Nasib Gundik Era Kolonial dan Hari Ini
Roebiam bersama kedua putrinya tahun 1920 (Sumber: Reggie Baay/Repro buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda 2010)

Bagikan:

JAKARTA - Kata "gundik" jadi perbincangan di jagat Twitter. Perbincangan muncul menyusul utas yang dibuat sebuah akun Twitter tentang dugaan perselingkuhan yang melibatkan sejumlah petinggi Garuda Indonesia.

Merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah gundik memiliki dua pengertian. Pertama adalah istri tidak resmi atau selir. Yang kedua, gundik juga dikonotasikan pada istilah perempuan peliharaan.

Sejarah menafsirkan gundik dengan definisi senada. Pendiri komunitas Historia, Asep Kambali mengatakan, istilah gundik muncul pada zaman kolonial sekitar tahun 1800-an. Dalam kemunculannya, istilah gundik digunakan untuk menggambarkan perempuan-perempuan yang dikawini tanpa dinikahi.

“Saya belum bisa memastikan istilah ini dari mana, tapi sepertinya istilah ini dari Bahasa Jawa atau Sanskerta. Kalau sekarang, istilah gundik itu istri siri, begitu. Dia bisa membantu urusan sehari-hari, mulai dari dapur hingga kasur. Tapi dia bisa ditinggal begitu saja, sesuai keinginan si tuannya,” tutur Asep, dilansir Kumparan, Selasa, 10 Desember.

Meski senada dalam definisi, sejatinya nasib gundik hari ini jauh berbeda dengan nasib gundik di zaman kolonial. Hari ini, istilah Gundik merujuk pada wanita simpanan para laki-laki berharta. Para gundik biasanya hidup dengan gaya hidup glamor dan dikelilingi barang mewah asupan lelakinya.

Di zaman Belanda

Pada masa kolonial, para gundik tak hanya dijadikan simpanan. Mereka juga dijadikan pelayan bagi orang-orang Belanda zaman dulu. Arsip surat kabar De Waarheid edisi 30 Oktober 1986 menceritakan praktik gundik menjadi suatu budaya yang diwarisi sejak masa kekuasaan VOC dan berlanjut hingga masa Hindia-Belanda.

Sejarawan Reggie Baay menuturkan, saat itu para lelaki Belanda memelihara gundik untuk melampiaskan kebutuhan biologis. Kondisi itu didorong oleh keberadaan mereka yang jauh dari istri yang menetap di Negeri Dam.

Tak hanya sebagai pemenuh hasrat seksual, para lelaki Belanda juga memanfaatkan para gundik untuk bekerja mengurus rumah dengan segala tugasnya, mulai dari menyapu, mengepel, hingga memasak. Menjadi gundik pada masa itu bukan jaminan pada kesenangan dan kemewahan seperti sekarang.

Roebiam bersama kedua putrinya tahun 1920 (Sumber: Reggie Baay/Repro buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda 2010)

Sejarah juga mencatat banyaknya gundik yang mendapat kekerasan dan penyiksaan. Seperti yang dikisahkan Van den Brand, anggota Raad van Justice, misalnya. Ia bersaksi menyaksikan hal mengerikan yang terjadi pada seorang gundik saat ia mengunjungi sebuah perkebunan di Deli, Sumatera Utara.

Van den Brand mengaku melihat seorang lelaki Belanda mengolesi cabai Spanyol yang dikenal super pedas ke alat kelamin sang gundik. “Bagi saya hal ini sangat keterlaluan, dan saya pun meneruskan perjalanan," katanya.

"Menurut yang saya dengar, sang gadis harus bertahan dalam keadaan demikian dari jam enam pagi sampai jam enam sore,” tambah Brand dalam laporannya, De Milioenen van Deli, seperti dikutip Historia.

Tineke Hellwig, lewat bukunya, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007) menjelaskan bahwa gundik tak memiliki hak apapun. Termasuk hak atas anak jika kegiatan seksual dengan para lelaki Belanda menghasilkan. Namun, di sisi lain, gundik juga membantu para lelaki Belanda mendalami bahasa dan budaya setempat.