JAKARTA - Bagi sebuah negara, derasnya impor produk luar negeri adalah bencana. Banyak sektor usaha gulung tikar jadi gejala utama. Impor bahkan merugikan rakyat, juga negara. Di Indonesia, arus impor kian deras. Kondisi itu begitu menyedihkan. Dari bahan pokok hingga kebutuhan sehari-hari banyak yang jadi komoditi impor. Pada era Orde Baru (Orba), Soeharto sudah mencium gelagat itu.
Sebagai Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto menggelorakan kampanye “Cintai Produk Indonesia”. Upaya itu dijadikannya sebagai bentuk cerminan mencintai Tanah Air. Proses peralihan dari era Orde Lama (Orla) Soekarno menuju era Orba Soeharto menjadi salah satu periode terberat bangsa ini.
Berbagai kebijakan –-pembangunan dan perdangangan-- dikerahkan pasca krisis 1960-an. Apalagi, kondisi ekonomi pada masa Orla belum stabil. Alhasil, perubahan adalah kunci utamanya. Semenjak itu, Kebijakan politik luar negeri di bawah pemerintah Soeharto tidak lagi konfontatif, melainkan lebih bersahabat. Demikian pula dengan kebijakan ekonomi, Indonesia mencoba untuk lebih realistis dan membuka diri.
Ajian itu dilengkapi pula dengan berbagai kebijakan fiscal dan perdagangan. Tujuannya agar menyehatkan keuangan negara. Pemerintah mulai meluaskan akses pendidikan, sarana kesehatan, membangun lapangan kerja, dan mendirikan ragam fasilitas lainnya. Hingga menggencarkan kampanye cinta produk sendiri. Tentu saja semua itu dilakukan masih berkonsep “trial and error". Lantaran masih kurangnya pengalaman praktis dalam membangun dan menjalankan pemerintahan.
“Sehingga misalnya, pembangunan yang dijalankan Orba terlalu didominasi dan dipaksakan pada pembangunan ekonomi secara makro dengan tip-down approach. Secara keseluruhan, walaupun terdapat keselahan sana-sini harus diakui secara jujur adanya hasil pembangunan Orba pada 1970-an. Tak bisa dibantahkan misalnya, adanya perbaikkan kehidupan rakyat banyak dibandingkan dengan zaman sebelumnya,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2019).
Perbaikan itu dapat dirasakan oleh segenap masyarakat Indonesia. Utamanya karena terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih luas. Masyarakat kemudian merasakan meningkatnya pendapatan perkapita untuk sementara waktu.
Firman Lubis yang telah hidup di zaman Orba bahkan secara jujur merasakan sendiri dampaknya di Jakarta. Meski begitu, ia mengakui dalam peta nasional Jakarta memang mendapatkan kue pembangunan besar, melebihi pembangunan provinsi lain. Boleh jadi di Jakarta saja yang berkembang, namun di daerah lain masih banyak terdapat kesukaran.
“Namun demikian, di balik adanya perbaikan kehidupan terutama dari segi ekonomi, terdapat pula beberapa perkembangan negatif yang mulai Nampak pada 1970-an ini. Perubahan secara bertahap pemerintahan Soeharto menjadi otoriter militeristik menimbulkan berbagai ekses yang cukup fatal. Antara lain yang cukup parah ialah meningkatnya praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), terutama di jajaran pemerintahan tingkat tertinggi yang memuncak 1980-an,” tambah Firman Lubis.
Buahnya, pemerintah Orba mulai menutup diri dari kritikan. Mereka yang kritis dibungkam, pers yang bersuara lantang dibuat mati suri. Perkara itu, ditambah pula oleh tindakan represif aparat yang siap sedia bertindak jika ada upaya menjelek-jelekan pemerintah. Semua itu makin paripurna ketika narasi Indonesia menyambut perdagangan bebas mulai menjadi ancaman dari pengusaha lokal. Senapas dengan itu, kampanye “Cintai Produk Indonesia” mulai dilgulirkan oleh Soeharto.
Cintai produk Indonesia
Selama kepemimpinannya, presiden yang berjuluk The Smiling General acap kali menggelorakan semangat cintai produk Indonesia. Dalam tiap kesempatan, Soeharto bahkan selalu menyelipkan kampanye itu. Cintai produk Indonesia, kata Soeharto adalah cerminan dari sikap mental yang nasionalis dan cinta Tanah Air.
Pada 1995, Kampanye itu pernah digelorakan oleh Soeharto saat dirinya memberikan pidato kepada 150 peserta Munas Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), di Tapos, Bogor. Soeharto sadar produk buatan luar negeri telah bebas masuk Indonesia.
Produk itu juga telah membanjir pasaran. Namun, Soeharto optimis bahwa industri dalam negeri dapat bangkit. Menurutnya, suatu saat produk dalam negeri dapat bersaing secara mutu dan harga dengan produk luar negeri. Guna mencapai cita-cita itu, orang Indonesia diingatkan untuk terlebih dulu membeli produk Indonesia.
“Jika kita tinggalkan barang buatan sendiri, industri tutup kemudian timbul pengangguran, akhirnya yang ada adalah kemelaratan. Ini bukan cita-cita kita,” ujar Soeharto dikutip buku Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita (2008).
Pada kesempatan itu, Soeharto juga mengingatkan bahwa sikap Indonesia mendukung perdagangan bebas bukan berarti falsafah Indonesia mengarah ke sistem Liberalisme. Sebab, perdagangan bebas justru jadi ajang Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Oleh sebab itu, Soeharto berpesan agar masyarakat Indonesia memiliki mental kuat. Terlebih supaya berani bersaing dari segi mutu, biaya, dan lain sebagainya.
Presiden Indoensia itu lalu berpesan supaya masyarakat Indonesia lebih jeli melihat peluang. Bukan melulu modal keberanian. Soekarno menganalogikan orang Indonesia harus memiliki semangat seperti pesilat, bukan petinju amatir yang sekali pukulan langsung tumbang.
“Tetapi gunakan gaya silat, yang walaupun dengan tubuh tidak kekar, tetapi mampu menjatuhkan Iawan,” katanya.
Apa yang diucap oleh Soeharto bukan pepesan kosong belaka. Jauh sebelum menggelorakan semangat cintai produk Indonesia di acara PRSSNI, Soeharto lebih dulu berkomitmen untuk merebut pangsa ekspor sedari awal 1990-an. Tercatat, puluhan pabrik keramik, gelas, hingga kulit lokal telah dibangun untuk memajukan industri ekspor Tanah Air.
“Dari begitu banyak pabrik, ada tiga produk utama yang dihasilkan, yakni: keramik (dari 18 pabrik), produk gelas (dari 6 pabrik), dan produk kulit (dari 43 pabrik). Prospek ekspornya cukup menggembira-kan. Produk keramik, misalnya, bisa dijual ke Jepang dan Timur Tengah. Bahkan, barang jadi kulit sudah bisa bersaing di Eropa dan Amerika," ungkap Direktur Jenderal Aneka Industri kala itu, Soesanto Sahardjo dikutip Suhardjo HS dan Priyono B. Sumbogo dalam tulisan mereka di Majalah Tempo berjudul Merebut Pangsa Ekspor (1990).
ILustrasi:
1.2. Soeharto bersama tamu-tamunya| geheugen.delpher.nl
3. Momen Soeharto berpidato | geheugen.delpher.nl