JAKARTA – Sejarah hari ini, 47 tahun yang lalu, 25 Agustus 1976, Ketua Umum Majalis Ulama Indonesia (MUI), Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) menyebut sila pertama adalah akar Pancasila. Pernyataan itu ungkap Hamka dalam pertemuan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas).
Sebelumnya, kehadiran Pancasila disambut dengan gegap gempita. Pancasila dianggap narasi kebangsaan Indonesia yang sebenarnya. Sekalipun tak sedikit juga yang tak puas dengan hilangnya beberapa kata dari sila pertama.
Soekarno memiliki peran penting sebagai penggali Pancasila. Ia kerap merenungi butir-butir Pancasila dalam renungan panjangnya akan nasib kaum bumiputra. Hasilnya gemilang. Rumusan ideologi itu digelorakannya pada 1 Juni 1945.
Bung Karno menguraikan satu demi satu sila yang dimaksudnya. Pertama, kebangsaan Indonesia. Kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan. Ketiga, mufakat atau demokrasi. Keempat, kesejahteraan sosial. Kelima, ketuhanan.
Semua yang hadir dalam Gedung Chuo Sangi di Pejambon, Jakarta, menyambutnya dengan gegap gempita. Gemuruh tepuk tangan pun kian terdengar. Pun demikian dengan sorak sorai. Beberapa hari setelahnya, tokoh bangsa mulai menyesuaikan Pancasila dengan narasi Keindonesiaan.
Segenap tokoh bangsa dari kalangan nasionalis hingga agamis menyetujui jika perihal ketuhanan jadi yang utama. Namun, tokoh Islam meminta rumusan ‘ketuhanan yang maha esa’ harus ditambah dengan kalimat pengiring: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Perdebatan sengit terjadi. Keinginan itu sulit dilanggengkan. Sebab, Indonesia terdiri dari beragam agama. Semuanya kemudian menyepakati bahwa Pancasila untuk sila pertama cukup dengan narasi ketuhanan yang maha esa. Narasi itu dianggap mampu mewakili semua agama yang ada.
“Demi menjaga keutuhan bangsa pada saat-saat genting ini, mereka setuju untuk menghapuskan rujukan pada agama Islam dalam teks Mukaddimah Undang-Undang Dasar. Sebagai gantinya, Wahid Hasyim (ayah Abdurrahman Wahid: Gus Dur) mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan Yang Maha Esa, penambahan kata Esa menggarisbawahi keesaan Tuhan (tauhid) yang tidak terdapat pada agama lain.“
“Dengan demikian, Indonesia tidak menjadi negara Islam, namun menjadi negara monoteis. Presiden harus diangkat dari orang Indonesia asli, tanpa ketentuan jelas mengenai agamanya. Presiden, juga Wakil Presiden, bebas memilih upacara pengambilan sumpah jabatan, secara keagamaan atau janji,” ungkap Andrée Feillard dalam buku NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, bentuk dan Makna (1999).
Hilangnya kalimat pengiring kerap menjadi perdebatan di antara kelompok Islam dalam waktu yang lama. Mereka menganggap harusnya kalimat pengiring tak perlu dihilangkan. Sebab, kalimat pengiring itu mewakili Indonesia yang dihuni oleh mayoritas Islam.
BACA JUGA:
Ketua Umum MUI, Buya Hamka justru tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Baginya sila pertama telah disepakati oleh tokoh Islam pada 18 Agustus 1945. Narasi ketuhanan yang maha esa dirasanya cukup. Pun umat Muslim diminta untuk tinggal meyakini bahwa ketuhanan yang dimaksud adalah Allah. Bukan yang lain.
Ia menyebutkan bahwa sila pertama itu adalah akar utama Pancasila. Alias sila pertama jadi penentu dari hadirnya sila-sila lain. Artinya, percaya kepada tuhan membuat manusia bisa beradab, bersatu, dan adil. Semua itu diungkap Hamka dalam ceramahnya di pertemuan Wanhankamnas di Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 25 Agustus 1976.
“Hamka menyebutkan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa merupakan konsekuensi logis dari keempat sila lainnya, yaitu bahwa orang yang percaya kepada Tuhan pasti berperikemanusiaan. Orang yang percaya kepada Tuhan pasti mempertahankan persatuan Indonesia, pasti melakukan keadilan sosial, karena dia beriman kepada Tuhan dan karena persatuan Indonesia itu adalah janji kita sebagai bangsa yang sadar.”
“Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat tunggang atau akar tujuan dari Pancasila dan bangsa Indonesia, sedangkan keempat sila lainnya adalah akibat dari sila pertama. Hamka, misalnya, menjelaskan bahwa kemanusiaan adalah hasil yang timbul secara langsung dari keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan ia mengkritik berbagai teori tentang perikemanusiaan yang tidak dapat dijamin kejujurannya selama tidak didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa,” terang Adian Husaini dan Bambang Galih Setiawan dalam buku Pemikiran dan Perjuangan: M. Natsir & Hamka dalam Pendidikan (2020).