JAKARTA - Setelah proses evakuasi selesai pada 4 Oktober 1965, jenazah-jenazah para Pahlawan Revolusi lalu dimasukkan ke dalam peti. Emosi sangat terlihat dari rangkaian peristiwa penggalian, mulai dari rasa sedih, bingung, frustrasi, hingga kemarahan menghinggapi seluruh elemen masyarakat yang terlibat dalam peristiwa ini.
Seperti yang dituliskan Abie Besman dalam buku, Sang Patriot Kisah Seorang Pahlawan Revolusi, perasaan serupa juga dirasakan oleh petinggi Angkatan Darat yang hadir di Lubang Buaya, antara lain Pangkostrad Mayjen Soeharto.
Usai evakuasi, Soeharto menyampaikan amanatnya di hadapan para wartawan,
“Pada hari ini 4 Oktober 1965, kita bersama-sama dengan mata kepala masing-masing, kita menyaksikan pembongkaran jenazah para jenderal kita dengan satu perwira pertama dalam satu lubang sumur lama. Jenderal-jenderal kita dan perwira pertama ini telah menjadi korban kebiadaban dari petualang yang dinamakan Gerakan 30 September.
Kalau melihat daerah ini ada di kawasan Lubang Buaya. Daerah Lubang Buaya termasuk Lapangan Halim. Kalau saudara melihat fakta dekat sumur ini telah menjadi pusat latihan dari sukwan dan sukwati yang dilaksanakan oleh Angkatan Udara. Mereka melatih anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Satu fakta, mungkin mereka latihan dalam rangka pertahanan pangkalan, tapi menurut anggota Gerwani yang dilatih di sini dan ditangkap di Cirebon, adalah pulang dari Jateng, jauh dari daerah tersebut.
Jadi, kalau melihat fakta-fakta apa yang diamanatkan Presiden dan Pemimpin besar Revolusi yang sangat kita cintai, bahwa Angkatan Udara tidak terlibat, mungkin ada benarnya. Tapi, tidak mungkin, tidak ada hubungan dari peristiwa ini daripada oknum-oknum Angkatan Udara.
Saya sebagai anggota daripada Angkatan Darat mengetok jiwa dan perasaan daripada patriot Angkatan Udara bilamana benar-benar ada oknum yang terlibat dengan pembunuhan yang kejam dari para jenderal kita yang tidak berdosa ini. Saya berharap anggota patriot Angkatan Udara membersihkan anggota Angkatan Udara yang terlibat petualangan ini.
Saya berterima kasih akhirnya Tuhan memberikan petunjuk yang terang jelas pada kita sekalian. Bahwa setiap tindakan yang tidak jujur, bahwa setiap tindakan yang tidak baik akan terbongkar. Saya berterimakasih kepada satuan-satuan khususnya resimen Parako, KKO, dan satuan lainnya serta rakyat yang membantu menemukan bukti ini dan turut serta mengangkat jenazah ini. Sehingga seluruh korban bisa ditemukan.”
Banyak prajurit yang meneteskan air mata ketika itu. Kemarahan mereka semakin menjadi kepada Partai Komunis Indonesia yang menjadi tertuduh utama peristiwa Gerakan 30 September.
Seorang baret merah RPKAD bahkan sempat berbisik, “Coba deloken, sing jenderal lan mentri wae dingonokake karo PKI, apa meneh awake dewe sing mung prajurit kroco (Coba lihatlah yang jenderal dan meteri diperlakukan demikian oleh PKI, apalagi kita yang hanya prajurit bawahan).”
Selain kekecewaan, pernyataan Soeharto tersebut jelas menggambarkan kecurigaannya terhadap Angkatan Udara.
Pembelaan Soekarno
Presiden Soekarno sebelumnya sudah menyampaikan Angkatan Udara tidak terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S). Dalam pengumumannya pada 4 Oktober 1965 pada pukul 01.00 WIB, dia menegaskan tiga hal:
- Tuduhan terhadap AURI tentang tersangkutnya dalam Gerakan 30 September ini adalah tidak benar.
- Kepergian saya ke Pangkalan Udara Halim, pada tanggal 1 Oktober pagi-pagi adalah atas kehendak saya sendiri, karena saya berpendapat bahwa tempat yang terbaik bagiku adalah tempat dekat dengan kapal udara, yang dapat mengangkut saya tiap saat ke tempat lain kalau terjadi suatu yang tidak diharap.
- Kita harus tetap waspada jangan sampai AURI dan Angkatan Darat dapat diadu-dombakan sehingga pihak Nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) dan pihak lain akan dapat keuntungannya.
Kendati begitu, Soeharto melihat lain. Terlebih, pada 1 Oktober 1965, Omar Dani mengeluarkan pernyataan menyikapi G30S yang diumumkan di RRI. Dari empat perintah, salah satunya menyebut, “Mendukung Gerakan 30 September yang mengamankan dan menyelamatkan revolusi dan Pimpinan Besar Revolusi (Presiden Soekarno) terhadap subversi CIA.”
Sejumlah perwira AD yang dipimpin Soeharto menilai Dani sebagai perwira kiri. Lalu, setelah menerima Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), pada 1966, Soeharto langsung ‘mengadili’ Omar Dani. Hakim Mahkamah Militer Luar Biasa memvonis Omar Dani hukuman mati atas tuduhan berbuat makar.
“Menghukum tertuduh dengan hukuman mati dengan tambahan mencabut haknya atas pemilikan sejumlah tanda jasa, memecat tidak dengan hormat dari pangkat dan segala jabatannya,” demikian putusan hakim yang dilansir dari tulisan Martin Sitompul, Omar Dani, Panglima yang Dinista di Historia.
Menurut catatan sejarawan Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah, Omar Dani mengambil langkah tergesa-gesa yang berakibat fatal dalam hidupnya.
Awalnya, dia menganggap G30S bagian dari konflik internal Angkatan Darat. Sehingga, Omar langsung mengeluarkan surat perintah harian yang mengatakan AURI tidak turut campur dalam G30S dan AURI setuju dengan tiap gerakan pembersihan yang diadakan dalam tubuh tiap alat revolusi sesuai garis Presiden Soekarno. Setelah perintah itu tersiar, baru diketahui G30S didalangi oleh PKI.
"Titik beratnya adalah pada dukungan terhadap gerakan yang melakukan pengamanan dan penyelamatan revolusi dan Pimpinan Besar Revolusi. Bahwa ternyata G30S melakukan hal yang sebaliknya, tentu saja itu bukan yang dimaksud oleh Omar Dani untuk didukung," tulis Benedicta Surodjo dan JMV Soeparno dalam Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani.
Pada 14 Desember 1982, Omar Dani mendapatkan grasi dari Presiden Soeharto. Omar Dani akhirnya bisa benar-benar menghirup udara bebas pada 15 Agustus 1995 setelah meringkuk di dalam penjara selama 29 tahun. Dia dibebaskan karena faktor usia.
Omar Dani meninggal pada 24 Juli 2009 pukul 13.50 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara (RSPAU) Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma pada usia 85 tahun. Sempat disemayamkan di Skadron Udara 17 Lanud Halim Perdanakusuma, jenazah Omar Dani dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
Berikut linimasa pasca G30S pada 1 Oktober-6 Oktober 1965 berdasar buku Sang Patriot Kisah seorang Pahlawan Revolusi.
1 Oktober 1965
Pukul 07.20 WIB - Pasukan G30S melakukan siaran dan menyebarluaskan informasi melalui RRI. Letnan Kolonel Untung menjadi tokoh sentral dengan menyatakan telah melakukan penangkapan terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi anggota Dewan Jenderal. Pasukan ini juga mengatakan alat-alat komunikasi dan beberapa objek vital telah dikuasai.
Pukul 09.00 WIB - Perintah harian Panglima Angkatan Udara RI Marsekal Omar Dhani tentang adanya G30S yang melakukan pembersihan dalam kalangan Angkatan Darat.
Pukul 11.00 WIB – Siaran G30S melalui corong RRI tentang pembentukan Dewan Revolusi
Pukul 13.00 WIB – Pengumuman Komandan Resimen Tjakrabirawa bahwa Presiden Soekarno dalam keadaan selamat dan sehat.
Pukul 14.00 WIB – G30S menyiarkan lewat RRI tentang telah terbentuknya Dewan Revolusi dan mengatur penurunan pangkat bagi perwira berpangkat di atas letnan kolonel.
Pukul 19.00 WIB – RPKAD menguasai gedung telekomunikasi dan RRI
Pukul 20.50 WIB – Mayor Jenderal Soeharto berpidato di RRI Jakarta. Menjelaskan dialah yang memegang tampuk pimpinan Angkatan Darat untuk sementara.
2 Oktober 1965
Pukul 06.00 WIB – Pangkalan Udara Halim dapat dikuasai RPKAD.
Sore harinya Mayjen Soeharto bersama 3 angkatan lainnya menghadap Presiden di Bogor.
Pukul 24.00 WIB – Koti mengumumkan perintah Presiden. Komando Angkatan Darat dipegang oleh Presiden. Mayjen Pranoto Reksosamudro ditunjuk sebagai petugas untuk menyelesaikan tugas sehari-hari, sedangkan Mayjen Soeharto ditugaskan untuk memulihkan kembali keamanan.
3 Oktober 1965
Pukul 01.30 WIB – Perintah Presiden diulangi oleh RRI Jakarta
Pukul 01.45 – Mayjen Soeharto berpidato di RRI terkait perintah presiden pada 2 Oktober sebelumnya.
4 Oktober 1965
Pukul 01.00 WIB – Presiden Soekarno memberikan amanat dari Istana Bogor bahwa tuduhan AURI tersangkut dalam G30S tidak benar. Presiden pergi ke lapangan Halim atas kehendak sendiri.
Pukul 09.00 WIB – Panglima Kostrad dan rombongan menuju tempat disembunyikannya jenazah para jenderal di Lubang Buaya.
Pukul 12.00 WIB – Menko Hankam/Kasab Jenderal AH Nasution, sebagian besar menteri, dan Brigadir Jenderal Sucipto dari Komando Operasi Tertinggi bertemu di kantor Staf Angkatan Bersenjata (SAB)
Pukul 12.30 WIB – Pengambilan jenazah, memakan waktu hampir 2 jam.Pukul 19.00 WIB – RRI mengumumkan tentang gugurnya enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat dengan telah berhasil dilakukan evakuasi jenazah dari sumur di Lubang Buaya.
5 Oktober 1965
Pukul 10.00 WIB – Jenderal AH Nasution melepas jenazah para pahlawan revolusi dari Mabes Angkatan Darat dan berlanjut dengan pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata, selesai pukul 14.00 WIB.
6 Oktober 1965
Pukul 20.00 WIB – Anak bungsu Jenderal AH Nasution meninggal di RSPAD Gatot Soebroto. Ade menjalani perawatan sejak 1 Oktober akibat tertembak tiga peluru saat operasi penculikan.