JAKARTA - Linkin Park mampu memberikan warna baru dalam panggung musik dunia di era 2000-an. Album perdana mereka Hybrid Theory sukses besar. Kesuksesan itu membuat dunia ingin menyaksikan langsung aksi personel Linkin Park bermain musik.
Tur dunia dilakukan Mike Shinoda (vokal, gitar), Brad Delson (gitar), Rob Bourdon (drum), Joe Hahn (Dj), Dave Farrell (bass), dan Chester Bennington (vokal). Nyatanya, mereka tak saja melakukan tur dunia. Mereka juga merekam lagu-lagu untuk album mereka yang baru: Meteora.
Setiap orang dapat bermimpi membentuk band yang kesohor di dunia. Namun, satu hal yang pasti, mimpi itu tak dapat diraih dengan mudah. Mike, Brad, Rob, Joe, Dave, dan Chester – yang belakangan bergabung-- merasakannya.
Anak muda dari Agoura Hills, California itu pernah membentuk band bernama Xero pada 1996. Genre yang dibawakannya adalah Nu Metal. Mereka susah payah menciptakan lagu. Namun, nama Xero kurang menarik dan baru berubah jadi Hybrid Theory kala mereka berjodoh dengan Warner Bros Record pada 1999.
Mereka pun mencoba menciptakan lagu-lagu dari kamar Mike yang sempitnya. Hasilnya 11 lagu yang menceritakan tentang emosional, kegagalan hidup dan ingkar janji muncul. Kehadiran lagu-lagu itu membuat mereka percaya diri. Namun, urusan nama lagi-lagi mengganjal.
Puncaknya band mereka dinamakan Linkin Park – dari nama taman di New York (Lincoln Park – kemudian jadi Linkin Park). Hasilnya nama Hybrid Theory digeser jadi nama album perdana mereka yang rilis pada 2000.
Album musik perdana Linkin Park pun memuat lagu andalan seperti Papercut, Crawling, One Step Closer, hingga In the End. Pucuk dicinta ulam tiba. Kehadiran Linkin Park mendapatkan sambutan positif. Barang siapa yang mendengar suara khas Chester, niscaya langsung jatuh cinta.
Album musik itu laris manis terjual di pasaran. Lagu-lagunya diputar di mana-mana. Kondisi itu membuat dunia bak siap menyambut bintang panggung musik baru: Linkin Park. Album itu mencapai penjualan fantastis 14 juta kopi dan jadi album terlaris pada 2001.
BACA JUGA:
Kepopuleran itu membuat mereka bersiap melakukan tur dunia. Banyak di antara penggemarnya ingin bernyanyi bersama Mike, Chester, dan kawan-kawan.
''Hybrid Theory, album perdana Linkin Park, menjadi album terlaris di negara itu tahun lalu. Album ini terdiri dari 11 lagu tentang hubungan yang gagal dan janji yang diingkari. Lagu-lagunya memiliki bait yang tenang, dihiasi dengan bagian gitar Brad Delson yang seperti laba-laba.”
“Kemudian chorus yang keras saat gitar Delson menghilang di tengah hiruk-pikuk. Joe Hahn menjaga keseimbangan dengan permainan Dj bertekstur yang terutama berfungsi untuk mengingatkan penonton bahwa ada DJ di atas panggung,” ujar Kelefa Sanneh dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul A Howl of Total Anguish with a Punch in the Head (2002).
Lahir dalam Perjalanan
Album musik Hybrid Theory mengubah hidup para personel Linkin Park. Mereka yang mulanya hanya band amatir dari California menjelma jadi bintang besar. Aksi panggung mereka dinantikan banyak orang. Tiada yang tak ingin mendengarkan Linkin Park memainkan lagu andalannya.
Ketenaran itu membuat Linkin Park memutuskan tur Dunia pada 2001. Mereka mencoba menjelajahi banyak kota di Negeri Paman Sam dan dunia. Nyatanya, mereka tak melulu menghabiskan waktu bersenang-senang belaka.
Linkin Park justru kepikiran untuk membuat lagu-lagu baru. Sebab, tur itu direncanakan akan berlangsung selama 18 bulan. Mereka dengan serius menciptakan karya baru untuk album kedua dari dalam bus. Mereka sampai menghasilkan 80 demo lagu – kemudian dipilih hanya 13 lagu saja.
Mereka tak terlalu mempermasalahkan keterbatasan alat selama proses kreatif di atas bus. Mereka hanya tahu berkarya dan segera memanfaatkan momentum spontanitas di perjalanan yang diadopsi ke dalam lagu. Momentum-momentum itu membuat mereka melahirkan karya fenomenal.
Lagu-lagu yang mampu digemari banyak orang muncul macam Somewhere I Belong, Faint, Numb, From the Inside, dan Breaking the Habit. Materi lagu yang notabene memuat emosi, kemarahan, hingga kesedihan dianggap mampu mengikuti jejak kesuksesan album perdananya.
Album Meteora pun dirilis pada 2003. Album itu langsung merebut hati banyak penggemar Linkin Park. Banyak yang menyebut musik yang dimainkan tak jauh berbeda dengan album Hybrid Theory. Makanya, banyak yang bilang Meteora tak lain Hybrid Theory jilid dua.
Penjualan album Meteora kian hari, kian menanjak. Personel Linkin Park pun mengungkap kesuksesaan itu bak menjadikan Linkin Park sebagai band penting dalam panggung musik dunia.
“Selain menjalani evolusi mereka sebagai musisi, keenam anggota Linkin Park juga menghadapi pengalaman dramatis selama tiga tahun terakhir. Di Hybrid Theory, mereka belajar menjadi sebuah band. Di Meteora, mereka menghadapi tekanan untuk menjadi bintang rock sejati – meskipun Chester, misalnya, tidak ingin perubahan status itu memengaruhi karyanya,” ujar James Hickie dalam tulisannya di laman majalah Kerrang berjudul The story of Linkin Park’s Meteora: “We’re not going to Worry about Uutselling Hybrid Theory (2023).