Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 23 tahun yang lalu, 11 November 2019, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tegaskan umat Islam tidak perlu salam pembuka lintas agama. Ketentuan itu karena setiap agama memiliki ajaran dan corak kepercayaan masing-masing.

Sebelumnya, salam pembuka lintas agama kian marak dilakukan oleh pejabat Muslim. Mereka yang melakukannya tak saja pejabat biasa, menteri hingga presiden pun turut melakukannya. Upaya salam lintas agama mereka yakini sebagai salah satu bentuk sikap menghargai keberagaman di Indonesia.

Keberagaman adalah kunci Indonesia jadi bangsa besar. Tokoh bangsa pun berlomba-lomba untuk mencari cara supaya persatuan dan kesatuan tetap terjaga. Ibu Negara Indonesia pertama, Fatmawati Soekarno tak mau kalah. Ia tak ingin perpecahan terjadi.

Ia jadi tokoh yang sering mempopulerkan salam lintas agama. Ia mempopulerkan tradisi salam tiga: Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, syalom, haleluya. Salam itu sengaja dikenalkan Fatmawati sebagai bentuk penghargaan kepada kemajemukan Indonesia.  

Tradisi salam lintas agama ala Fatmawati kemudian berkembang dan diadopsi pemimpin bangsa yang lainnya. Salam lintas agama juga mulai digunakan dalam hajatan skala kecil hingga besar. Mulanya tiada masalah. Salam dianggap pembuka yang penting.

Belakangan salam lintas agama mulai digunakan oleh pejabat pemerintah dari sekelas menteri hingga presiden. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pun mulai menganggap salam lintas agama sudah kelewat batas.

Mereka menyandarkan pandangannya sebagai seorang Muslim. Pantang hukumnya bagi pejabat Muslim menyampaikan salam lintas agama. Mereka hanya perlu mengucapkan salam agamanya saja, bukan agama lain.

Puncaknya, MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang melarang masyarakat dan pejabat Muslim mengucapkan salam lintas agama pada 9 November 2019. Imbauan itu hadir dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019.

"Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid'ah, yang tidak pernah ada di masa lalu. Minimal mengandung nilai syubhat (samar kehalalannya) yang patut dihindari," ungkap Ketua MUI Jawa Timur, Abdusshomad Buchori. Sebagaimana dikutip laman kumparan, 9 November 2019.

Gayung pun bersambung. Fatwa regional mulai diakui kehadirannya oleh MUI Pusat secara nasional. Akhirnya, MUI Pusat mengamini imbauan larang salam lintas agama pada 11 November 2019. MUI Pusat beranggapan bahwa imbauan kaum Muslim tak mengucap salam lintas agama sudah sesuai dengan Al Quran dan hadis.

Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas. (ANTARA)

Kehadiran fatwa itu dianggap MUI Pusat bukan bagian dari intoleransi. Mereka mendasari pandangannya karena setiap agama memiliki corak dan aturan masing-masing. Upaya itu menjaga umat Islam supaya terus hidup selaras dengan agama.

Namun, keputusan MUI tak diikuti oleh ormas Islam lainnya. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tak mempermasalahkan hadirnya salam lintas agama.

"Kita tidak boleh memaksakan kepercayaan dan keyakinan suatu agama serta cara beribadah dan mengucapkan salam yg ada dalam suatu agama kepada pengikut agama lain," kata Sekretaris Jenderal MUI pusat, Anwar Abbas sebagaimana dikutip laman tempo.co, 11 November 2019.