Bagikan:

JAKARTA - Kuasa Ibnu Sutowo mengembangkan Pertamina tiada dua. Ia mampu membesarkan Pertamina dari nol hingga menjadi salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) raksasa. Pun pola bisnis Pertamina ikut berkembang ke sektor selain perminyakan. Dari perhotelan hingga restoran.

Namun, semuanya buyar kala ia mulai mencampurkan urusan Pertamina dengan urusan pribadi. Pertamina jadi salah urus. Segala macam media massa mengecamnya untuk mundur. Namun, ia justru mengecam balik media massa.

Ibnu Sutowo bukan orang baru dalam industri perminyakan Indonesia. Ia telah akrab dengan dunia perminyakan sejak 1957. Kuasanya itu makin terlihat ketika Sutowo memimpin Perusahaan Negara (kini: BUMN) Pertamina pada 1968.

Sutowo percaya diri Pertamina dapat untung besar di tangannya. Apalagi cadangan minyak di Indonesia dianggapnya menjanjikan. Pertamina yang dibangunnya dari nol mulai tumbuh besar. Sutowo pun mulai berpikir untuk melebarkan lini bisnis Pertamina.

Langkah itu diambil supaya Pertamina tak melulu mengandalkan ‘kolam’ perminyakan belaka sebagai pundi-pundi pendapatan. Ia dan Pertamina mulai melirik bisnis perhotelan, asuransi, hingga biro perjalanan. Ajian revolusioner, katanya.

Presiden Soekarno sedang berjabat tangan dengan Ibnu Sutowo. (Perpusnas)

Fakta yang aja justru sebaliknya. Jauh panggang dari api. Pertamina justru terseret dalam kubungan kerugian. Adanya praktek penyimpangan, dugaan korupsi, hingga pemborosan diyakini sebagai musabab.

Segala kebobrokan Pertamina semakin menjadi-jadi karena rakyat Indonesia secara gamblang dipertontonkan gaya hidup petinggi Pertamina yang serba mewah. Utamanya, gaya hidup Sutowo yang kerap mencampurkan urusan pribadi dengan Pertamina. Wartawan Senior Mochtar Lubis mengungkap Sutowo sering kali mengumpulkan modal-modal dari maskapai minyak untuk membesarkan usaha pribadinya.

Belum lagi, tiap Pertamina memperingat Hari Ulang Tahun (HUT). Sutowo dan jajarannya kerap menggelar HUT Pertamina di luar negeri. Alhasil, Utang Pertamina menumpuk. Kala itu mencapai 10,5 miliar dolar AS. Suatu jumlah yang cukup besar. Desakan mundur kepada Sutowo mengalir deras.

“Dan lebih menimbulkan kagum kita lagi ialah ucapannya –Sutowo-- kepada Majalah Time: tentu saja sukar sekali memisahkan Pertamina dari Sutowo. Setelah pengakuan-pengakuan Ibnu Sutowo yang gamblang ini, setelah dia dengan tegasnya mengatakan sukar sekali memisahkan antara Pertamina dan Sutowo, menurut hemat kami sudah waktunya benar pemerintah kini mencari seorang direktur utama yang baru untuk Pertamina.”

“Karena, seorang direktur utama sebuah perusahaan negara yang mencampuradukkan kepentingan-kepentingan dirinya dengan kepentingan-kepentingan perusahaan yang dipimpinnya jelas tak boleh dibiarkan lama-lama lagi memimpin perusahaan negara tersebut,” ungkap Mochtar Lubis dalam buku Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya Volume 2 (1997).

Kecam Media Massa

Kritikan sejatinya dikenal sebagai bahan bakar untuk memperbaiki keadaan. Namun, tidak di mata Ibnu Sutowo. Ia merasa dilecehkan dengan kehadiran ragam kritik dan kecaman. Baginya, sederet media massa yang mengkritiknya tak memahami urusan hulu-hilir krisis Pertamina. Semuanya berbicara seenaknya sampai menyebut Sutowo biang keladi kekacauan Pertamina.

Ia menyebut kondisi krisis Pertamina adalah akibat tindakan pihak lain. Bukan pihak Sutowo. Baginya, ia telah melakukan segala macam langkah yang benar. Namun, ada pihak lain yang menginginkan karier dirinya hancur. Sutowo sendiri tak memahami pasti siapa yang melakukan langkah itu.

Satu-satunya yang diingat Sutowo adalah ia kesal bukan main dengan segenap media massa nasional. Perkara Pertamina membeli kapal tanker dengan harga terlalu mahal, hingga Ibnu Sutowo yang kerap mencampuradukkan kepentingan pribadi dan Pertamina, utamanya.

Kekesalan itu memuncak dengan kehadiran Koran Indonesia Raya yang menjadi pemuncak media massa yang mengkritik Sutowo dan Pertamina. Koran yang dipimpin Mochtar Lubis itu jadi yang paling membuat Sutowo kesal bukan main.

Mochtar Lubis, wartawan yang paling getol mengkritisi Ibnu Sutowo. (Wikimedia Commons)

Semua karena Koran Indonesia Raya kerap menyerang, bahkan melecehkan Sutowo dan Pertamina. Sutowo pun mengecam balik koran itu. Sekalipun kemudian pemerintah Orba turun tangan dengan memecat Sutowo dari Pertamina pada 1976 untuk meredam emosi segenap rakyat Indonesia.

“Koran Indonesia Raya juga menulis, katanya, Pertamina dikuasai oleh Ibnu Sutowo bersama segelintir orang dalam yang memperkaya diri sendiri dan merugikan negara. Kerja Pertamina, katanya pula, melompat-lombat sampai ke luar bidang minyak, hanya untuk maksud memperkaya diri pribadi dan merintangi inisiatif swasta.”

“Indonesia raya juga menuduh bahwa Pertamina tidak menghiraukan penghematan sumber minyak agar persediaan jangan terlalu lekas kering. Ia juga menuduh pembelian maskapai Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij dari Bealnda, yang mengalami kerugian, bisa menyebabkan keruntugan Pertamina yang katanya berarti merugikan negara juga,” ungkap Ibnu Sutowo sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita (2008).