Bagikan:

JAKARTA - Kepedulian Abdurrahman Wahid kepada kelompok minoritas tiada dua. Pria yang akrab disapa Gus Dur itu berani pasang badan membela hak-hak kaum minoritas. Gus Dur acap kali mengajak khalayak luas untuk menghormati kepercayaan masing-masing.

Orang-orang lalu menjuluki Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme. Puja-puji kepadanya bejibun. Bahkan, Salah seorang seniman sampai mengabadikannya dalam patung Buddha berwajah Gus Dur. Alih-alih pujian, empunya patung justru dianggap menistakan agama.

Banyak orang yang salah mengartikan pluralisme (paham keberagaman). Paham itu dianggap segenap orang sebagai muara kesesatan. Tiap agama dipandang sama. Padahal, jika memahami pluralisme lebih dalam, narasi yang dipahami banyak orang kurang tepat.

Gus Dur mengamati fenomena itu. Ia menegaskan pluralisme adalah paham untuk berani menerima perbedaan dari mayoritas ke minoritas. Utamanya, orang-orang harus dpaat memahami jika tiap agama memiliki ajaran yang berbeda-beda. Akan tetapi, perbedaan bukan suatu alasan utama untuk menyulut konflik.

Pluralisme dianggapnya sebagai landasan utama untuk rakyat Indonesia dapat hidup berdampingan. Saling memahami dalam bingkai toleransi. Artinya, perbedaan itulah yang sesungguhnya menjadi kekuatan. Yang mana, perbedaan dapat menuntun segenap bangsa Indonesia kepada frasa sebenarnya dari Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda tapi satu jua.

Warga memakai topeng bergambar Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan berdandan dengan busana khas umat beragama saat aksi menyambut Haul ke-9 Gus Dur di Solo, Jawa Tengah, Jumat 22 Februari 2019. (Antara/Maulana Surya)

Komitmen Gus Dur membela kaum minoritas pun nyata. Kala jadi orang nomor satu Indonesia, apalagi. Ia mampu mengakomodasi hak-hak kaum minoritas. Segala aturan yang bermuara kepada diskriminasi kepada etnis tertentu segera dihapusnya. Kecakapan itu buat Gus Dur dijuluki sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.

Gus Dur adalah sebuah keajaiban, begitu sebuah kalimat yang muncul di dunia maya alias internet. Ajaib karena ia tak takut melawan setiap usaha yang menindas kaum minoritas. la Bapak Pluralisme. Istilah ini tak hanya diucapkan para sahabat Gus Dur--baik yang bersaksi di televisi maupun tidak-- tapi juga diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi inspektur upacara pemakaman: Bapak Pluralisme telah tiada.”

“Sri Sultan Hamengkubuwono X senada: tak ada tokoh yang bisa menggantikannya. Raja Yogya itu tak sendirian berpandangan begitu. Kalau pernyataan ini dimaksudkan sebagai sebuah sanjungan buat Gus Dur, memang enak didengar. Karena sudah semestinya Gus Dur memperoleh hak itu. Tapi, jika pesimisme itu menyiratkan akan punahnya orang-orang yang berpaham pluralis, sungguh hal ini memprihatinkan Kami, orang Bali, warga Tionghoa, umat Buddha, Konghucu, Hindu, dan entah siapa lagi,” ungkap Putu Setia dalam tulisannya di Koran Tempo berjudul Lilin Gus Dur (2012).

Patung Buddha Gus Dur

Tindak-tanduk Gus Dur membela kaum minoritas mendapatkan sambutan dari masyarakat luas. Penggemarnya bejibun. Seniman pematung asal Magelang, Cipto Purnomo, salah satunya. Ia bahkan bertindak jauh. Baginya, Gus Dur dan Buddha tampak serupa. Keduanya dianggap sosok yang membawa nilai-nilai kebaikan.

Kekagumannya kepada Gus Dur tak berhenti. Ia menerima ajakan dari pemilik Studio Mendhut, Sutanto untuk membuat suatu patung istimewa dalam rangka memperingati 40 hari wafatnya Gus Dur. Bak tertantang, Cipto mencari ilham pada 2010.

Perihal mencari ide memang susah-susah gampang. Ide kadang datangnya tak mengenal waktu. Namun, kapasitasnya sebagai warga yang sehari-hari hidup di kawasan sekitar Candi Borobudur tak perlu diragukan. Ide pun mendatanginya.

Ia mendapat ide nyeleneh. Ia memilih ingin membuat patung sosok Buddha. Ia pun mengkombinasikan antara badan Buddha dan wajah dari Gus Dur. Patung itu dinamakan Sinar Hati Gus Dur.

Gus Dur dan Paus Yohanes Paulus II saat bertemu di Vatikan. (The Wahid Institute)(

Alih-alih mendapat pujian, karya tersebut justru banjir kritik. Kritik datang dari banyak pihak. Beberapa umat Islam menilai Gus Dur tak dapat dilambangkan sebagai ‘monopoli’ agama Buddha. Sebab, Gus Dur adalah seorang Kiai besar bagi umat Islam.

Pihak umat Hindu pun begitu. Mereka menyayangkan aksi menyanding Gus Dur bak tokoh suci umat Buddha. Akhirnya, patung tersebut tak lagi dipamerkan. Demi menjaga perasaan umat beragama lainnya.

“Patung Mata Hati Gus Dur karya Cipto Purnomo menuai kontroversi. Karya yang ditampilkan dalam gelar seni budaya Multisesigusdurisme di Studio Mendut 5 Februari 2010 itu bertubuh Buddha dengan posisi tangan dhyanimudra, namun berkepala Gus Dur lengkap dengan kacamata tebalnya.”

“Patung yang dibuat untuk memperingati empat puluh hari kematian kyai NU dan mantan presiden RI itu membuat Dewan Pengurus Pusat Theravada Indonesia melayangkan protes karena dianggap melecehkan simbol agama Buddha,” tutup Deni Junaedi dalam buku Estetika: Jalan Subjek, Objek, dan Nilai (2016).