JAKARTA - Sebuah bom dinamit meledak di Gereja Baptis 16th Street, Birmingham, Alabama pada 10.22 hari ini, 15 September 57 tahun lalu atau pada 1963. Saat ledakan terjadi, para anggota gereja tengah menghadiri kelas sekolah Minggu, setengah jam sebelum kebaktian dimulai.
Bom meledak di sisi timur gedung, di mana lima gadis sedang bersiap-siap di kamar kecil yang berada di bawah tanah. Ledakan itu menyemburkan mortir dan batu bata dari depan gedung. Dinding runtuh dan ruangan dipenuhi dengan asap, jemaat gereja berhamburan menyelamatkan diri.
Di bawah tumpukan puing di ruang bawah tanah gereja, ditemukan empat jasad anak perempuan, yakni, Addie Mae Collins, Cynthia Wesley, dan Carole Robertson, semuanya berusia 14 tahun, dan Denise McNair yang berusia 11 tahun. Anak perempuan kelima yang sebelumnya bersama mereka, Sarah Collins, kehilangan mata kanannya dalam ledakan tersebut. Beberapa orang lainnya terluka.
Pelaku aksi pengeboman itu adalah sekelompok ekstremis gerakan supresmasi kulit putih Ku Klux Klan (KKK). Mereka meledakkan gereja yang terletak di area vital bagi para aktivis yang melancarkan aksi protes hak-hak sipil. Selain menewaskan 4 anak perempuan, 14 orang lain cedera akibat ledakan tersebut.
Sekitar medio abad 20, gerakan pembela hak-hak sipil tengah gencar di Amerika Serikat. Gelombang massa itu adalah buntut dari tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh para warga kulit putih dan oknum polisi yang kerap melakukan kekerasan terhadap warga kulit hitam.
Birmingham adalah kota utama aksi protes, pawai, dan aksi yang kerap berakhir dengan kebrutalan polisi dan kekerasan dari warga kulit putih. Bom rakitan yang ditanam oleh supremasi kulit putih di rumah dan gereja menjadi hal yang biasa, sehingga kota itu kadang-kadang dikenal sebagai "Bombingham."
Sementara itu, Gubernur Alabama George Wallace adalah musuh utama desegregasi dan Birmingham memiliki salah satu kelompok terkuat dan paling kejam dari KKK. Komisaris polisi kota, Eugene "Bull" Connor, terkenal karena kesediaannya menggunakan kebrutalan dalam memerangi demonstran radikal, anggota serikat pekerja, dan orang kulit hitam.
Melansir History, Selasa 15 September, gereja-gereja Afrika-Amerika lokal seperti Gereja Baptis 16th Street adalah area fundamental oleh banyak organisasi dalam melancarkan aksi protes hak-hak sipil. Pada 1963, Gereja Baptis 16th Street mengadakan beberapa pertemuan yang dipimpin oleh aktivis hak-hak sipil.
Sebelumnya para anggota KKK memang sudah santer mengintimidasi para pengunjuk rasa. Mereka secara rutin menelepon gereja dengan ancaman bom yang dimaksudkan untuk mengganggu pertemuan dan kebaktian rutin gereja. Hingga akhirnya ancaman mereka ternyata memang bukan isapan jempol semata.
Ledakan memicu kerusuhan
Kerusuhan pecah di seluruh kota setelah aksi pengeboman gereja. Dua pemuda Afrika-Amerika tewas dan Garda Nasional dipanggil untuk memulihkan ketertiban. Martin Luther King, Jr., berbicara di pemakaman tiga perempuan yang tewas dalam pengeboman di gereja.
Meskipun berulang kali menuntut agar para pelaku dibawa ke pengadilan, persidangan pertama dalam kasus tersebut tidak diadakan hingga 1977. Pada 1977, Jaksa Agung Alabama Bob Baxley membuka kembali penyelidikan dan pemimpin KKK Robert E. Chambliss dibawa ke pengadilan atas aksi pengeboman dan dihukum karena pembunuhan. Terus mempertahankan ketidakbersalahannya, Chambliss meninggal di penjara pada 1985.
Kasus ini dibuka kembali pada 1980, 1988, dan 1997, ketika dua mantan anggota KKK lainnya, Thomas Blanton dan Bobby Frank Cherry, diadili. Blanton dihukum pada 2001 dan Cherry pada 2002; keduanya menerima hukuman penjara seumur hidup. Tersangka keempat, Herman Frank Cash, meninggal pada 1994 sebelum diadili.
Sutradara Spike Lee menjadikan aksi peristiwa pengeboman Gereja Baptis 16th Street oleh menjadi film dokumenter nominasi Oscar berjudul 4 Little Girls (1997). Dalam film tersebut, Lee mewawancarai para saksi pengeboman dan anggota keluarga para korban. Sementara pada saat yang sama mengeksplorasi latar belakang segregasi dan supremasi kulit putih yang menjadi inti dari periode waktu tersebut.
Kemarahan atas kematian empat perempuan membantu membangun dukungan yang meningkat di balik perjuangan berkelanjutan untuk mengakhiri segregasi. Peritiwa tersebut juga membangun dukungan yang akan membantu pengesahan Undang-Undang Hak Sipil 1964 dan Undang-Undang Hak Memilih 1965. Dalam arti penting, dampak pengeboman justru berlawanan dengan maksud para pelakunya.