Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 23 tahun yang lalu, 14 November 2016, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifudin mengutuk keras pelaku pengeboman di depan gereja Oikumene Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Ia menyebut pelaku pengeboman sebagai orang tak beragama.

Sebelumnya, warga Kristiani Kaltim tampak larut dalam aktivitas ibadah Minggu di Gereja Oikumene. Petaka pun muncul. Seorang tak dikenal datang kala jemaat gereja baru selesai beribadah. Bom molotov pun dilemparnya dan memakan korban jiwa.

Aksi teror menggunakan narasi agama adalah tindakan yang paling keji. Mereka yang mengatanamakan agama lalu menyakiti atau membunuh orang lain bukanlah wujud suatu ajaran agama. Tindakan itu jelas mengganggu nuansa keberagaman di Indonesia.

Sekali lagi Indonesia diuji dengan munculnya aksi teror bom molotov yang meledak di depan Gereja Oikumene di Samarinda pada 13 November 2016. Ledakan itu terjadi kala umat Kristiani baru saja melaksanakan ibadah Minggu.

Tiba-tiba serorang tak dikenal melemparkan bom molotov di halaman gereja. Kondisi itu membuat pelaku dkejar dan melarikan diri. Warga akhirnya menangkap pelaku yang menggunakan baju bertuliskan Jihad, Way of Life. Namun, penangkapan itu tak membuat seisi Indonesia tenang.

Kegeraman justru muncul dari aksi bom molotov. Empat balita jadi korban luka-luka akibat bom molotov – satu di antara kemudian meninggal dunia di hari berikut. Aksi teror menggunakan tameng agama mendapatkan kecaman dari mana-mana.

Tak sedikit yang mempertanyakan nurani pelaku pengeboman. Pelaku pun dicap tak beragama. Kecaman juga muncul dari pemimpin ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU), Said Aqil Siradj. Ia mengutuk keras aksi pengeboman yang terjadi di Samarinda.

Pengeboman itu jelas bertentangan dengan ajaran agama. Pelaku dianggap pula tak memahami pemahaman terkait makna Pancasila, khususnya keberagaman Indonesia.

“NU mengutuk keras peristiwa kekerasan oleh  dan atas nama apapun. Termasuk yang pagi ini menimpa saudara kita di Gereja Oikumene, Samarinda,” tegas Said Aqil lewat akun Twitter/X @saidaqil, 13 November 2016.

Kecaman pun muncul pula dari Menag, Lukman Hakim Syaifuddin pada 14 November 2016. Ia mengutuk keras pelaku pengeboman. Lukman menganggap mereka sebagai orang yang tak beragama. Lukman mendasari pemikirannya karena semua agama melarang perusakan rumah ibadah.

Kerusakan yang diakibatkan pengeboman di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur pada 14 November 2016. (ANTARA/Amirullah)

Semua agama dianggapnya takkan mentolerir perilaku kekerasan, apalagi membunuh sesama manusia. Hidup di Indonesia pun sudah tentu harus menjunjung tinggi keberagaman. Keberagaman adalah wajah Indonesia yang sejati. Wajah itu yang harusnya dijaga, bukan dilawan, apalagi dianggap musuh.

Lukman pun mengajak seluruh masyarakat Indonesia mendukung kepolisian mengusut tuntas pelaku pengeboman. Pihak  kepolisian niscaya dianggapnya akan mengungkap siapa saja yang terlibat dalam pengeboman, jaringan hingga dukungan.

“Intinya, tindakan peledakan bom di rumah ibadah gereja itu bukanlah tindakan yang dilakukan oleh ummat beragama,” ujar Lukman usai meresmikan Gedung Balai Nikah dan Manasik Haji di Kecamatan Kota Kabupaten Sumenep sebagaimana dikutip laman sumenepkab.go.id, 14 November 2016.