Bagikan:

JAKARTA - Bagi generasi muda kekinian yang menginginkan karier gemilang dalam mengembangkan perusahaan rintisan atau startup, Silicon Valley, Amerika Serikat jadi semacam kiblat yang diimpikan. Di sana, perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, seperti Apple hingga Google bermarkas.

Kondisi seperti itu mirip-mirip seperti pemandangan yang terjadi di Pasar Senen yang berada di barat Jakarta pada tahun 1950-an. Saat itu, anak muda yang memiliki cita-cita jadi seniman menjadikan pasar sebagai sacred place alias tempat suci di mana mereka berkumpul guna bertukar ide, gengsi, dan karya.

Pasar Senen ialah sebuah pasar yang terletak di Jakarta Pusat serta berdiri sejak awal abad ke-20 dan hingga kini menjadi bagian dari kota yang tak pernah tidur: Jakarta.

Keajaiban di Pasar Senen

Gambaran tersebut hadir dalam karya dari Misbach Yusa Biran yang berjudul Keajaiban di Pasar Senen yang memuat 12 tulisan anekdot berisikan pemahaman bahwa pasar senen sungguh layak diberi label Silicon Valley-nya para seniman.

Seniman yang dimaksud adalah segala seniman. Baik seniman asli, orang-orang yang mengaku diri seniman untuk menutupi 'kegelandangannya', bahkan orang-orang yang berpura-pura menjadi seniman yang diulas secara jenaka.

Meski agak berbeda dengan Silicon Valley, Pasar Senen cukup memiliki kriteria sebagai tempat di mana ide-ide permbaharuan dihadirkan. Perbedaannya hanya letak fokus dari orang-orang yang berada di dalamnya.

Silicon Valley identik dengan orang-orang yang suka teknologi, serta Pasar Senen identik dengan orang-orang yang suka seni. Ada yang sukses menjadi seniman, ada pula mereka yang belum beruntung bahkan ngaku-ngaku sebagai seniman.

Potret inilah yang dijadikan tulisan Anekdot oleh Misbach Yusa Biran yang sebelumnya terbit di Majalah Aneka (sekitar tahun 1957 – 1959). Di zaman itu, banyak orang-orang yang hanya memanfaatkan status populer Pasar Senen sebagai rumah para seniman yang mendapat label anak Senen.

Salah satunya adalah Asmar yang sering kongko di tukang kue putu. Karakter Asmar ini lah yang menjadi tokoh dalam salah satu anekdot yang berjudul sama dengan buku Keajaiban di Pasar Senen. Dalam ceritanya, Asmar memang seniman. Tapi perkara karya belum jelas.

Dan rata-rata tak pernah ada yang mengetahui apa pun bentuk karya dari buah pikirnya selama menjadi seniman. Alhasil, penulis penasaran sehingga menarik kesimpulan bahwa Asmar ini adalah "satu-satunya seniman di wilayah Pasar Senen yang paling seniman tulen: 100%, 24 karat,” sebagaimana tertulis di halaman lima.

Hal itu diungkap karena melihat Asmar benar tak mau bekerja apa-apa, selain berpikir untuk seni. Hingga mau tak mau, sang penulis mengorbankan rokok sebatang yang dimilikinya untuk dibagikan kepada Asmar. Tujuannya, sebagai penyambung lidah agar seniman tersebut mau berterus terang perkara sesuatu yang mengganjal pikiran.

Jawaban yang didapat, Asmar mengakui ia hanya salah seorang yang memanfaatkan Pasar Senen sebagai medium menanti keajaiban saja. Yaitu, berharap berkah Pasar Senen dapat membuatnya menyambung hidup untuk hari-hari berikutnya.

Alhasil penulis pun iba. Uang Rp5 yang seharusnya menjadi jatah untuk rokok esok hari diberikan kepada Asmar. Terlihat jelas senyuman di muka Asmar dan ia pun berucap “Nah, kau percaya tidak? Keajaiban toh datang, meskipun baru sebagian. Percaya tidak?”

Cerita ini akan memancing tawa siapa pun yang membacanya. Apalagi empunya tulisan sudah skeptis menganggap Asmar memikirkan sebuah ide untuk berkarya. Malah, jadinya menanti keajaiban. Itu baru satu dari 12 anekdot lainnya yang siap mengocok perut para pembaca sekalian. Meski begitu, dalam tiap kisahnya, tak hanya muatan kelucuan saja yang ditampilkan. Karena didalamnya turut pula menuangkan kelebihan anak senen pada masa itu, semisal perkara idealism dan keberanian.

Menurut Biran sendiri, “Kelebihan anak Senen adalah berani mencoba apa saja, dan memang berkesan gila-gilaan. Seperti mementaskan sandiwara tanpa modal, mendirikan majalah baru, bikin monolog dimainkan satu orang saja. bahkan mendirikan lembaga pendidikan. Semua keberanian merupakan kelebihan utama seniman senen.”

Mental seperti itulah yang kini sulit ditemukan dalam kehidupan sekarang ini, bahkan di Silicon Valley sendiri yang kebanyakan menganut prinsip “ada dana, projek baru jalan.” Oleh sebab itu, orang yang terlahir dengan DNA sebagai seniman pada saat itu, sudah pasti bangga dengan label seorang seniman Senen yang sekalipun banyak diantara mereka tanpa karya, ingin duit tanpa mau kerja, serta berlagak lebih seniman dari seniman.

Akhir kata, dari buku Misbach Yusa Biran pembaca dapat paham bahwa gelar seniman sungguh menjadi hal yang sangat prestise pada masa itu. Selebihnya, penulis juga melukiskan pesan terkait hidup akan selangkah lebih indah jika orang-orang bisa menertawakan diri sendiri, pekerjaan, dan kehidupan, sekalipun kebesaran atau kejayaan pasar senen bagi seniman hanya tinggal cerita saja.

Judul Buku: Keajaiban di Pasar Senen

Penulis: Misbach Yusa Biran

Terbit Pertama Kali: 1971

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Jumlah Halaman: 177