JAKARTA - Hari ini, 75 tahun yang lalu, atau tepatnya 3 Januari 1946, Ibu Kota Republik Indonesia sempat dipindahkan ke Yogkarta. Pemindahan tersebut dilakukan atas alasan keamanan.
Rencana itu bahkan ditawarkan langsung oleh Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Namun, saat itu, perpindahan Ibu Kota tak dipersiapkan dengan matang.
Dikutip dari Wiharyanto A.K. dalam buku Sejarah Indonesia Baru II (2009), tawaran dari Sultan HB IX langsung disambut baik oleh Bung Karno dan para pejabat tinggi negara. Persiapan kepindahan ibu kota pun langsung dirembuk dalam sidang kabinet tertutup.
“Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda, aku juga tidak,” ucap Presiden Soekarno dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Akan tetapi, proses pemindahan tidak terencana dengan baik. Bahkan, sebagian pejabat dan menteri tidak mengetahuinya. Keputusan ini diambil karena memang keadaan yang cukup mendesak. Sebab, peningkatan aksi teror yang dilakukan oleh militer Belanda sedang tinggi-tingginya.
Oleh sebab itu, pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta adalah solusi paling logis yang dapat dilakukan saat itu. Hal itu juga jadi sebentuk protes dingin Republik Indonesia kepada Sekutu. Setelahnya, Wali Kota Jakarta, Suwiryo mendatangi Soekarno untuk menjamin keamanan Jakarta.
Melansir Harian Kompas, 29 Desember 2004, saat itu, rombongan yang turut serta pindah ke Yogyakarta menaiki rangkaian kereta api yang khusus diparkir di belakang kediaman Presiden Soekarno. Kemudian, presiden, wakil presiden, beserta keluarga masing-masing, dan beberapa menteri menyusup menaiki kereta tersebut dengan lampu gerbong yang dipadamkan.
Dikutip dari Kompas.com, kereta api khusus tersebut berhasil melewati pos militer Belanda di Bekasi. Di Stasiun Tugu menjelang subuh, sudah hadir Sultan HB IX, Paku Alam VIII, dan Jenderal Soedirman, untuk menyambut kedatangan Sukarno dan kawan-kawan.
Sehari setelah rombongan Presiden tiba di Yogyakarta, pihak Sekutu di Jakarta baru diberi tahu secara resmi oleh Kementerian Luar Negeri RI mengenai kepindahan Presiden ke Yogyakarta. Namun, pusat pemerintahan kembali terancam saat Belanda melakukan agresi militer II pada 19 Desember 1949. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".
Sementara itu, seluruh biaya operasional pemerintahan dan para pejabat RI selama berada di Yogyakarta ditanggung oleh Keraton Yogyakarta juga dibantu oleh Kadipaten Pakualaman, lantaran kondisi keuangan negara kala itu sedang sangat buruk, bahkan kosong. Berkat itu, Sumbangsih Yogyakarta bagi kemerdekaan cukup besar. orang-orang kemudian mengenal kawasan tersebut sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta.