JAKARTA - Jakarta masih berstatus sebagai ibu kota negara Republik Indonesia (RI). Status Jakarta tidak akan berubah sebelum Presiden Prabowo Subianto menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) soal pemindahan ibu kota.
Polemik dan perdebatan status ibu kota ini mulai dirasakan saat pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran. Selain itu ada yang perlu diperhatikan dengan baik, yakni status Ibu Kota Nusantara setara dengan provinsi dalam bentuk otorita. Artinya, bisa bermakna tanpa gubernur dan DPRD dan berpotensi menimbulkan kesewenangan kekuasan.
Ibu kota negara merupakan pusat pemerintahan dan administratif suatu negara. Kota ini biasanya menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan tertinggi seperti istana kepresidenan, gedung parlemen, dan kementerian-kementerian. Selain itu, ibu kota juga sering menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, dan budaya sebuah negara.
Dalam konteks Indonesia, ibu kota negara memiliki peran strategis sebagai pusat koordinasi pemerintahan nasional, simbol persatuan dan kedaulatan negara, lokasi kantor-kantor perwakilan diplomatik negara asing, pusat perencanaan dan pengambilan kebijakan nasional dan barometer pembangunan serta kemajuan negara.
BACA JUGA:
Penetapan dan perpindahan ibu kota negara merupakan keputusan politik yang sangat penting dan strategis. Hal ini tidak hanya berdampak pada aspek administratif pemerintahan, tetapi juga mempengaruhi berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara secara luas.
Sejatinya, perpindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN bukan kali pertama. Sebelumnya, ibu kota negara Indonesia juga pernah berpindah-pindah. Pada 4 Januari 1946, ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta setelah Jakarta makin tidak kondusif dengan kedatangan pasukan sekutu dan NICA. Proses pemindahan ibu kota ke Yogyakarta dilakukan secara rahasia pada malam hari menggunakan kereta api. Rombongan pemerintah termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tiba di Stasiun Tugu pada dini hari 4 Januari 1946.
19 Desember 1948, ibu kota darurat dibentuk di Bukittinggi. Saat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948, pemerintah RI terpaksa membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kota ini kemudian menjadi ibu kota darurat selama beberapa bulan.
Peran Bukittinggi sebagai ibu kota darurat berakhir setelah Yogyakarta berhasil direbut kembali melalui Serangan Umum 1 Maret 1949. Meski singkat, periode ini menunjukkan ketangguhan dan fleksibilitas pemerintah RI dalam mempertahankan kedaulatan negara di tengah situasi yang sangat sulit.
Tapi, seperti diuraikan di atas, perpindahan ibu kota di masa lalu disebabkan oleh situasi peperangan paska Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Sementara, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN yang dicanangkan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) justru menuai polemik dan kontroversi. Dimulai dari proses pembahasan RUU IKN yang disebut peneliti Formappi, Lucius Karus menjadi rekor tercepat dalam sejarah pembuatan undang-undang.
Pasalnya, proses pengesahan RUU IKN hanya membutuhkan waktu efektif tak kurang dua pekan sejak tim panitia khusus (Pansus) IKN DPR dibentuk 7 Desember 2021. Setelah pembentukan Tim Pansus, DPR menggunakan waktu efektif selama sepekan. Sepekan setelahnya, mulai 16 Desember memasuki masa reses selama sebulan hingga awal Januari 2022.
“DPR kembali menjalani masa sidang di awal 2022 mulai 11 Januari, sebelum RUU IKN disahkan pada Selasa 18 Januari 2022. Jadi seminggu sebelum reses, seminggu setelah reses itu kalau dikurangi Sabtu-Minggu, tidak sampai dua minggu RUU ini diketok palu dan disahkan menjadi UU,” tukas Lucius.
Molornya pemindahan ibu kota diakui sang pencetus, Jokowi. Menjelang lengser, tepatnya tanggal 6 Oktober lalu, Jokowi malah berpesan agar tidak buru-buru memutuskan untuk pindah ke IKN. Pihaknya meminta untuk memastikan IKN layak huni sebagai sebuah kota yang memiliki fasilitas lengkap sebelum akhirnya Keppres terkait pemindahan ibu kota diteken.
“Semuanya ada kan ini butuh waktu, memindahkan ibu kota itu sekali lagi butuh waktu. Pindah rumah aja ruwetnya kayak gitu, ini pindah ibu kota jadi jangan kejar-kejar sehingga belum siap kita paksakan, akhirnya, nggak baik,” ungkapnya.
Bahkan, pada akhirnya Jokowi “melimpahkan” tanggung jawab untuk menandatangani Keppres pemindahan ibu kota ke IKN pada Presiden Prabowo Subianto. “Keppresnya bakal diteken oleh presiden terpilih Prabowo Subianto ketika sudah resmi menjabat nantinya,” tuturnya.
Mensesneg Prasetyo Hadi mengungkapkan, Presiden Prabowo Subianto masih menunggu kesiapan sebelum resmi menandatangani Keppres terkait kepindahan ibu kota ke IKN. Tapi dia memastikan bila Presiden Prabowo akan menandatangani Keppres tersebut setelah semuanya siap. “Ya nanti kita lihat, kita pelajari, begitu semua sudah ready, semua siap, beliau yang akan tanda tangan,” katanya usai Retret menteri di Akmil Magelang, Jawa Tengah, Minggu 27 Oktober 2024.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menjelaskan, tidak ada target atau deadline soal penandatanganan Keppres pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN Nusantara. Dia menegaskan, Presiden Prabowo ingin meneken Keppres setelah gedung DPR dan Mahkamah Agung (MA) di IKN tuntas.
“Kan sudah jelas presiden menyatakan komitmen untuk pemindahan ibu kota itu pasti tetap akan Presiden selesaikan. Yang pasti, soal deadline-nya, karena Pak Presiden Prabowo menginginkan seluruh sarana dan prasarana dasar, ya, baik itu legislatif, eksekutif dan yudikatifnya terpenuhi, itu aja,” tandasnya.
Belum ditandatanganinya Keppres pemindahan ibu kota menimbulkan pertanyaan soal status Jakarta sebagai ibu kota negara. sebab, Jakarta sudah bukan daerah khusus ibu kota lagi berdasarkan UU DKJ. Terlebih, DPR juga baru mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) melalui rapat paripurna, Selasa 19 November lalu.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta rakyat Indonesia tidak perlu resah soal keberadaan ibu kota negara saat ini. Dia menegaskan bahwa IKN belum berstatus sebagai ibu kota. Artinya, ibu kota negara saat ini masih berkedudukan di Jakarta. Mendagri lantas merujuk salah satu bunyi klausul dalam UU IKN yang menyebutkan ibu kota secara definitif baru akan pindah setelah dikeluarkan Keppres. “Masih di Jakarta. Kan di situ ada satu pasal di Undang-Undang IKN, bahwa status ibu kota dari Jakarta IKN akan ditetapkan dengan keputusan presiden,” tegasnya.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menambahkan, UU DKJ akan berlaku setelah Presiden Prabowo Subianto menandatangani Keppres pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN Nusantara. Karena itu, ibu kota RI tetap berada di Jakarta.
Dia mengatakan, revisi UU DKJ yang baru disahkan untuk mengantisipasi adanya kekosongan hukum setelah Keppres pemindahan ibu kota ditandatangani presiden. “Karena itu kita mengantisipasi bahwa jangan sampai nanti begitu keppres ditandatangani, sekarang kan pemilihan masih Gubernur DKI Jakarta tapi kalau nanti perubahan nomenklaturnya setelah Keppres kan harusnya Gubernur Daerah Khusus Jakarta,” terangnya.
“Begitu juga anggota DPR-nya, anggota DPD-nya, daerah pemilihan DPD-nya itu sama. Nah memang yang memang kemarin terlewati itu sehingga perlu untuk disempurnakan untuk mengantisipasi supaya jangan ada kekosongan hukum nantinya,” tambah Supratman.
Mantan Ketua Badan Legislasi DPR ini kembali menegaskan bila UU DKJ baru berlaku usai Presiden Prabowo mendatangi Keppres.
“Di UU DKJ itu dinyatakan berlaku setelah Keppresnya ditandatangani, sehingga proses pilkada saat ini adalah masih memilih Gubernur Daerah Khusus Ibu kota Jakarta. Ini cuma antisipasi jangan sampai karena kan menjelang pemilu nih. Menjelang Pilkada di tanggal 27 supaya tidak menimbulkan kesimpangsiuran ini yang dipilih gubernurnya siapa, gubernur daerah mana sudah jelas bahwa yang dipilih itu Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Tapi, otomatis setelah Keppresnya ditandatangani nomenklatur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta beralih menjadi Daerah Khusus Jakarta,” ujar Supratman.
Wakil Ketua DPR, Adies Kadir juga menegaskan bahwa status Jakarta masih sebagai ibu kota negara meski revisi UU DKJ telah disahkan. Hal ini terbukti dengan mekanisme Pilkada Jakarta yang masih menggunakan aturan saat ini, dimana pemenang harus meraih suara 50 persen plus satu, bukan seperti daerah lain yang menerapkan mekanisme peraih suara terbanyak.
“Khusus Jakarta kan memang 50+1 untuk menang, karena dulu pertimbangannya adalah sebagai ibu kota. Dan di pilkada (besok) kan masih sama mekanismenya, tidak berubah cuma satu putaran atau suara terbanyak langsung menang. Jadi revisi (ini) terbatas saja untuk menutupi kekosongan hukum. Justru ini direvisi agar pilkada ini bisa berjalan dengan lancar baik dan tidak ada cacat hukum kekosongan hukum,” terang Adies.