Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 31 Januari 2018, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise kritik program beras miskin (raskin) jadi alasan gizi buruk merebak di Asmat, Papua. Pemberian raskin diyakini buat warga Asmat tak lagi menanam ubi dan sagu.

Sebelumnya, awal Januari 2018 persoalan gizi buruk muncul di Asmat. Kondisi itu kian heboh kala Bupati Asmat mengumumkan status wilayah terserang gizi buruk sebagai kejadian luar biasa (KLB). Orang-orang pun menyebutnya sebagai Tragedi Asmat.

Pemerintah kerap membanggakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Banyak bahan makanan mudah tumbuh di Bumi Pertiwi. Kondisi itu dianggap jadi jaminan sumber pangan bisa mencukupi gizi seisi Indonesia.

Gambaran itu nyatanya hanya berada di atas kertas. Aslinya Indonesia yang punya kekayaan alam melimpah justru sering kali dihebohkan dengan kemunculan kasus gizi buruk. Ambil contoh yang terjadi di Asmat, Papua pada awal Januari 2018.

Masalah kekurangan gizi jadi urusan pelik yang dihadapi banyak keluarga di Asmat. Mereka yang jadi pasien campak mencapai 652 orang dan mereka yang dinyatakan gizi buruk mencapai 223 anak. Jumlah penderita gizi buruk itu membuat Bupati Asmat, Elisa Kambu kalang-kabut.

Yohana Yembise yang pernah menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak era 2014-2019. (ANTARA)

Ia ambil sikap dengan menetapkan kasus gizi buruk Asmat sebagai KLB pada 9 Januari 2018. Keputusan itu membuat seisi Indonesia heboh. Kecaman terhadap pemerintah pusat mulai berdatangan. Kejadian gizi buruk pun dikaitkan dengan kurangnya perhatian pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ke wilayah Papua.

Pemerintah dianggap hanya paham mengucurkan dana besar tanpa memahami pengawasan dana. Kondisi itu membuat pembangunan lambat dan fasilitas kesehatan jauh dari kata maksimal. Padahal, dengan dana besar pemerintah bisa saja memperbaiki urusan gizi di Asmat.

Kejadian gizi buruk di Asmat jadi KLB bak tamparan keras ke pemerintah Indonesia supaya lebih peduli daerah di luar Pulau Jawa. Kondisi itu membuat pemerintah segera ambil sikap dengan menurunkan dokter dan ahli gizi ke Asmat.

“Tragedi Asmat memperlihatkan bahwa kucuran duit negara yang besar tidak otomatis bisa meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Banyak soal yang membuat distorsi, dari kemungkinan ada kebocoran hingga penggunaan dana yang tak tepat sasaran.”

“Kaum papa seolah-olah hanya dijadikan alasan menaikkan anggaran tiap tahun, tapi mereka tidak ikut menikmatinya. Nyatanya, banyak anak-anak di Kabupaten Asmat, Papua, yang menderita gizi buruk dan penyakit campak,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Tersengat Tragedi Asmat (2018).

Anak-anak penderita gizi buruk di Asmat, Papua. (ANTARA)

Kritik dan kecaman kepada pemerintah tak melulu muncul dari berbagai macam elemen masyarakat. Kritikan juga muncul dari jajaran pemerintahan sendiri. Yohana Yembise, misalnya. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu punya pandangan tersendiri terkait Tragedi Asmat.

Yohana berpandangan bahwa penyebat gizi buruk di Asmat karena pemerintah sering membagikan raskin. Pandangan itu diungkap pada 31 Januari 2018. Program raskin menurut Yohana justru membuat warga Asmat bergantung. Sekali waktu raskin lama dibagikan, masyarakat Asmat kian kekurangan gizi.

Pemberian raskin pula yang membuat makanan pokok warga Asmat seragam jadi beras. Dulunya warga Asmat kerap menjadikan ubi dan sagu sebagai makanan pokok. Namun, karena terbiasa raskin mereka tak lagi menanam sagu dan ubi. Mereka hanya menanti raskin saja.

“Mereka jadi tidak biasa tanam dan makan sagu dan ubi-ubian. Padahal dahulu sagu dan ubi-ubian merupakan makanan pokok mereka. Makanan itu berubah lantaran kini tergantung pada program pemerintah raskin.”

“Saya harus dekati ibu-ibu di sana untuk lakukan gerakan misal seribu ibu tanam seribu pohon sagu, seribu ibu tanam ubi-ubian. Masalah kebersihan juga jadi problem di sana,” ujar Yohana usai rapat koordinasi tingkat menteri di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) sebagaimana dikutip laman tribunnews.com, 31 Januari 2018.