Bagikan:

JAKARTA – Sejarah tanggal ini, 10 Maret 1965 terjadi peristiwa pengeboman Gedung Hong Kong Shanghai Bank di Orchard Road, Singapura. Pengeboman dilakukan dua prajurit KKO (Marinir) Indonesia, Usman Janatin dan Harun Tohir. Gedung bertingkat 10 tersebut dikenal sebagai MacDonald House, yang pada masa itu merupakan gedung perkantoran paling prestisius di Singapura.

Pengeboman MacDonald House merupakan kulminasi dari rangkaian serangan bom yang tercatat 37kali dalam kurun waktu 1963-1966. Indonesia sangat menentang pembentukan Negara Federasi Malaya pada 31 Agustus 1957, yang akhirnya menjadi Malaysia pada 16 September 1963. Presiden Soekarno menganggap bahwa pembentukan Malaysia hanyalah bentuk neokolonialisme Inggris.

Usman dan Harun setelah tertangkap di Singapura dan saat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. (Foto: koranmiliter.com)

Soekarno mengungkapkan kebenciannya terhadap Malaysia dengan menginisiasi gerakan Ganyang Malaysia.

“Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysia keparat itu. Doakan aku, aku akan berangkat ke medan juang sebagai patriot bangsa, sebagai martir bangsa, dan sebagai peluru bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya. Serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat,” begitu Soekarno berkata dalam pidatonya yang berapi-api.

Sasaran Acak

Salah satu serangan sabotase terhadap Malaysia adalah operasi pengeboman di Singapura, yang ketika itu masih menjadi bagian dari Federasi Malaysia. Tiga prajurit marinir diterjunkan: Usman, Harun, dan Gani bin Arup. Mereka masuk ke Singapura menyaru sebagai warga sipil, namun membawa serta bom berbahan nitro gliserin seberat 12 kg.

Ketiga prajurit Marinir tersebut sebenarnya dilatih untuk membom sasaran strategis yaitu fasilitas umum seperti pembangkit listrik, pengolahan air bersih, dan instalasi militer. Namun misi untuk mengebom sasaran tersebut menemui kegagalan, karena penjagaan yang sangat ketat dari polisi dan militer.

Usman, Harun, dan Gani akhirnya mengalihkan sasaran secara acak, dengan mengebom apapun tanpa pandang bulu. Tujuan utama dari operasi yang mereka lakukan adalah menciptakan kepanikan di Singapura.

Kondisi bagian dalam MacDonald House setelah dibom pada 10 Maret 1965. (Foto: A Government Singapore Agency Website)

Sasaran akhirnya dialihkan ke MacDonald House yang merupakan bangunan paling bergengsi. Bom meledak pukul 15.07 waktu Singapura, dan menelan korban jiwa tiga orang. Mereka adalah Suzie Choo (36 tahun) yang merupakan Sekretaris Manajer Bank Hong Kong Shanghai, Juliet Goh (23 tahun) staf bank, dan Mohammed Yasin bin Kesit (45 tahun) seorag sopir. Choo dan Goh meninggal seketika, sedangkan Yasin meninggal setelah koma dan menjalani perawatan di rumah sakit.

Serangan bom tersebut juga mencedarai setidaknya 33 orang yang berada di sekitar MacDonald House.

Meledak Lebih Cepat

Koran The Strait Times terbitan 11 Maret 1965 memuat laporan tentang pengeboman MacDonald House pada halaman 1 sebagai berita utama.

“Akan lebih banyak korban tewas atau terluka seandainya bom meledak 10 menit lebih lambat,” tulis laporan The Strait Times.

Jam-jam tersebut menjadi waktu istirahat sore bagi karyawan di seputaran Orchard Road, yang merupakan kawasan bisnis tersibuk di Singapura. Mereka biasanya lalu lalang sekedar untuk membeli jajanan atau minum teh di sekitar MacDonald House.

The Strait Times juga mengutip komentar dari Deputy Prime Singapura, Toh Chin Chye, yang mengutuk keras pemboman tersebut.

“Insiden ini adalah rangkaian dari ledakan yang terjadi tahun lalu. Kekejaman yang di luar nalar ini tidak akan menyelesaikan masalah politik apa pun. Siapa pun yang melindungi mereka yang bertanggung jawab atas tindakan tersebut, harus bertanggung jawab penuh atas darah yang tertumpah,” ujar Chye.

Tertangkap dan Dihukum Mati

Setelah menyelesaikan tugas pengeboman, Usman, Harun, dan Gani berusaha lari dari Singapura. Namun pelarian mereka tidak berjalan mulus. Hanya dalam waktu empat hari, Usman dan Harun tertangkap pihak berwenang Singapura. Mereka gagal melarikan diri lewat laut, setelah perahu motor yang dipakai rusak. Keduanya ditangkap saat terombang-ambing di lautan. Sementara Gani berhasil lolos karena melalui jalur pelarian yang berbeda.

Usman dan Harun diadili di pengadilan sipil, karena saat beraksi mereka tidak mengenakan atribut militer. Setelah diputuskan bersalah, keduanya dijatuhi hukuman mati. Usman dan Harus dieksekusi dengan hukuman gantung di Penjara Changi pada 17 Oktober 1968.

Kapal perang Usman-Harun nomor lambung 359. (Foto: Dok. Puspen TNI)

Jenazah Usman dan Harun dipulangkan ke Indonesia, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta pada 20 Oktober 1968. Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 050/TK/Tahun 1968 pada 17 Oktober 1968, yang berisi pengakuan kedua prajurit Marinir tersebut sebagai Pahlawan Nasional.

Pada tahun 2014, Usman dan Harun diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang kelas korvet yang dimiliki TNI AL. Kapal tersebut bernama Usman-Harun dengan nomor lambung 359. Selain itu Usman-Harun juga dijadikan nama jalan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat. Peresmian Jalan Prajurit KKO Usman & Harun dilakukan pada 19 Januari 2016.