JAKARTA - Pemerintah DKI Jakarta tak pernah kehabisan akal bersentuhan dengan warganya. Mereka kerap membuka corong aduan dengan beragam cara. Ada yang mengandalkan koran. Ada juga yang mengandalkan aduan lewat wara-wiri blusukan.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) punya cara sendiri. Gubernur DKI Jakarta era 2014-2017 itu membuka banyak ruang pengaduan. Warga Jakarta bisa mengadu via pesan singkat. Ada pun ajian yang paling populer adalah membuka meja pengaduan di Balai Kota.
Upaya memimpin DKI Jakarta tak pernah mudah. Pemimpinnya harus mampu membaca cepat apa masalah yang dihadapi warganya. Namun, tiap pemimpin punya caranya masing-masing. Dulu kala Ali Sadikin melakukan ajian blusukan dan aktif membaca koran.
Gubernur Jakarta era 1966-1977 itu melakukan kunjungan ke berbagai tempat secara incognito, dari terminal hingga perkampungan. Sisanya saban hari Ali kerap memantau koran untuk melihat keluhan warga Jakarta.
Ajian itu membuatnya mampu merumuskan kebijakan yang tepat guna. Pemimpin Jakarta era kekinian macam Joko Widodo (Jokowi) juga melakukan hal yang sama. Gubernur DKI Jakarta 2012-2014 itu memilih opsi blusukan.
Opsi itu sering dilakukannya supaya dapat menyerap banyak aspirasi dari warga Jakarta. Beda hal dengan wakilnya Ahok. Ahok jarang memilih opsi blusukan. Ahok lebih banyak memilih memanfaatkan teknologi informasi kekinian.
Ia menerima aduan lewat situs Jakarta Smart City. Sisanya, ia kerap membagikan tiga nomor telponnya kepada warga Jakarta. Nomor-nomor itu dikelola langsung oleh asistennya. Ajian itu dilakukan supaya warga Jakarta langsung saja mengirimkan keluhannya via pesan singkat (SMS).
Opsi itu jadi tempat aduan favorit warga Jakarta. Sebab, warga Jakarta tak perlu repot-repot menggunakan tenaga ekstra. Warga Jakarta tinggal duduk santai. Buka telpon genggam dan mengetik aduan. Ahok pun tak jarang membaca aduannya langsung.
Aduan yang masuk nantinya akan ditangani satu per satu. Namun, tiada waktu pasti kapan aduan dapat dikerjakan. Bisa segera ditangani, bisa pula menunggu waktu.
“Tak heran, jumlah SMS yang masuk cukup membuat kita terheran-heran. Tahun 2013 tercatat ada 16 ribu pengaduan yang masuk ke nomor hotline Ahok dan yang direspons berkisar 50 persen. Adapun SMS yang masuk dari Januari 2014 hingga Juni 2014 tercatat sekitar 11.625 SMS. Ima Diah, salah satu asisten Ahok, pada Juli 2014 menyampaikan kepada wartawan bahwa SMS yang masuk sekitar 500-1.000 pesan per hari.”
“Isi pesan bukan hanya keluhan yang berhubungan dengan pelayanan publik dan fasilitas umum, tetapi ada juga yang berisikan SMS nyasar, ungkapan cinta, ekspresi penolakan serta aduan tentang orangtua yang memaksa anaknya memberikan cucu. Yang paling unik suatu kali ada warga yang meminta tolong dicarikan jodoh,” ujar Meicky Shoreamanis Panggabean dalam buku Ahok: Akal Politik Sehat (2016).
Meja Pengaduan
Sistem pengaduan yang dimanfaatkan Ahok kian beragam. Ia tak saja menyediakan aduan dengan memanfaatkan teknologi. Ia juga berpikir kadang kala orang butuh bertatap muka langsung. Mereka ingin menyatakan masalahnya langsung kepada rakyatnya.
Alhasil, Ahok mempertahankan meja pengaduan di Pendopo Balai Kota dari zaman Jokowi. Ahok lalu memodifikasinya dengan menyediakan empat set meja kayu ala Betawi kala ia naik jabatan jadi Gubernur DKI Jakarta. Meja itu jadi tempat warga Jakarta satu demi satu menyampaikan aduannya.
Kehadiran meja aduan itu tak hanya berupa simbol kedekatan antara pemimpin dan rakyat. Namun, mereka yang datang merasa masalah mereka dapat selesai jika mengadu langsung ke Ahok. Kelebihan metode meja pengaduan membuat warga Jakarta dapat langsung dicarikan solusi.
Biasanya meja aduan dibuka dari pukul 07:00 hingga 10:00. Mereka yang tak kebagian giliran dapat datang pada hari berikutnya. Ahok pun terjun langsung mendengarkan aduan. Namun, kalau aduan mulai banyak Ahok segera mengundang anak buahnya untuk mencatat keluhan.
SEE ALSO:
Ahoknya pun selalu antusias mendengarkan keluhan warga Jakarta. Apalagi, kala ia mengetahui jika kesalahan yang justru ada pada anak buah. Kadang kala saat itu juga emosi Ahok memuncak dan warga Jakarta melihat Ahok sebagai pemimpin yang galak dalam melihat ketidakadilan.
Kebijakan meja aduan pun terus eksis kala Ahok memimpin Jakarta. Kebijakan andalan itu baru tiada kala Anies Baswedan jadi pemimpin Jakarta yang baru. Gubernur DKI Jakarta era 2017-2022 itu memilih opsi aduan lain, ketimbang warga Jakarta repot-repot harus datang ke Balai Kota.
“Singkatnya, pertemuan dari pukul 18:00, sore itu baru selesai kira-kira pukul satu malam. Itu pun harus dingatkan asistennya, karena besok pagi pukul 08:00 beliau sudah harus ada di Balai Kota untuk menerima pengaduan-pengaduan warga. Besok paginya saya cek berita, beliau pukul 08:00 pagi sudah hadir di Balai Kota, walaupun malamnya pertemuan berlangsung sampai larut,” ungkap Renny Fernandez dalam buku Ahok di Mata Mereka (2017).