JAKARTA – Memori hari ini, 22 tahun yang lalu, 7 Agustus 2000, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berpidato di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ia berbicara banyak hal. Utamanya musabab Orde Baru (Orba) runtuh. Nyatanya, dampak Orba runtuh ke mana-mana.
Munculnya gerakan separatisme di beberapa wilayah, salah satunya. Kemunculan itu dikarenakan beberapa wilayah yang merasa tak puas di bawah Indonesia. Apalagi pembangunan Indonesia kala itu acap kali Jawa sentris. Alias fokus pembangunan melulu ke Jawa.
Tiada yang menyangsikan pengaruh kuat Orde Baru. Kekuasaan tertinggi didominasi oleh pemerintah pusat. Bahkan, legislatif dan yudikatif sampai tak bisa berbuat banyak. Ketika pimpinan Orba, Presiden Soeharto memberikan instruksi, niscaya instruksi itu yang harus dijalankan.
Semuanya ‘terpaksa’ satu suara. Sebab, tiada yang berani menentangnya di pemerintahan. Kondisi itu berbeda di lapangan. Kepemimpinan Soeharto yang otoriter banjir kritikan. Ia dianggap sebagai pemimpin yang menggunakan militer sebagai alat untuk menjaga eksistensinya.
Ketidaksukaan terhadap Orba makin menjadi-jadi saat terjadi krisis moneter 1997-1998. Pun ketidaksukaan itu semakin bertambah ketika Soeharto lengser. Bubarnya Orba pun berimbas kepada beberapa wilayah Indonesia yang tak puas dipimpin Indonesia. Mereka mau merdeka.
Melanggengkan gerakan separatisme jadi opsi. Presiden Ketiga RI, Abdurrahman Wahid sedari awal telah meneropong hal itu. ia pun membicarakannya di depan Sidang Tahunan MPR, 7 Agustus 2000.
“Suasana psikologis inilah yang menjadi awal perjalanan pemerintahan hasil reformasi. Permasalahan utama yang kita hadapi pada saat berlangsungnya peralihan kekuasaan adalah timbulnya gejala disintegrasi bangsa akibat konflik sosial yang bernuansa primordial, lahirnya gerakan separatisme di beberapa daerah, serta maraknya tindakantindakan anarki dan kriminalitas di kalangan masyarakat yang diiringi dengan tindak kekerasan.”
“Kesemuanya ini telah menimbulkan keresahan dan menurunkan rasa aman. Gairah untuk investasi menurun, pengangguran meningkat, dan kesejahteraan sosial merosot tajam, terutama di daerah yang dilanda kerusuhan,” ungkap pria yang akrab disapa Gus Dur dalam pidatonya.
Gejala itu dinilai Gus Dur adalah kewajaran. Sebab, kemunculan gerakan separatisme adalah bentuk protes suatu wilayah yang selama ini dinilai kurang diperhatikan oleh pemerintah. Imbasnya, kesatuan Indonesia dapat hancur-lebur.
Masifnya gerakan separatisme itu terlihat di Aceh dan Irian Jaya. Gus Dur mengimbau agar seluruh elemen masyarakat bersatu padu untuk menyelesaikan konflik itu. Lagi pula, segala macam masalah bisa diselesaikan asal mau duduk bersama.
“Dengan kata lain, secara politik, negara dan bangsa kita kini sedang berhadapan dengan ancaman disintegrasi teritorial melalui gerakan separatisme, dan ancaman disintegrasi kebangsaan melalui konflik antar pemeluk agama dan antarsuku.”
“Oleh karena itu, sekali lagi tiada pilihan lain bagi kita semua kecuali harus menyatukan langkah dan mengerahkan seluruh tenaga yang kita miliki untuk menyelesaikan masalah-masalah fundamental tersebut,” tutup Gus Dur.