaadministasi selanjutnya Ombudsman menilai BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar.

Ia minta pemerintah untuk serius menanggapi ini sebagai bentuk tindakan korektif mereka, paling tidak hak atas informasi itu terpenuhi, penjelasan dan sosialisasi yang masif harus dilakukan, dan kemudian juga harus ada langkah-langkah luar biasa yang dilakukan.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga Senin (24-10), jumlah gangguan ginjal akut mencapai 251 kasus yang berasal dari 26 provinsi di Indonesia. Sekitar 80 persen kasus terjadi di Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali, Banten, dan Sumatera Utara. Persentase angka kematian sekitar 56 persen atau sebanyak 143 kasus. Penambahan enam kasus, termasuk dua kematian, yang dilaporkan bukanlah kasus baru.

Pemerintah telah mendatangkan obat antidotum Fomepizole dari Singapura dan Australia yang masing-masing sebanyak 26 vial dan 16 vial. Obat itu akan diimpor kembali sebanyak ratusan vial dari Jepang dan Amerika Serikat untuk didistribusikan ke rumah sakit rujukan pemerintah. Masyarakat bisa mendapatkan penawar itu secara gratis.

Hindari obat sirop

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menganjurkan orang tua untuk menghindari pemberian obat sirop parasetamol bagi anak yang sedang mengalami demam sebagai bentuk kewaspadaan terhadap gagal ginjal akut.

Saat ini sudah terlalu banyak produk obat antibiotik beredar di pasaran, termasuk yang mengandung parasetamol. Bahkan produk tersebut kerap menjadi jalan instan bagi orang tua dalam menurunkan demam anak. Anjuran tersebut merupakan sistem kewaspadaan dini yang bisa diterapkan orang tua berdasarkan pembelajaran dari kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak di sejumlah daerah di Tanah Air .

Orang tua diajak kembali pada metode pengobatan konservatif untuk menurunkan demam pada anak, salah satunya dengan diberikan istirahat yang cukup dan tidak menggunakan antibiotik.

Menghadapi masalah tersebut, orang tua diminta tetap waspada namun tidak boleh panik.