Serangan Umum 1 Maret 1949: Energi Baru Mempertahankan Kemerdekaan Bangsa Indonesia
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Agresi Militer Belanda II membawa kedukaan yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Korban  dari kaum bumiputra bejibun. Sedang Belanda di atas kertas unggul. Mereka memiliki armada dan persenjataan lengkap. Namun, perjuangan Indonesia tak berhenti. Nyali pejuang kemerdekaan masih meninggi. Serangan Umum 1 Maret 1949 jadi bukti. Serangan itu membungkam mulut Belanda bahwa militer Indonesia telah ditumpas. Karenanya, simpati Dunia internasional pun mengalir kepada Indonesia.

Aksi Belanda ingin merebut kembali Indonesia  terus bergulir selepas proklamasi kemerdekaan. Agresi Militer Belanda I, kemudian Agresi Militer II jadi ajian. Aksi itu membawa kedukaan yang mendalam bagi segenap rakyat Indonesia. Banyak yang kehilanganya nyawa, bahkan harta benda. Pemimpin Indonesia banyak yang ditahan. Sebagai siasat Indonesia mendirikan Pemerintahan Darurat Rakyat Indonesia (PDRI) di Sumatra. Demi menunjukkan Indonesia masih eksis.

Di sisi lain, Agresi Militer Belanda justru membuka borok mereka sendiri. Aksi itu nyatanya banyak membuka mata dunia internasional terkait kekejaman Belanda. Dewan Keamanan PBB pun merasa tak senang dengan aksi Belanda. PBB merasa dilecehkan. Semenjak saat itu negara-negara yang memberi bantuan untuk Agresi Militer Belanda mundur perlahan. Amerika Serikat, terutama.

PBB ambil sikap. Belanda diimbau untuk melakukan gencatan senjata pada 31 Desember 1948 di Jawa. Sedang gencatan senjata di Sumatra diimbau pada 5 Januari 1949. Realitanya tekanan gencatan senjata tak efektif. Belanda acap kali berbuat curang. Beberapa kali mereka melanggar gencatan senjata. Propaganda pun digulirkan bahwa angkatan bersenjata Indonesia telah dijinakkan.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX berang di tengah kondisi Indonesia yang semakin tak menentu. Ia kemudian ambil sikap untuk melaksanakan sebuah rencana supaya Indonesia makin diperbincangkan dunia internasional. Serangan Umum 1 Maret pun digulirkan.

Jenderal Soedirman dan Letkol Soeharto. (Foto: Arsip Nasional)

“Ia mencari jalan untuk menggugah kembali semangat perjuangan dan kebetulan sekali ia mendengar berita radio luar negeri bahwa pada akhir Februari 1949 masalah Indonesia-Belanda akan dibicarakan dalam forum PBB Berita tersebut memberi sebuah inspirasi pada Sri Sultan yang segera menghubungi Jenderal Soedirman di tempat persembunyiannya untuk meminta persetujuannya, melaksanakan siasat yang telah dirancangnya. Ia juga diberi izin untuk berhubungan langsung dengan komandan gerilya.”

“Akhirnya, pada 14 Februari 1949, bertempat di kompleks Kraton ia bertemu dengan Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto, Komandan Wehrkreise (wilayah pertahanan) III. Saat itu, Letkol Soeharto sedang menyamar sebagai abdi dalem Kraton. Sri Sultan menanyakan kesanggupannya untuk mempersiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu. Setelah Soeharto menyatakan kesanggupannya, melalui kurir-kurir diatur siasat untuk melakukan serangan,” ungkap Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008).

Dampak Serangan Umum

Serangan itu pun terlaksana. Orang-orang mengenalnya sebagai Serangan Umum 1 Maret 1948 di Yogyakarta. Dalam waktu singkat Belanda berhasil dipukul mundur. Serdadu-serdadu Belanda dipaksa untuk meninggalkan posnya. Peluang itu lalu membakar semangat tentara Indonesia untuk merebut sejumlah persenjataan yang dimiliki Belanda.

Buah dari Serangan Umum itu Indonesia akhirnya berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam. Setelahnya, seluruh militer dan pejuang kemerdekaan lalu mundur dan kembali bergerilya. Pun dalam Serangan Umum bukan cuma militer yang melulu memainkan peran. Sipil pun ikut membantu. Utamanya dalam menyebarkan kabar perihal memukul mundur Belanda dari Yogyakarta.

“Kolektivitas itu direkam dari peran sipil dan militer yang seringkali jalin-jemalin, betapapun seringkali tidak sejalan juga. Sebagai contoh, Serangan Umum secara taktis dan operasional dieksekusi oleh tentara, kemudian kabar ini sengaja disiarkan ke dunia sebagai penegasan eksistensi Republik Indonesia oleh radio-radio perjuangan termasuk radio PC-2 di Playen, Gunung Kidul dan radio Rimba Raya di Ronga-Ronga, Bireun, Aceh.”

Stasiun Radio AURI PC 2 Playen, Gunungkidul, Yogyakarta yang menyiarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke seluruh dunia. (Foto: kemdikbud.goi.id)

“Siapa yang menangkap dan menegaskan pesan ini di luar negeri? Salah satunya adalah diplomat Indonesia yang ditugaskan di PBB New York, L.N. Palar, seorang diplomat sipil. Tidak mungkin komandan-komandan lapangan berangkat ke New York untuk menyampaikan pesan ini sendirian dan kemudian menekan utusan Belanda untuk membuka lagi jalur-jalur perundingan, mereka bergantung pada unsur-unsur sipil juga,” ungkap Sejarawan Ody Dwicahyo saat dihubungi VOI, 8 Maret.

Perjuangan Serangan Umum membuat Indonesia banjir dukungan. Dunia internasional kemudian mengecam Belanda. Negeri Kincir Angin diminta untuk mengakhiri keinginannya menguasai Indonesia kali kedua. Kecaman juga dimunculkan oleh Amerika Serikat yang awalnya mendukung Belanda. Negeri Paman Sam segera memberi sanksi politik dan finansial kepada Belanda.

Dampak Serangan Umum yang signifikan juga dirasakan oleh pejuang kemerdekaan di dalam negeri. Semangat perlawanan semakin menggebu-gedu. Narasi perang gerilya digulirkan di mana-mana tanpa mengenal waktu. Dari pagi, siang, sore, hingga malam. Kejadian itu membuat Indonesia selangkah mendekati kemerdekaan seutuhnya.

“Di dalam negeri, efek serangan ini benar-benar luar biasa. Para pejuang di daerah lain seperti menemukan gairah baru dan semakin terinspirasi untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Beberapa pemimpin negara boneka, kemudian mengubah sikap mereka, berbalik mendukung Republik.”

“Para pemimpin sipil yang dibuang di Bangka semakin membulatkan tekad mereka untuk menolak bekerjasama dengan Belanda. Nasution mencatat, setelah dilangsungkannya Serangan Umum 1 Maret, perjuangan gerilya semakin meningkat, bahkan juga dilakukan di siang hari,” tutup A. Yogaswara dalam buku Biografi daripada Soeharto (2012).