Bagikan:

JAKARTA - Perang dapat memunculkan bencana kelaparan bukan pepesan kosong belaka. Seisi Vietnam pernah merasakannya. Kondisi itu berlangsung kala berakhirnya Perang Vietnam pada 1975. Isu kelaparan muncul di mana-mana.

Pemerintah Komunis Vietnam pun ambil sikap. Reformasi ekonomi digulirkan pada era 1986. Kebijakan Doi Moi, namanya. Kekurangan pangan dijawab aksi nyata. Penanaman padi dilakukan secara besar-besarnya. Hasilnya Vietnam berhasil mewujudkan swasembada beras.

Gelar Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang kerap ikut campur politik negara lain tak terbantahkan. Kondisi itu hadir dalam Perang Vietnam yang bermula pada 1950-an. AS memberikan bantuan militer dan ekonomi kepada Vietnam Selatan untuk menghancurkan Vietnam Utara yang berkiblat Komunis.

Kondisi itu nyatanya harus dibayar mahal kala perang telah usai. Seisi Vietnam kemudian merasakan dampak perang yang membawa nestapa. Alih-alih dapat langsung hidup damai, seisi Vietnam langsung dihantam fakta menyakitkan.

Penggilingan padi Hanh Phuc di Provinsi An Giang, Vietnam yang merupakan penggilingan padi terbesar di Asia dengan kapasitas 1000 ton per hari. (Hanoi Times/Dan Viet)

Kondisi ekonomi jatuh pada level terendah. Kondisi kian parah dengan bencana kelaparan mulai melanda seisi Vietnam. Pemerintah Komunis Vietnam yang berkuasa pun dilanda kebingungan. Mereka mulai merumuskan langkah-langkah strategis untuk membangun kembali Vietnam. Namun, urusan membangun setelah perang bukan hal mudah.

Ketiadaan dana jadi musabab. Empunya kuasa jadi mengandalkan bantuan dari berbagai bangsa untuk dapat membangun kembali Vietnam. Sederet bantuan itu digunakan untuk menambal dulu perihal kebutuhan pangan rakyat.

Kondisi itu membuat periode pembangunan ekonomi Vietnam bak jalan ditempat. Semuanya karena ketiadaan banyak tenaga ahli. Sebuah kondisi yang membuat Vietnam diprediksi tak banyak melakukan gebrakan.

Nyatanya, prediksi itu tak sepenuhnya benar. Bantuan-bantuan, utamanya dari Uni Soviet membuat Vietnam dapat membangun banyak hal. Pemerintah komunis pun bergerak dengan cepat. Mereka mencoba merangkumkan rencana reformasi ekonomi.

Aktivitas bongkar muat beras untuk keperluan ekspor di Vietnam. (Socialist Republic of Vietnam)

“Dengan penuh semangat mereka berbicara tentang kemenangan rakyat atas imperialisme dan gambaran-gambaran masa depan yang akan lebih jaya. Para politisi yang bepengalaman sibuk menyusun sebuah pemerintahan komunis yang ulet, yang dianggapnya akan dengan sendirinya bisa menciptakan sebuah negara besar dengan pabrik-pabrik raksasa. Baik negeri-negeri demokrasi Barat maupun rezim-rezim komunis, semua bersedia mengulurkan tangan memberikan bantuannya.”

“Hanya dalam waktu dua bulan setelah Vietnam mengatakan apa yang dibutuhkan, kota-kota pelabuhan telah penuh sesak dengan barang-barang bantuan. Tetapi ada ketidaksepakatan dalam bantuan tersebut, justru dalam hal yang paling penting. Orang-orang Vietnam yakin, bahwa mereka akan bisa mengerjakan dan melaksanakan proyek bantuan tersebut dengan baik sendiri. Sementara orang tahu bahwa hal tersebut tidak mungkin,” tertulis dalam laporan majalah tempo berjudul Bantuan untuk Hanoi: Nada Kecewa (1976).

Swasembada Beras

Perang Vietnam yang membuat rakyat kelaparan dan terisolasi jadi alasan pemerintah komunis melakukan gebrakan. Program reformasi ekonomi yang dikenal ambisius, Doi Moi digulirkan pada 1986. Doi Moi yang berarti pembaharuan digulirkan supaya Vietnam keluar dari kelaparan dan krisis ekonomi.

Kebijakan Doi Moi jadi senjata Vietnam bangkit dalam keterpurukan. Apalagi, di sektor pertanian. Kebijakan itu membuat pemerintah Vietnam berfokus menghilangkan persoalan kelaparan dari bumi Vietnam.

Pemerintah komunis berambisi tak lagi mengandalkan impor beras dari negara lain. Mereka ingin makan dengan usaha sendiri. Penanaman beras skala besar digaungkan. Empunya kuasa pun membentuk koperasi untuk mendukung dan memajukan petani.

Area persawahan dengan sistem terasering yang menakjubkan di Mu Cang Chai, Provinsi Yen Bai, Vietnam barat. Sebanyak 82 persen wilayah di Vietnam dimanfaatkan untuk persawahan, tak terkecuali di wilayah pegunungan seperti Mu Cang Chai. (Indochina Voyages)

Dukungan itu diberikan secara maksimal. Pemerintah komunis coba mengangkat hajat hidup kaum tani. Pemerintah mulai menyediakan pelatihan, lahan, pupuk murah, dan peralatan.

Pemerintah juga mulai berinvestasi besar untuk membangun infrastruktur yang mendukung lancarnya produksi beras. Semuanya bertujuan untuk meningkatkan produksi petani dan pendistribusian beras jadi efesien.

Hasilnya gemilang. Vietnam berhasil memperoleh swasemba beras. Suatu fase bagi Vietnam yang mulai mampu menyediakan sendiri kebutuhan pangan bagi masyarakatnya. Vietnam yang awalnya jadi negara yang sering impor beras, justru menjelma jadi negara pengekspor.

Manfaat kebijakan Doi Moi di sektor pertanian pun dirasakan oleh seisi Vietnam hingga kini. Negara itu menjelma jadi salah satu pengekspor besar beras dunia. Bahkan, kini Vietnam mampu mengalahkan Thailand menjadi nomor satu pengekspor beras di kawasan Asia Tenggara.

“Setelah reformasi, hasil padi meningkat 3,23 persen setiap tahun pada periode 1981-1987 dan 2,80 persen setiap tahun pada periode 1988-1995. Total produksi padi meningkat 3,14 persen setiap tahun pada periode 1981-1987 dan 5,19 persen setiap tahun pada periode 1988-1995. Hasil padi tahunan per kapita (kasar) juga stabil pada periode 1976-1981 yaitu sekitar 217 kilogram (kg).”

“Selama dua puluh tahun berikutnya, output per kapita hampir dua kali lipat. Hingga pada tahun 1989 Vietnam mampu swasembada beras, dan berubah dari negara pengimpor beras menjadi negara pengekspor beras pada 1990-an bahkan terbesar kedua di dunia setelah Thailand,” terang Dina Srirahayu dalam tulisannya di Jurnal Kajian Wilayah berjudul Upaya Memperkuat Posisi Beras Vietnam di Pasar Global Melalui Branding (2020).