Bagikan:

JAKARTA - Raden Ajeng Kartini adalah seorang pahlawan nasional. Ia disebut sebagai pejuang hak pendidikan perempuan dan (tentu saja) emansipasi perempuan. Karena pemikirannya, dia jadi ikon kemajuan wanita. Agaknya tak banyak orang yang mampu menafaatkan privilege sehebat Kartini sehingga tumbuh menjadi pribadi yang luar biasa cerdas dan mampu berpikir melampaui zamannya. 

Kartini lahir dari keluarga bangsawan dan priyayi. Ayah Kartini, Raden Mas Sosroningrat adalah seorang Bupati Jepara. Kakeknya, Pangeran Ario (P.A) Tjondronegoro IV dikenal memiliki kecerdasan luar biasa. 

Semangat belajar Kartini bisa dibilang turunan dari Kakeknya. Pasalnya Tjondronegoro IV adalah orang yang sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya. Sehingga mereka tidak hanya lulus Europesche Lagere School (ELS) atau sekolah dasar bangsa Eropa. Ia mendatangkan guru dari Belanda ke rumah untuk memberikan pelajaran pengetahuan umum dan etika masyarakat Eropa. 

Sementara itu ibunya Kartini, Mas Ajeng Ngasirah, putri dari pasangan Kyai Haji Modirono dan Nyai Haji Siti Aminah berasal dari keluarga terpandang. Ngasirah punya kedudukan terhormat di tengah masyarakat, karena bapaknya adalah seorang ulama di Jepara. 

 

Masa pertumbuhan Kartini

Seperti dijelaskan Djoko Marihandono dalam buku Sisi Lain Kartini (2016), Kartini lahir pada hari ini 21 April pada penghujung abad 19 atau 1879 di Jepara. Sebagai orang yang terlahir di keluarga istimewa, Kartini tumbuh dengan gizi cukup.

Pertumbuhan fisik dan motorik kartini berjalan lebih cepat dibanding anak-anak lainnya. Pertumbuhan itu diiringi dengan berkembangnya tingkat kecerdasan Kartini. Ia tumbuh sebagai anak yang rasa keingintahuannya tinggi. 

Pada 1885 Kartini mengenyam pendidikan di sekolah dasar khusus bagi anak-anak Bangsa Eropa dan Belanda Indo, Europesche Lagere School (ELS). Pribumi yang diizinkan sekolah di sana hanya anak yang orang tuanya seorang pejabat tinggi pemerintah. 

Proses pendidikan yang dijalani Kartini menjadikannya mampu menempatkan diri dengan baik dalam pergaulan. Teman-temannya tidak hanya berasal dari golongan pribumi, ia memiliki banyak sahabat orang Belanda Indo maupun totok. Misalnya Letsy Detmar anak kepala sekolah dan istri asisten residen Jepara, Nyonya Marie Ovink-Soer. 

Setelah lulus dari ELS pada 1892, Kartini berharap ayahnya akan mengizinkannya untuk melanjutkan sekolah di HBS Semarang yang terkenal itu. Namun R.M Sosronigrat tidak mengizinkannya. Sesuai dengan tradisi kalangan bangsawan, ketika beranjak dewasa Kartini harus memasuki masa pingitan. 

Mau tidak mau Kartini yang belum genap berusia 13 tahun harus tinggal dalam rumahnya yang luas itu. Kartini dipaksa belajar menjadi puteri bangsawan sejati yang penurut. 

 

Berhasil memanfaatkan situasi pingit

Dalam masa pingitan itu, Kartini tidak tinggal diam. Ia memanfaatkan ruang pingitan untuk memuaskan kegemarannya membaca. Selesai mengerjakan tugas-tugasnya di rumah, Kartini langsung mengambil buku, surat kabar, atau majalah untuk dibaca. Bacaan dengan berbagai tema semuanya ia lahap, sehingga pikirannya banyak dijejali dengan pengetahuan. 

Kesempatan Kartini untuk dapat memperoleh bahan bacaan yang tak terbatas, ia manfaatkan semaksimal mungkin. Pasalnya di zaman itu, tidak semua orang bisa mengakses ilmu pengetahuan seluas dan sebebas Kartini. 

Ayah Kartini R.M Sosroningrat dan kakaknya R.M Sosrokartono menjadi orang yang bersedia memenuhi kebutuhan bahan bacaannya. Ayahnya sampai berlangganan kotak bacaan (leestrommel) yang berisi buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri yang ditukar setiap minggu. Salah satu bacaan rutinnya yakni surat kabar De Locomotief yang membuatnya mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di Hindia Belanda atau di Eropa.  

Dalam empat tahun menjalani masa pingitan Kartini hanya lima kali keluar dari lingkungan rumahnya. Dalam masa pingitannya itu kartini juga dekat dengan dua orang adiknya yakni R.A Roekmini dan R.A Kardinah. 

Karena melihat potensi tiga orang anaknya, Bupati Sosroningrat akhirnya membebaskan tradisi pingitan pada 2 Mei 1898. Kartini akhirnya dibebaskan menikmati kembali dunianya. 

 

Masa penuh harap

Semangat Kartini untuk bersekolah di Belanda masih membara. Peluangnya untuk itu kemudian sedikit terbuka ketika pemerintah kolonial mulai menerapkan politik etis. Politik itu mengharuskan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat jajahan di Hindia Belanda seperti Inggris menyejahterakan jajahannya di India. 

Selain itu gagasan Kartini terkait pendidikan dan emansipasi perempuan mulai menjadi perhatian pemerintah Hindia Belanda. Ketika itu pemerintah Belanda mengutus Direktur Departemen Pendidikan, kerajinan dan agama, J.H Abendanon ke Jepara pada 1900. Tujuannya, untuk menjelaskan rencana pendirian kostschool --sekolah asrama-- untuk gadis-gadis bangsawan. Kartini mendukung rencana tersebut. Pada saat pertemuan itulah asa melanjutkan pendidikan Kartini mulai tumbuh kembali.

Singkat cerita Kartini terus mencari celah agar dirinya bisa bersekolah ke Belanda, hingga sampai ke telinga Van Kol (Anggota Parlemen Belanda). Gagasan Kartini tentang usah memajukan kaum perempuan dan keinginannya belajar ke negeri kincir angin membuat Van Kol berhasil mengusahakan beasiswa untuk Kartini dan adiknya Roekmini.

Namun karena desakan dari berbagai pihak, mulai dari kerabatnya, Kartini membatalkan studinya ke Belanda dan memilih untuk belajar di Batavia untuk menjadi seorang guru seperti yang ia cita-citakan. 

Beberapa alasannya yakni Kartini khawatir kepergiannya ke Belanda membuat rakyat melupakannya. Ia pun khawatir dengan kondisi kesehatan ayahnya. Dan terakhir, ia ternyata ingin segera merealisasikan impiannya untuk membuka sekolah seperti yang dijanjikan Abendanon. 

Proses persetujuan agar Kartini bisa bersekolah di Batavia ternyata memakan waktu yang lama. Sembari menunggu surat balasan pengajuan pendidikannya, Kartini memutuskan untuk membuka sekolah untuk anak-anak gadis dan mulai beroperasi pada Juni 1903. Sekolah ini menekankan pada pembinaan budi pekerti dan karakter anak, karena itu suasana sekolah diciptakan seperti suasana di rumah.

Masa penantian persetujuan pendidikannya itu semakin terasa panjang ketika Kartini mendapat lamaran Raden Adipati Djojo Adiningrat. Kejadian itu membuat Kartini bimbang. Kendati orang tuanya tidak memaksa Kartini untuk menikah, namun di sisi lain Kartini tidak mau mengecewakan orang tuanya. 

Singkatnya, Kartini menerima lamaran Raden Djojo Adiningrat, dengan syarat suaminya mendukung gagasan dan cita-cita Kartini. Hal itu pun disanggupi oleh sang calon suami, karena dikabarkan Adiningrat memiliki pola pikir yang maju juga. 

Akhirnya, keinginan Kartini untuk belajar di Batavia ia kubur dalam-dalam. Kartini menilai sudah menjadi suratan takdir untuk menjalani garis hidupnya. 

Setelah melahirkan anak pertamanya, Kartini wafat pada 17 September 1904. Ia mengembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia yang masih sangat muda yakni 25 tahun. 

Mungkin tak banyak orang yang mampu menfaatkan hak istimewanya sehebat kartini. Sehingga ia mampu menjadi mercusuar tokoh perempuan Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangan dari keadaan yang ada.