Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 51 tahun yang lalu, 7 Oktober 1971, Tokoh Perfilman Nasional Misbach Yusa Biran merilis buku Miracolo Senen Raya. Buku yang kemudian dikenal dengan judul baru Keajaiban di Pasar Senen (2007) diterbitkan oleh rekannya sesama seniman, Ajip Rosidi dengan bendera Pustaka Jaya.

Isi bukunya tak kalah menarik. Buku Misbach tak melulu merekam anekdot belaka, tapi juga merekam sejarah panjang sebuah pasar yang jadi pusat pertemuannya para seniman. Dari Chairil Anwar hingga Soekarno M. Noer. Karenanya, munculah istilah Seniman Senen.

Pasar Senen pernah menjelma menjadi tempat kumpulnya segala macam kalangan. Dari tukang copet hingga pejuang kemerdekaan. Gairah Pasar Senen sebagai tempat perputaran duit ada di baliknya. Semua ingin kecipratan manfaat berada di senen.

Pejuang kemerdekaan, misalnya. mereka memanfaatkan Senen sebagai tempat berkumpul yang aman dan cari buku pada 1930. Saban hari Pasar Senen ramai dikunjungi kaum nasionalis itu. Perlahan-lahan magisnya Pasar Senen kian bertambah.

Kaum seniman Jakarta mulai melirik Pasar Senen sebagai pusat berkumpul pada 1940 hingga 1950-an. Seniman yang saban hari mampir ke Senen tak main-main. Si Binatang Jalang: Chairil Anwar, Soekarno M. Noer, Sjuman Djaya, serta Menzano.

Misbach Yusa Biran menerima penghargaan Satya Lencana Pembangunan yang diberikan Pemerintah Indonesia melalui Presiden Habibie pada 1999. (Perpusnas)

Nama-nama mentereng itu membuat label seniman naik kelas. Segenap anak muda Jakarta pun berbondong-bondong datang ke Senen. Mereka merasa jiwa seniman terfasilitasi. Bahkan, yang pura-pura seniman juga hadir. Demi pergaulan, gensi, dan karya.

“Pada waktu itu trem masih ada. Tempat perhentiannya berada di ujung barat jalan Kramatbunder. Di situ ada kios tempat minum dan di situlah para seniman muda sering berkumpul. Kemudian mereka dikenal dengan sebutan: Seniman Senen.”

“Kebanyakan mereka aktif dalam teater dan film seperti Wahid Chan, A.U. Muscar, Sukarno M. Noor, Ismed M. Noor, Djapoq Lampong, Imlhas Dyz's, dan lain-lain. Namun ada juga pengarang atau pelukis yang sering berkumpul di situ seperti Zen Rosdy, Soekanto S.A., A. Wakidjan, S.M. Ardan, dan beberapa orang lagi,” ungkap Sastrawan Ajip Rosidi dalam buku Lekra Bagian dari PKI (2015).

Fenomena itulah yang direkam oleh Misbach Yusa Biran. Ia menuliskan pengalamannya berjumpa Seniman Senen di Majalah Aneka dengan bumbu jenaka pada 1957-1959. Misbach pun menjadikan orang-orang pura seniman menjadi objek utama tulisannya. Yang mana, orang-orang itu dianggap hanya mengejar label seniman untuk menutupi jiwa pengangguran.

Pasar Senen pada era 1970an. (Wikimedia Commons)

Karyanya pun disukai orang banyak. Rekan-rekan Miscbach pun mendorong untuk mengumpulkan kembali karyanya dalam sebuah buku. Ajip Rosidi yang mulai membuka usaha penerbitan, Pusaka Jaya menawarkan kesempatan itu. Misbach pun mengamini. Akhirnya, Miscbach merilis buku legendarisnya Miracolo Senen Raya pada 7 Oktober 1971.

“Waktu dalam majalah Aneka, cerita yang dijadikan judul buku kumpulan sketsa ini adalah Miracolo Senen Raya, diilhami oleh judul film Miracolo a Milano (Keajaiban di Milan) karya sutradara neo-realis Italia, Vittorio de Sica. Memang, di daerah ‘kekuasaan’ yang pernah dikenal sebagai: Seniman Senen, terjadi keajaiban dalam arti keanehan, menakjubkan, dan sekaligus menggelikan.”

“Betapa tidak, di situ setiap waktu, terutama malam hingga dini hari, berkumpul seniman-seniman dari bermacam lapangan, termasuk pula seniman pura-pura. Seniman pura-pura inilah keajaiban itu, dan merupakan 95 persen yang disorot oleh H. Misbach Yusa Biran dalam buku ini,” terang Budayawan S.M. Ardan dalam kata pengantar di buku Miracolo Senen Raya.